Maafkanlah

penulis: Sheila Ramadhania AP*

                  Ditemani dinginnya udara aku duduk termenung menyandar pada lemariku bersama hujan deras yang mengguyur pondok pesantren. Hujan ini telah membuat air mataku tunduk dan kalah di hadapannya. Sengaja kubiarkan ia tetap mengalir asalkan suara yang ditimbulkannya tak berlarian. Diam adalah isyarat hati bahwa aku tidak punya pilihan. Tanpa kusadari tatapan tajam mengarah padaku, suara itu datang membuyarkan lamunanku.

     “Mila! Mila!” Panggilan tersebut terdengar jelas ditelinga. Tak lama kemudian, Putri, sahabatku terlihat di depan mata. “Lho, ada apa?” tanyanya saat melihat tanganku yang mulai mengusap pipi dan berlinang air mata.

     “Tidak apa-apa, “ jawabku pelan.
     “ Tidak mungkin. Pasti ada sesuatu yang kamu sembunyikan dariku,”
     “Sudahlah, berhenti menangis! Dan keluarlah ! Ada yang datang untukmu,”
                   “ Benarkah?,”
                    “Iya,”

                    Dengan segera aku mengambil payung di dalam lemari dan berlari menuju ruang tamu. Hujan sedikit reda karena air mataku pun tak menetes lagi. Namun langkahku yang penuh semangat itu terhenti saat kulihat seorang laki-laki duduk sendirian di samping pendopo. Kuhampiri dia dengan perlahan.

                    “Om!” laki-laki itu langsung menoleh.”Mana ibu?,”tanyaku padanya.
                   “Mila Sini duduk dulu!,” sambil menggeser posisi duduknya. Namun, aku tak menghiraukannya.
                    “Mana ibu?” kali ini nadaku sedikit menyentak.
                    “Ibumu sibuk. Dia masih mengajar,”
                    “Apa mengajar lebih penting dariku?,”

                    “Kamu harus mengerti, apapun yang dilakukan oleh ibumu itu untuk kebaikanmu! Ini,  untuk,” sambil menyodorkan sebuah kotak di hadapanku. “kue blueberry kesukaanku” tapi entah kenapa rasanya aku tak berselera, jangankan untuk memakan melihatnya saja aku enggan. Hannya satu yang aku inginkan yaitu ibu, kanapa ibu tidak datang, apakah dia sudah tidak sayang padaku.

                    “Sudahlah? Om pulang aja. Hari Minggu suruh ibu ke sini!,”

                     Langsung aku tinggalkan laki-laki itu sendirian di sana. Sedangkan diriku masuk ke dalam asrama dengan perasaan kesal. Tak peduli apapun pendapatnya bahkan bila ia marah padaku. Aku mengharapkan ibuku yang menemuiku, bukan laki-laki jahat sepertinya.

***

Mataku terasa berat untuk di buka seolah-olah ada beban sepuluh ton diatasnya.Tubuhku terlalu lemah hingga membuat diriku malas untuk bangun.

                    “Aku pusing,” ujarku agak pelan supaya Putri yang membangunkan percaya bahwa aku sedang sakit. Mendengar perkataanku, ia berhenti membangunkanku dan pergi untuk bersiap-siap berjamaah sholat subuh. Sedangkan tubuhku tergeletak tak berdaya ditemani selimut dan guling kesayanganku.

      Aku berfikir panjang tentang hidupku, menyesali takdir yang tak adil terhaapku. “Bapak semenjak kepergianmu aku  kesepian, hatiku sakit. Tidak ada lagi yang mengusap air mataku”. Beberapa jam kemudian, aku bangun saat tubuhku mulai lelah karena tidur. Kamarku yang berisi empat puluh orang telah sepi dan hanya menyisakan aku diatas kasur tipis bersama selimutku bergambar bunga kesukaanku. Kulihat jam analog dipergelangan tangan telah menjukkan pukul enam pagi. Pantas saja sepi, pasti semua temanku sedang mengaji dan belajar kitab dimushola.

                     Aku mulai merapikan selimutku dan menuju lemari untuk bersiap-siap berangkat sekolah. Tak lama setelah itu, teman-temanku berdatangan dan ikut bersiap-siap bersamaku. Salah satunya adalah Putri yang begitu ia datang langsung menanyakan kondisiku.
                     “Iya,  Aku sudah membaik” jawabku saat putri bertanya tentang pusing yang aku alami.
                     “Alhamdulillah,” ujarnya sambil tersenyum manis. ”Ya sudah, aku mau siap-siap sekolah dulu ya.” Tambahnya yang langsung pergi dari hadapanku. Sedangkan aku melanjutkan kegiatanku sebelumnya.

