Kepak Sayap Kecemasan

Penulis: Kayla Athaya Tifani*

Allah menyatakan bahwa Dia menciptakan langit tempat diturunkan perintah dan larangan-Nya kepada hamba-hamba-Nya, tempat malaikat-malaikat yang turun membawa wahyu-Nya kepada nabi-nabi-Nya, Di samping itu Dia menghendaki adanya keseimbangan dalam segala hal.” (QS. Ar-Rahman Ayat 7)

Siang itu,

            Dia merentangkan sayapnya, membungkus matahari yang sedang geram terhadap perilaku manusia biadab di bawah sana. Bukan untuk menyombongkan diri dengan mempertontonkan tubuh tegap dan berotot, mulut sekeras paruh elang, dan mata yang merekam semua kejadian di alam semesta 100 tahun ke depan. Jika dilihat dari naskah Primbon Jawa, makna angka satu adalah pelopor bak matahari yang menjadi sumber kekuatan positif dalam menjalani hidup juga pemimpin ditengah perwatakan manusia, sedangkan angka nol dalam presepsi islam merupakan jawaban terhadap masalah penghitungan bilangan masa lalu yang ditemukan oleh Muhammad bin Ahmad dengan segala konsep kebingungan dalam tabel kehidupan. Lalu bagaimana jika angka 1 dipersetubuhi oleh angka 0. Apakah sosok pelopor yang diberitakan menjadi bingung? Bagaimana seorang semesta yang kebingungan dengan dirinya sendiri, mungkin saja menjadi semesta adalah suatu masalah bagi semesta itu sendiri.

            Oh manusia yang malang,

            Kezaliman telah mewabah, dan omong kosong selalu kalian orasikan di atas mimbar benalu yang terus menjalar. Dasar negara yang kau kirimkan sudah kuterima hampir tiap hari, namun apa? satu jam setelahnya hanya berupa abu yang kujadikan pupuk untuk kebunku ditengah pulau Kalimantan. Tali bhineka tunggal ika, sudah menjadi simpul mati yang menjerat hati dan menyumbat saluran pernafasanku, memang sudah seharusnya kumatikan saja peradaban di semesta ini, sehingga aku dan kawanku-kawanku dapat sembayang dengan tenang. Ah, seiris awan ini sedang menderu tidak karuan di sela-sela sayapku. Aku tidak tahu maksud dia membelitkan tubuhnya pada gang-gang antar bulu. Namun kulihat dia hampir menangis, menciptakan induk-induk yang bergemuruh membawa semburat warna kelabu. Kini langit terasa sembap. Menyembunyikan kemuning di balik sapuan gelap yang segera merata, dan angin tetap saja lembap dan basah menghantui udara yang sedang bingung mencari teman. Teriakan anarkis dari para manusia dibawah sana merusak gendang telingaku, mereka terus meneriakiku dengan sumpah serapah andalan mereka. Helikopter pun dikerahkan untuk menyingkirkanku, baling-balingnya sangat mengganggu namun tetap saja kuabaikan. Teriakan petugas keamanan yang keluar dari toa mengumpulakan para makhluk tak berakal di tengah pusat kota, mereka menggelar benner, membakar mobil yang terparkir dipinggir jalan, memutahkan bensin dari mulutnya, menyodorkan seonggok golok pada leher yang terbentang di sela suku-suku metropolitan, menyesetnya dengan sekali gesekan, alhasil darah itu muncrat kepojok lorong kota yang mungkin tidak bisa dilalui oleh mobil. Manusia itu telah menjadi kanibal, mereka tega menjilati darah saudaranya sendiri, menaruhnya pada gelas dan menyedotnya serupa es teh yang diteguk untuk menghilangkan dahaga. Sudah hancur masa depan bangsa, namun apa pedulinya aku, tujuanku disini untuk menjemput arwah para bangsaku membawanya kepada tuan yang sedang menonton acara tahunan di televisi.

Sirine dari kerongkonganku telah berbunyi, mereka yang bersembunyi, bermain komedi putar, menari ataupun menangis spontan mendongakkan kepala, melihat aku dan segera mengepakkan sayapnya.

            “Kembalilah di persetubuhanku wahai bangsaku dan bersaksilah kepada tuan di singgahsananya.”

            Untuk sepersekian detik aku mengepakkan sayap, menyapu bersih benda-benda yang sedang menyorotiku dengan lampunya yang tajam. Waktu kembali tiba, dan matahari sudah tidak tampak lagi berganti kelabu yang menggebu dibawah sana tanda hujan dibumbui badai akan segera menyapa. Lantas bagaimana keadaan manusia yang lebih jauh dibawah sana, sudah saatnya mereka mengerti bagaimana keadaan iklim di semesta, iklim yang telah diabaikan menurut presepsiku dan tunggulah 100 tahun mendatang kau akan tahu bagaimana bangsaku akan bersaksi. Selamat tinggal semesta, beristirahatlah jika perlu, tubuhmu sudah terlalu menua, hatimu telah busuk, jantungmu pun mengering, segala macam bentuk rindu telah kau kucurkan bersama rintik yang berpindah-pindah dari ujung kehangatan sampai pelosok kecanduan. Barangkali ada yang memanggilku untuk mengajari tata cara bercengkrama dengan semesta, tolong jangan gegabah. Menunduklah dengan niat mengabdi kepada tuhan, maka kau akan menembus lintasan langit yang perlapis-lapis, memecah meteor yang berlari kesana kemari menikmati irama matahari yang berputar di atas lantai tata surya, dan akhir dari segalanya, pendekatan diri kepada tuhan akan kau temukan di saku celanamu.

