Penulis: Alya Latifatul F.*
“Jahanam!!! Sampai kapan ini?” Ujar seorang pria paruh baya dengan mata yang berkaca-kaca.
“Sabar, ini cobaan.”
“Cobaan apa? Kurang ajar!”
“Jangan bilang gitu, Mas. Istighfar.”
“Kemarin lusa anakku, sekarang istriku, besok siapa lagi? Hah?” Nadanya tersendat-sendat, ia mengusap sebagian air matanya yang menetes di pipinya.
“ Tidak sekalian nyawaku saja!”
“Astagfirullahhalazim Mas, jangan bilang gitu. Istighfar.”
“Percuma, aku berdoa siang dan malam.”
“Tidak Mas, tidak sia-sia Sampean berdoa.”
Lelaki yang berdiri disampingnya itu menepuk nepuk pelan dada saudaranya supaya ia merasa sedikit tenang.
Mungkin, apakah Tuhan sudah tidak mendengarkanku lagi? Dicampakkan? Dibiarkan? Diasingkan? Ataukah sudah tidak dianggap seorang hamba untuk kesekian kalinya? Apa gunanya untaian doa-doa di setiap siang dan malamku itu, hingga aku tak segan-segan meluangkan waktu yang tidak luang untuk menyapa mesra denganmu, memujimu, bahkan menjaga namamu di dalam setiap doa-doaku, apakah engkau sengaja membiarkan ini semua terjadi, membuat kehancuran dengan rekayasa yang tak dapat dinalar dengan logika, hebat sekali! Mungkin hal ini akan dicatat habis-habisan oleh para ahli sejarah yang ingin mendapatkan imbalan, dibukukan, bahkan dipelajari oleh murid-murid sekolah tingkat menengah atas untuk ke depannya, tapi itu hanya mungkin, mungkin jika anak cucu kami masih hidup berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus tahun ke depan, dan untuk sekarang, jangankan hendak sibuk untuk beranak-pinak, mengurus diri sendiri dari bahaya kejaran maut saja, kami masih lontang lantung, seperti lutung!
“Aduh bagaimana ini, kita mau makan apa besok?”
“Sabar ya Bu, mungkin ini cobaan bagi kita”
“Bagaimana Pak, mau makan apa besok kita, apakah masih ada persediaan uang belanja buat besok, Pak?”
“Mungkin tidak, Bu.”
“Ibu prihatin Mas, melihat buah-buah ini, kok semakin lama dibiarkan semakin membusuk, Mas.”
“Iya Bu, Bapak juga sama! Buah-buahan ini nggak laku terjual.”
“Kapan musim ini berakhir ya?”
“Ibu kurang apa, Mas? Padahal Ibu sudah rajin puasa Senin-Kamis, sholat Dhuha, bahkan sholat Tahajud mas”
“ Gustii Gusti, kenapa engkau membiarkan hamba-hambamu hidup kesusahan seperti ini, Gusti.”
***
“Gusti, izinkan anakku dan istriku hidup jauh lebih lama dariku, Gusti.”
“Gusti, izinkan aku meminta untuk hidup lebih lama lagi di dunia ini, karena hambamu belum merasakan enaknnya jadi orang kaya, Gusti.”
“Gusti. Izinkan aku meminta umur yang lebih panjang lagi Gusti, agar hambamu bisa beristri dua, Gusti.”
“Gustii, Gusti, Gusti.”
Begitulah kicauan para umat penghuni Dunia, serakah??? Yang hawa nafsunya selalu diiringi dengan rasa ingin, ingin dan ingin, selalu meringik seperti jangkrik yang tenggelam di parit ketika hajat-hajatnya tak kunjung dikabulkan, meminta tanpa memberi, dikasih tanpa mengasih, dan terkadang mereka lupa pada kodratnya sebagai hamba yang hanya untuk dikasihani, sesekali mereka rajin ketika perlu, meminta belas kasih seolah-olah ingin dikasih, dan ketika selesai semua hajatnya, bagi yang perempuan mereka akan melipat dan menaruh mukenahnya di lemari bagian paling belakang, dan bagi yang pria, mereka akan menggeletakkan pecinya seenak tangan mereka, layaknya sebuah kaleng yang sudah habis isinya.
Dan di pertengahan tahun dua ribu dua puluh ini, tepatnya di sekitar bulan Maret, April, Mei, dan bulan-bulan selanjutnya, surau-surau di pedesaan nampak sepi, masjid-masjid yang besar dan megah di pinggir jalan seperti tak berguna, suwung[1], dan tak sedikit banyak dari beberapa ustaz kondang yang sering mengisi pengajian nampak sangat tipis sekali isi dompetnya, karena tak ada satu majelis pun yang hendak mengundang mereka untuk mengisi pengajian, baik pengajian yang disaksikan di televisi atau yang disaksikan langsung oleh orang-orang kampung, meskipun hanya beberapa menit saja, mereka lebih menyukai berdiam diri di rumah, mengasingkan diri, puasa bertegur sapa oleh teman atau tetangga, entah ingin berhibernasi atau bersemedi layaknya seorang Raja yang hendak membangun kerajaan. Tapi ketika subuh tiba, mereka para makhluk yang tak pernah merasa bersyukur padahal selalu untung kini saling berlomba-lomba untuk terjaga dan duduk di sajadah, merapal doa, mantra, dan beberapa lantunan shalawat atau amalan-amalan lainya yang diyakini manjur.