                      Tepat pukul 06.30 aku dan putri berangkat sekolah bersama temanku yang lainnya. Sebenarnya aku malas untuk pergi sekolah, namun karena terlanjur berseragam, akhirnya aku ikuti saja.
                      Lima jam berada dikelas pasti akan membuatku bosan. Apa lagi dengan pelajaran-pelajaran yang sulit dan tak kusukai. Oleh karena itu, kuputuskan mulai dari jam pertama aku izin pergi kekamar mandi sambil membawa sebuah buku komik yang kusembunyikan di balik jilbabku. Aku pergi ke toilet dan mengunci pintu rapat-rapat agar tidak ada yang tau bahwa aku sedang kabur dari pelajaran dan sedang membaca komik horor di dalam kamar mandi. Mungkin sekitar satu jam aku berada di sana untuk menamatkan pembacaan komik tersebut .

                     Awalnya aku tak berniat untuk keluar dari ruang kecil ini. Namun ada yang mengetuk pintu dari luar. Akhirnya aku keluar dengan memasukan buku komik itu ke dalam jilbabku.
                    “Kenapa lama dek?,”tanya seorang kakak kelas saat pintu baru saja terbuka. “Sakit perut kak,” jawabku singkat sambil memegangi perutku yang berisi buku komik. Aku langsung pergi dari hadapannya menuju kelas dengan sedikit kesal.
                      Waktu berlalu terasa sangat lama dan hal ini membuatku letih. Sekolah pun telah berakhir, namun bukan berarti kegiatanku selesai. Masih ada pengajian kitab dan hafalan surat-surat pendek di pondok. Meski ada kesempatan untuk  istirahat  tetap saja ini melelahkan. Aku tak terbiasa dan tak menyukainya, Begitu pula otakku yang letih karena sedari tadi berpikir tentang cara untuk bisa melarikan diri dari kegiatan selanjutnya.

                     Setelah lama berpikir, aku mendapatkan sebuah ide yang dapat memberikanku keuntungan dua kali lipat, yakni berpura-pura sakit. Dengan begitu,aku tak ikut kegiatan dan dapat pulang  ke rumah bertemu ibu.
                    Pertama,aku membuat diriku terlihat seperti orang sakit dengan semirip mungkin. Kuoleskan pasta gigi pada bibirku yang akan membuat wajahku terlihat pucat. Selanjutnya,badan ku buat lemas dan berakting pingsan di depan kamar. Aku adalah aktris terbaik hingga membuat semua orang percaya bahwa diriku sedang sakit. Ustadzah di pondok memberikan pinjaman hanphone padaku untuk menghubungi orang tuaku. Panggilan pertama tak dijawab oleh ibu yang membuatku kesal. Namun di panggilan kedua, ibu merespon dan mulai bicara. Aku memintanya untuk datang menjemputku.

      “Ibu jemput besok pagi, ya”
      “ Kenapa? angin diluar kencang, ibu khawatir di jalan”
      “Tidak.  sekarang jemput Mila. Mila sakit,bu. Kalau tambah parah gimana?,”
      “Ya sudah. Biar ayahmu yang jemput,”
       “Tidak! harus ibu yang jemput,”
      “Ya sudah kalau begitu, tidak usa pulang,” tegas ibu
         “Baiklah terserah yang mau jemput siapa. Yang penting Mila pulang,” Langsung kuakhiri pembicaraan tersebut. Aku menunggu sekitar satu jam, namun belum ada panggilan untukku. Kembali aku kecewa. Apalagi yang memjemputku adalah orang yang paling ku benci, yang sering ku panggil om. Dia lah ayah tiriku yang telah hidup bersama keluargaku sejak aku kelas empat SD.

(baca juga: Pitawat, Tong Kosong Pesing Baunya)

      Tak lama kemudian, salam terdengar melalui speaker pondok yang mengumumkan bahwa diriku sedang ditunggu di ruang tamu. Mendengar panggilan tersebut, bukan nya diriku yang bangkit pertama kali, melainkan Putri. Ia membawa ku beserta tasku menemui laki-laki yang telah menungguku di ruang tamu.

                    Laki-laki ini sudah terlihat khawatir sebelum aku berhasil menampakkan diri di depannya. Apa lagi saat aku telah sampai di hadapannya. Ia langung menghampiriku dengan aura kekhawatirannya. Namun hal itu tak berpengaruh bagi hatiku yang terlanjur benci padanya. Angin saja mendukungku, ia berhembus pelan menyampaikan pesan dari Tuhan untuk tak mempercayai aktor terbaik sepertinya.