            Swarga yang hampa,

            Akan kuceritakan padamu bagaimana semesta merindukan keabadian, Siang itu aku menjemput para bangsaku yang hanya tulang belulangnya dimakan anjing liar dengan liur yang menjubahi kerangka tubuhnya. Mereka tinggalkan sendirian, hanya berupa asap yang terbang ke peristirahatan tertinggi tanpa pakian ataupun boxer yang menutupi. Mereka naik di atas punggungku memandang semesta yang terdiri dari kubik-kubik waktu, menyoraki ruang dan waktu yang saling bersekutu, menikmati keteduhan semu antara langit dan awan. Kubawa mereka berputar mengelilingi bumi, dari sisi kanan mereka bertanya.

            “Oh mengapa bumiku di sisi kanan, bukannya hujan yang seharusnya membanjiri?”
            Aku hanya diam datar, tanpa berekspresi. Kubawa mereka di sisi kanan. Kembali mereka menyusutkan suara dan mendekatkanya kepada telingaku.
            “Di sisi kiri ini seharusnya musim pengguguran dosa-dosa yang telah hinggap.”

            Di sisi bawah, kutahan sayapku beberapa saat. Mereka bertanya dengan tangis. Aku sedikit melirik, memastikan keadaan di atas punggungku, mereka berjejer rapi namun ada yang aneh di ruang matanya. Seperti kepedihan yang membakar selaput halus yang membungkus. Sudahlah, mungkin mereka cukup mengerti dengan keadaan  saudaranya yang sedang terombang ambing di skema ombak yang menjelma api. Kukibaskan sekali lagi dan tibalah pada kesunyian yang biadab, mereka terkejut melihat patahan es serupa gua-gua, yang menggema itu tenggelam mengakibatkan tsunami yang tidak mungkin terdengar bahkan tersorot kamera para manusia menjijikan. Huh, cukup sudah tour singkat yang memberikan oleh-oleh sendu untuk diceritakan kepada tuan.

(baca juga: Kamilah Huruf yang Bersuara pada Semesta)

            Teruntuk tuanku yang agung

            Kubawa bangsaku sebagai saksi ahli di mimbar ini, tempatmu sungguh suci dan tak ada noda kedustaan didalamnya. Maka skrip-skrip ini kubawa dari mulut-mulut pemirsa, yang duduk bersandar di tepi bumi, di sekitar semesta dan dilingkar daun-daun meranggas. Kukuncupkan sayap sebagai penghormatan pertama kali kepada ketabahan tuanku, nabi yang menenteng mukzizat penuh terhadap komunikasi antar hewan.

            Nabi Sulaiman terkasih,

            Kududukkan melingkar semua bangsaku yang telah meninggalkan raganya, dan upeti di samping tuanku ini adalah persembahan terkait basmallah, syahadat, dan rukun islam dan hanya kuberikan kedua kalinya setelah tuhan.  Bahkan tuanku tidak mengangguk ataupun tersenyum, jangankan melakukan hal seperti itu melirik saja mungkin enggan. Tuanku hanya mendengarkan umatnya bercerita dan menceritakanya secara diam-diam kepada tuhan. Sekitar 3 menit berlalu, keheningan menyeruak. Hanya terdengar gemericik air dari sungai susu dielakang singgahsana juga bau harum dari pohon yang subur menlindungi. Namun seketika semua itu hilang, tanda perbincangan akan segera dimulai. Aku memalingkan wajah ke bangsaku. Menyiratkan kedipan mata untuk memulai kisah.

            Merpati yang berada di depan akan memimpin. Dia sudah banyak tahu tentang semesta ketika mengembara mencari jodoh yang tenggelam.
            “Tuanku, izinkan hamba memulai sebuah tragedi di semestamu yang mungkin kepemilikan abadi masih berada diatasmu.”