(baca juga: Mahabbah ya Rasulullah)
“Gustiii…, hanya kepadamu hamba meminta Gustii, dan hanya padamu hambamu menyembah.”
“Gustii, ampuni kesalahan hambamu yang hina, Gustiii.”
“Gustii, dengarkanlah Doa hambamu Gusti.”
“Gustii kabulkanlah Doa hambamu Gusti.”
Selalu saja begitu, ketika waktu subuh telah tiba itu adalah sebuah tanda, tanda jadwal untuk mendengar bagaimana doa-doa dan keluh kesah yang mereka lontarkan harus dikabulkan, haruss! Bahkan wajib, bolehkan sunnah? Mubah? Ataukah haram? Semuanya telah didengar wahai umat yang beradab, mustajab! Pasti, entah ini adalah sebuah tuntutan atau kutukan, yang pasti bisakah kalian menunggu untuk sejenak saja, menunggu untuk proses pengabulan semua hajat kalian! Apakah kalian tidak pernah memikirkan, berapa banyak jumlah umat muslim yang menetap di berbagai belahan dunia dengan ribuan doa yang selalu mereka panjatkan, bagaimana rasanya hidup dengan bualan prosa umat yang berkesinambungan, seperti menerima sebuah paketan surat pengabulan hajat, atau sebuah proposal permohonan maaf terhadap dosa-dosa yang telah mereka perbuat di setiap hari-harinya, dan mendengar seluruh kalimat perintah dengan jumlah ribuan bahkan jutaan yang terus terulang-ulang keluar dari mulut kalian? Lalu, apakah kalian bisa mengabulkan semua permohonan itu dalam jangka waktu semalam saja? Seminggu? Setahun? Sewindu? Bahkan seabad? Atau sekadar mendengarkan saja! Bahkan flashdisk yang digunakan untuk menyimpan seluruh hajat-hajat dan doa-doa kalian yang katanya tak kunjung dikabulkan telah tak cakap lagi untuk dibuka, karena apa? Karena sebegitu banyaknya permohonan-permohonan kalian yang masih belum terkabulkan. Apakah di otak kalian tak pernah terbayang pikiran seperti itu, atau bahkan mirip-mirip seperti itu, lalu apa saja yang selalu terbesit di otak kalian? Harta? Tahta? Atau para wanita penghuni surga? Tapi tenang, pengabulan seluruh doa-doa dan hajat kalian telah dijadwalkan satu persatu, dimulai dari seorang Kyai sepuh yang berdoa untuk kemakmuran dan keselamatan pesantrennya dan santri santrinya, seorang murid yang ingin kembali bersekolah agar pembelajaran dilaksanakan secara tatap muka, seorang pedagang toko swalayan yang katanya dagangannya ingin laku seperti dahulu kala, seorang gubernur yang berdoa untuk dirinya dan rakyatnya agar selamat dari segala mara bahaya, bahkan seorang preman pasaran yang baru saja bertobat dan berdoa untuk keselamatan istrinya dari ganasnya maut. Dan itu semua telah terjamin mustajab! Wahai para manusia penghuni dunia.
***
“Dan berakhirlah kisah ini.” Ujar seorang Dalang sembari menurunkan wayang-wayangnya dari kelir atau layar yang berwarna putih.
Pertunjukan selesai, Sang Dalang menyusun rapi kembali wayangnya yang baru saja ia mainkan di hilir kanan dan hilir kiri layar. Semua lampu dinyalakan, tak terkecuali beberapa lampu sorot yang dimain-mainkan di atas langit. suara gong, gendang, gamelan, seruling, dan lain-lain dimainkan dengan beriringan suara Sinden yang nyaring dan elok cengkoknya, Sang Dalang merasa senang atas penampilan wayang-wayangnya yang begitu molek layaknya gadis yang telah bersolek, semua penonton bertepuk tangan ria atas berakhirnya kisah ini, tetapi Sang Dalang tidak merasa puas atas penampilan ini, karena kepuasan hanya untuk Tuhan semata.
Orang-orang merasakan sang dalang tersebut datang dari surga, membawa beberapa petuah-petuah untuk kemudian menjadi obat mujarab. Lalu, esok hari, masyarakat bersiap menebar benih-benih senyuman pada wabah agar tidak resah, dan bergegas untuk bersiap bangkit dari pandemi.
*Penulis
adalah alumnus MA Unggulan Nuris, kini sedang studi sarjana di FIB UNEJ
[1] Tak berpenghuni