                   Tak banyak waktu yang tersedia untuknya berdramatis dihadapanku karena aku langsung mengajaknya pulang. Ia menjemputku dengan mengendarai sepeda motor matic berwarna putih dan kendaraan ini pula yang membawaku pulang kerumah. Bersama sepeda motor ini, kami melewati perjalanan yang sangat menantang. Hujan deras disertai angin kencang  terus mengiringiku mulai dari pertengahan jalan hingga sampai di halaman rumah. Untung saja aku memakai jas hujan yang membuat tubuhku tidak basah kuyup seperti laki-laki di depanku.

                  Hanya butuh waku lima belas menit untuk aku sampai di rumah karena jarak yang ku tempuh tak begitu jauh.Begitu sampai di rumah,aku langsung masuk ke dalam tanpa memperdulilan ayah tiriku bahkan barang bawaan ku aku tinggalkan bersamanya.

***

                  Suara musik pop Indonesia tengah menemaniku yang sedang bermain game online di atas kasur empuk. Aku mulai berhenti memainkan jariku di atas layar setelah aku berhasil melihat tulisan “ you winner “. Musik yang ku setel tadi langsung kumatikan karena terdapat musik pengganti yang berasal dari dalam perutku. Langsung ku langkahkan kaki ini di atas ubin putih menuju ruang makan yang sebelumnya telah menggodaku dengan aroma lezatnya. Melihat ibuku yang sedang menata makanan di atas meja membuatku tak sabar untuk mencicipinya satu per  satu.

                  “ Ibu!, “ sapaku seraya mengambil posisi duduk di salah satu kursi. Wanita di depanku langsung menoleh sebagai bentuk responan dari sapaanku sambil menebar senyuman.

                  Tidak lama kemudian, ayah tiriku duduk di salah satu kursi yang berhadapan dengan kursi yang ku duduki. Ia juga memberikan senyuman padaku. Namun aku langsug memalingkan wajah.

                  “ Mila, bagaimana keadaanmu? Apa kamu merasa lebih baik?, ” tanya laki-laki itu sambil menatap dengan rasa khawair.  Namun aku tak meresponya. “ya  sudah ayo makan yang banyak Nak” Tangan laki-laki itu langsung menyendok nasi dan ingin meletakkannya di atas piringku. Belum saja nasi tersebut mendarat di atas piring, aku langsung menepisnya hingga membuat sendok dan nasi tersebut jatuh berserakan di lantai.

                     “Tidak perlu berpura-pura baik di hadapan ku. Aku akan tetap membencimu,” Ujarku yang langsung  pergi dari hadapannya menuju kamar yang selalu setia menemaniku. Aku duduk di pinggir kasur sambil melampiaskan kesal pada diri sendiri.Tiba-tiba ibuku datang dan tanpa kusadari telah bediri di ambang pintu sambil memandangku dengan wajah marah.

                       “Apa kamu tidak punya tata krama? sopan lah pada nya! Dia itu ayah mu,”sentak ibuku yang sedang meluapkan amarah nya.
“Ayah ku hanya satu dan itu bukan dia. Laki-laki  sepertinya tak pantas untuk menjadi ayahku, dia telah merampas kesih sayang ibu dariku” balasku berusaha menjadi sopan di hadapannya.
      “Mila! ibu memondokkan mu supaya kamu bisa menghormati orang lain. Bukan ini yang ibu harapkan,”nada nya mulai rendah.
      “ Lalu kenapa ibu tidak ada waktu untuku? apa ibu tidak sayang lagi pada Mila? ibu tak pernah membela ku dan selalu sibuk, lalu kepada siapa lagi aku menyandar atas keluhku ”
      “Ibu tak pernah mengerti diriku,”aku langsung berbalik badan, Ibuku menjadi jahat karena orang itu,” ujarku penuh kesal.
Tanpa berpikir panjang aku bangkit dan mengambil tas ranselku yang telah penuh berisi barang-barang milikku, lalu berjalan keluar dari kamar. Berjalan santai melewati ayah tiriku yang sedang duduk di sofa ruang tamu. Lalu ia memanggilku.
    “Mila!,” pangilannya membuatku berhenti melangkah. “ Mau kemana?,” aku menoleh kearahnya.
     “Apa pentingnya untukmu?”  kataku yang langsung pergi dari hadapannya. Kutinggalkan rumah yang kunanti sejak lama. Namun kini sangat aku berci karena keberadaan mausia yang tak pernah kuharapkan

