Pada Tiap 29 Februari, Mereka Duduk Di Selasar Senja

Penulis: Wilda Indana Lazulfa*

Baru kali ini, seluruh warga perumahan dikumpulkan di halaman masjid, juga di bawah langit siang yang panasnya semakin hilang hanya untuk membahas dua orang nenek tua.  Pak Kades datang, ketua dari setiap RT datang, para ustaz-ustaz sekitar datang, juga warga biasa yang ingin ikut campur atau sekadar ingin tahu hasil dari perbincangan.

“Apa yang harus kita lakukan? Nenek-nenek itu sungguh sangat meresahkan.” Salah.
satu warga membuka suara dengan nada sedikit jengkel.

“Bisakah kita biarkan saja? Lagi pula, mereka datang hanya untuk duduk menikmati senja. Itupun hanya empat tahun sekali, setiap dua puluh sembilan Februari.” Seorang wanita berbicara. Angin sedikit memainkan ujung-ujung hijabnya.

“Bukan masalah waktu. Mereka boleh berkunjung setiap senja atau setiap tanggal dua puluh sembilan Februari. Bukan juga masalah pekerjaan yang mereka lakukan. Hanya duduk duduk berdampingan menikmati warna jingga. Masalahnya adalah tempat yang mereka pilih. Mereka duduk di tengah jalan, di dekat pertigaan besar. Meski bukan jalan raya, tapi sering dilalui banyak orang.” Ketua RT satu menjawab. Terlihat bijaksana dengan jas yang dipakai.

“Ah, hanya bikin pusing saja!”

Aku hanya diam. Merasa iba dengan kedua temanku. Tapi, aku bisa apa? Toh pita suaraku juga tak lagi berfungsi.

“Bagaimana kalau kita nasihati mereka dengan perlahan?” Akhirnya ketua RT dua buka suara yang membuat hampir semua memanggut-manggut.

“Itu sudah pernah kulakukan. Tidak berhasil. Katanya, mereka harus menepati janji.”

Suasana makin hiruk setelah ketua RT satu mengambil alih perhatian. Ada  yang menghela nafas, mencibir kesal, atau bahkan mengeluh terbuka.

“Aish, ribet sekali! Memang apa sih yang mereka janjikan? Duduk berdua memandangi senja? Menggibahi masa remaja? Dasar! Orang tua memang sulit sekali ditebak.” Salah satu warga menggaruk keras kepalanya. Terlihat jelas benih keringat meski sekarang angin sedang berhembus ingin membawa warna jingga. Aku semakin mengaduh kasihan. Mereka, dua nenek tua beberapa tahun lebih muda dariku, hanya ingin mengerjakan janji mereka yang terlanjur diukir. Janji untuk bertemu di hari kelahiran mereka, dua puluh sembilan Februari.

Aku tahu, mereka melakukan itu sudah sejak lama. Bertemu di atas tanah bertabur rerumputan segar juga di bawah langit jingga yang membawa parfum angin. Karena, aku juga hadir di sana. Aku selalu duduk tak jauh di belakang mereka. Mendengarkan setiap cerita yang mereka utarakan. Seru, penuh canda lucu, tawa candu, juga cerita mereka yang terkadang bercendera. “Hah, lelah sekali, langit sudah mulai jingga. Mereka pasti sudah hadir di sana.”

(baca juga: Pesan Cinta dari Hotel Yamato)

Beberapa orang menghela nafas bersamaan. Aku juga. Pikiranku menerka adegan yang sedang kedua temanku mainkan. Merekalah sutradaranya, sekaligus pemeran. Aku hanya penonton di drama yang mereka buat setiap senja. Pasti, sekarang mereka hanya diam, duduk bersampingan tanpa ada hidangan walau hanya secawan kopi kenangan. Selanjutnya, jika senja sudah pergi, mereka juga akan kompak berdiri, lalu saling membelakangi untuk selanjutnya saling meninggalkan dengan berjalan ke arah berlawanan. Tak ada lagi perbincangan, tawa, atau sekadar bertegur sapa. Terakhir aku mendengarnya di tahun 1944, kalau tidak salah. Perbincangan dengan rasa cekcok lalu berakhir saling membisu.

“ Ayahmu salah! Untuk apa dia membuat janji dengan para penjajah sialan itu? Seperti tidak tahu saja sifat iblis mereka!”.

“Hei! Bapakmu yang salah sebenarnya. Bapakku melakukan itu juga demi menyelamatkan yang lain. Bapakmu? Menghilang saat yang lain tertangkap. Pemimpin macam apa itu? Mengapa orang seperti itu bisa menjadi pemimpin memberontaknya Peta?”

Kira-kira, percakapan itulah yang kuingat. Saat itu mereka masih remaja. Sampai setelah dua tiga kata kemudian, mereka diam. Saling diam menyimpan rasa kecewa. Hingga saat ini, mereka diam, entah merasa bersalah karena sudah saling menyerang, atau masih menyimpan rasa kecewa yang mendalam. Tapi. Yang pasti, mereka masih berusaha untuk mengabulkan janji-janji remaja mereka: duduk di hamparan rumput, seiring waktu berjalan, berubahlah menjadi perumahan, menghabiskan sisa senja di hari ulang tahun. Setidaknya, aku senang selama mereka masih saling mengingat, saling menepati janji, juga saling menjaga persahabatan meski tanpa petemuan antar suara. Dan aku yakin akan selalu begitu.

“Ah, sudahlah! Ayo kita usir saja mereka!”

Salah satu warga mengomando penuh amarah. Banyak yang mengikuti langkahnya. Pak Kades dan pemimpin lainnya kebingungan. Ustaz-ustaz hanya menggeleng-gelengkan kepala. Memang, sudah terjadi banyak kecelakaan karena dua orang itu. Jatuh dari sepeda karena menginjak rem tiba-tiba, ada juga yang menabrak tiang atau pembatas jalan, dan lain sebagainya.

Sekarang, semua berjalan menuju jalan bersepertiga yang di dekatnya biasanya terlihat sepasang sahabat tua yang menghabiskan waktu senja bersama. Para warga berjalan bersama, saling menyemangati untuk mengusir nenek tua. Kursi dorongku di arahkan ke tujuan yang sama. Namun, semua berhenti melangkah. Melihat di seberang jalan sana.

Tanggal dua puluh sembilan Februari tahun ini, nenek tua itu duduk menikmati waktu senja di tengah jalan, seorang diri![]

*penulis adalah alumnus SMA Nuris Jember tahun 2022

Related Post