***
                  “ Sepertinya Mila  itu sakit bohongan,” ujar salah seorang santriwati di dalam kerumunan anak yang sedang bergosip tentangku. Sedangkan mereka tak sadar bahwa diriku telah berdiri di ambang pintu kamar dari tadi.  “Ssht,” tambah teman di depannya sambil menyuruh santriwati yang membelakangiku tadi untuk menoleh saat matanya dapat melihat diriku yang sedang memandangi mereka.
                  “Lho, Mila sudah sembuh?,” tanya temanku, pura-pura ramah. Aku hanya memberi senyuman kecil padanya kemudian berjalan menuju lemariku. Saat aku mulai menata barang bawaanku di dalam lemari, dirinya menghampiriku bersama santriwati lain termasuk sahabatku mulai kecil, Putri. Mereka duduk mengerumuniku seolah-olah ada kejadian istimewa yang telah kualami.

                  “Mil, kamu nggak betah di pondok?,”tanya temanku, Amel.
                  “Nggak, kok. Aku betah,”jawabku.
                  “Jujur saja pada kami. Kalau kau terus begini , kasihan orang tuamu,”
                  “Apa maksud kalian ?”
                  Tiba-tiba, terdengar suara seorang wanita yang sangat kukenal. “Dek, ada Mila?” pertanyaan itu membuatku berdiri dan langsung menuju kehadapannya. Dialah ustadzah ketua asrama, ustadzah Aisyah.
                  “ya, ustadzah. Ada apa?” ujarku dengan penuh hormat.
                  “Ayo ke kamar saya!,”

                  Wanita cantik ini langsung berbalik badan dan berjalan menuju sebuah kamar yang tak jauh dari kamar tempatku berada. Sedangkan aku berjalan di belakangnya tanpa lupa dengan kepala tertunduk. Sampailah aku di sebuah kamar yang rapi dan bersih serta tak ada orang selain kami berdua. Aku dipersilakan duduk di depannya.
                  “Ibumu sudah bercerita pada saya,”kata Ustadzah Aisyah mengawali percakapan.
                  “Bercerita? Tentang apa , Ustadzah?,”tanyaku sambil sedikit tersenyum.

                  “Mila lebih tau dari ustadzah. Ngomong-ngomong, kamu kembali ke pondok diantar siapa?” aku terdiam.  ”apa Mila tau hal yang menjadi kebanggaan para orang tua? yaitu anak sholeh dan sholehah. Saya tau, kalau Mila itu anak yang sholehah dan juga sopan pada semua orang. Jadi, apa alasan Mila bersikap seperti itu pada ayah dan ibu Mila?,”

                  “Dia itu jahat, ustadzah. Mila tidak suka laki-laki itu, “
                  “Kenapa? Apa dia menyakitimu, tidak kan? Lau kenapa kau tidak suka padanya?,”
                  “Dia,…..” belum selesai kujawab Ustdzah memotong perkataannku.
                  “Hanya ayah tiri. Saya tau itu. Kami tidak memintamu untuk memanggil dia ayah. Kami hanya ingin kau bersikap sopan padanya seperti kau bersikap sopan pada semua orang, Mila percayalah Tuhan mengambil orang yang kamu cintai dan menggantikannya dengan laki-laki yang juga menyayangimu, yaitu ayah yang kamu anggap merebut kebahagiaan. Namun, percayalah suatu saat nanti kamu pasti bersyukur pernah memilikinya”. Aku hanya bisa terdiam mendengar ceramahan dari ustadzahku ini. Tiba-tiba, handphone miliknya berbunyi menandakan sebuah panggilan baru saja masuk. Setelah melihat layar handphone-nya, ia langsung menyuruhku untuk kembali ke kamar dan bersiap-siap sholat. Sedangkan pembicaraan ini akan dilanjut esok hari.

 ***

                  Hati ini tersayat-sayat pisau tajam yang terlempar dari mulut para temanku. Meski benda itu lunak namun berhasil membuat air mataku jatuh membasahi pipi dan bercampur dengan sisa air wudhuku tadi. Apa mereka tak mengerti bahwa aku sedang sakit bukan pura pura sakit. Aku tau kalau sebelumnya aku berbohong namun kali ini tidak. Perut yang melilit ditambah dengan hati yang tertusuk tusuk membuatku tak kuasa menahan beban hidup ini. Ya Allah, aku memohon ampunan padamu. Memang alasan aku  mondok adalah untuk menjauh dari ayah tiriku dan menghilangkan rasa sakit akibat perlakuan ibuku. Namun bukannya rasa sakit yang hilang melainkan bertambah. Mungkin ini adalah sebuah karma nyata yang tak semanis kurma serta tak seindah drama korea.

                  Kini jam telah menunjukkan waktu tidur. Semua santriwati sedang bersiap-siap untuk tidur, waktu terus berjalan. Keramaian mulai menghilang. Semua temanku telah terbaring dikasur masing-masing.

                 Disampingku tak satu pun teman yang ingin tidur bersama. Mungkin karena aku terlalu menjijikkan untuk berdampingan dengan mereka. Akupun bangun dan berdiri mengambil selembar  uang 50 ribu dari dalam lemari kemudian keluar dari kamar. Ku langkahkan kaki ini menerobos angin malam yang dingin, tanpa rasa takut pada kesunyian dan kegelapan menuju pintu gerbang keluar  asrama. Entah kenapa tak ada seorang pun yang menghentikan gerak langkahku ini, padahal setiap malam selalu ada yang menjaga.

                  Rintihan beton trotoar karena langkahku terdengar di telinga berbarengan dengan irama musik kendaraan lewat yang masih ramai. Meski begitu tak ada satu pun angkutan umum yang terlihat di depan mataku. Kuputuskan untuk terus berjalan sambil menunggu kendaraan yang bisa membawaku pulang. Tetes demi tetes  air turun dari langit, sepertinya hujan yang makin lama makin deras. Langkah kakiku pun ikut semakin cepat dan membawa tubuh ini berteduh di depan toko yang telah tutup.

                  Suhu dingin mulai menyentuh kulit dan menembus tulang rusukku. Langsung ku ubah posisi menjadi jongkuk sambil melingkarkan tangan didepan kaki yang sedang tertekuk. Pikiranku berkelana menelusuri kenyataan tentang nasibku sendiri. Aku yang selama ini tak pernah menghargai ayah tiriku sebagai keluarga. Bahkan sebagai manusia saja tidak pernah sama sekali.

                  Mataku memandang sebuah mobil yang sedang melaju pelan di jalan raya. Terlihat dari kaca depan, seorang anak perempuan yang sedang tertawa ria bersama ayahnya. Aku jadi teringat kembali tentang do’aku pada Tuhan untuk memberikanku ayah, saat aku dihina temanku karena tak punya ayah.

                  “Aku rindu ayah, mungkinkah Dia dikirim Tuhan untukku ” ujarku lirih. Aku benar benar menyesal dan sedih.

Dingin semakin mencekam. Aku menggigil dan bibirku bergetar. Kutundukkan kepalaku dan menempelkannya pada lutut yang telah menekuk sedari tadi. Namun, hal ini sia sia. Aku tak dapat mengatasi dingin yang menyeranngku.

                  Tanpa kusadari seorang laki-laki telah berdiri sejauh satu meter dariku. Dibawah hujan yang deras, ia memperhatikanku dengan teliti hingga tak berkedip sedikit pun. Bajunya yang telah basah kuyup dan terpaan angin yang menyerangnya seolah olah tak terasa hanya karena diriku.

                  “Mila!” panggilnya dengan bibir yang sedikit bergetar, suara yang sangat aku hafal lirih menyapaku. Entah kenpa air mata bahagia kini mengalir dari mataku setelah wajah seorang laki-laki terlihat jelas dihadapanku. Ia mulai melangkah pelan menujuku. Dengan segera aku bangkit dan ikut mendekat kearahnya.

                  Tubuhku kaku dan berdiam seperti patung, antara malu, menyesal dan bersyukur ketika melihat orang yang aku sia-siakan berdiri mengisyaratkan ketulusan yang teramat sangat. Tanpa berfikir panjang aku langsung memeluk orang yang tak akan aku sia-siakan lagi. Sangat erat pelukanku hingga  dapat mengobati rasa  dingin yang menyerang tubuh. “ayah ,maafkan aku!,” kata kata yang dulu tak pernah ku inginkan kini terlontar begitu saja lewat mulut kecil ini. Aku berjanji pada Tuhan untuk selalu menyayangi dan membahagiakan laki-laki baik ini tanpa perintah dari ibu atau ustadzah Aisyah. Aku bahagia Terimakasih Tuhan.

Brakkkkkk tiba-tiba suara mobil datang menerobos sepeda bit yang kutumpangi, meleburkan kebahagian yang mulai menghilang…………………… Tuhan terimakasih, aku hannya ingin bahagia seperti yang lainnya.

*Penulis merupakan alumnus SMP Nuris Jember dan SMA Nuris Jember, berprestasi di bidang astronomi, kini akan melanjutkan studi sarjana di ITS Surabaya

Related Post