            “Di sini aku bersaksi, Serupa bongkahan es di kutub utara meleleh yang menjadikan api kedenginan dalam sebuah tabung keheningan. Serupa pengguguran nyawa dimusim semi, ketika tupai keluar mencari kelapa muda yang segar untuk diteguk, alhasil air yang menyegarkan itu terkena tinta darah. Bercak merah mewabah, iklim didunia ini telah memberontak dan semesta kebingungan membela siapa. Sehingga sistem sirkulasi tidak berjalan lancar. Hutan menjadi kering meronta, petani mengairi tanahnya dengan tangisnya sendiri, burung dan hewan telah mati akibat dihujam, terbakar atau bahkan sulit beradaptasi. Ya, memang kita bangsa burung sulit beradaptasi di iklim yang serba kacau. Lalu manusia biadab yang tak tahu dirinya semenjijikan bagkai di gorong-gorong, memasang mimik tanpa dosa terus menebang membangun dan membangun menambah polusi udara sehingga mengikis atsmosfer dan meruntuhkan ketidakpastian akan iklim. Kami bangsa burung tidak bisa tidur nyenyak selalu di desiri angin ketakutan, udara terus membelit menyumbat saluran pernafasan kami. Hanya tersisa beberapa nyawa di semesta, dan mereka yang terakui langka tidak tahu kemana. Tidak ada sapuan jejak yang terarsip, semua kosong, mulus hanya jalan pasti menuju surga.”

            Nabi Sulaiman tidak berkedip, tidak tersenyum, tidak juga menangis. Dia hanya diam, datar tanpa ekspresi. Aduh, buluku serasa tergelitik, seperti ada yang membelit. Kubuka sedikit, sekitar 2 cm dari celah itu kulirik sesuatu yang menggumpal, berwarna putih berbaur kelabu. Dia meminta keluar, sudah cukup lama terjepit dan terhimpit di labirin buluku yang tebal. Kubuka sekitar 15 cm lagi, alhasil, dia dapat keluar dengan lega dan langsung duduk dipundakku tepatnya disamping telinga sebeah kiri. Tubuhku  bergetar, meraung dan bergemuruh. Tiba-tiba ingin sekali mendekatkan pusat pendengaranku itu kepadanya. Tunggu, bukankah gumpalan itu awan yang kutemui saat dibumi. Dia tidak keluar ternyata, mendekap buluku lebih lama dan mungkin dia ingin menyampaikan pesan tersirat kepada tuan.

            Aku sedikit tertawa ketika awan itu membisikkan sesuatu yang hanya bisa didengar olehku atau tuan mungkin, karena berekspresi saja tidak pernah, darimana aku bisa tahu bahwa tuan juga paham apa yang dikatakan awan. Aku mengucapkan permisi kepada tuan untuk mengisahkan kembali dari presepsi otak awan. Lagi-lagi tidak menjawab, mungkin inilah yang dia mau tanpa perintah aku harus menyampaikan.

            “Tuanku yang agung, tubuhku diciptakan untuk melindungi ideologi bangsa, membina para manusia dibawahsana, menaungi bangsa burung yang malang. Disini untuk pertama kali seonggok awan ikut meraimaikan diskusi 100 tahun ini. Dia memintaku untuk menyampaikan apa yang telah dia bisikkan ditelinga ku.”

            Tetap seperti yang lalu, nabi sulaiman tuanku hanya bersikap datar tanpa ekspresi.

            “Dari apa yang telah dilihat dan dirasakan awan. Setelah kejadian tadi yang sudah diceritakan ternyata ada beberapa hal yang disembunyikan selama ini. Terkait kerusakan manusia yang membuat iklim enggan untuk bergerak teratur. Sebuah sejarah kezaliman di masa-masa praktis dan efisien ini. Seorang manusia yang selalu melestarikan tradisi berjabat tangan kali ini tidak, mereka tidak mau menyentuh telapak tangan walaupun sedarah. Karena sudah benyak kerusakan yang telah diciptakan dari jabat tangan, dari pendustaan, kehancuran akibat persetujuan terlarang, atau hanya berjabat untuk berangkat sekolah dan memakirkan ilmunya di warung kopi. Hal ini membuat iklim semakin bingung, jika diturunkan hujan apakah mereka mau berjabat tangan atau malah memperburuk suasana. Karena setiap musim dirasakan dan ditangkap berbeda oleh setiap orang. Peradaban yang sungguh membangkang, rasa saling memaafkan telah luntur, rasa senasib menjerebu dan semua ini akibat ulah manusia sendiri yang tidak mengingat keberadaan mereka disemesta yang hanya bertamu, menyeduh alur kehidupan dan menyeruput wedang permasalahan. Bolehkah kami meminta solusi kepadamu tuan?”

            Sudahlah, aku menyerah jika jawabanya hanya mimik datar. Seketika aku menunduk dengan setengah melirik, aku melihat senyuman itu menyungging melukis wajah putih nan bersih. Sekiranya air mata turun berkelabut membawa solusi yang paling solusi. Bahwa ketabahan adalah solusinya, karna semua ini bagian dari remah-remah takdir tuhan. Terbentangnya sayapku yang berjumlah 45, menelungkup semua yang ada dalam diskusi ini. Kupeluk dengan erat berdesir kehangatan yang menyeruak. Garuda pemangku bangsa, aku terlelap tidur bersama bangsaku juga tuan yang tidak mau menurunkan senyuman itu.

*Penulis merupakan lulusan SMA Nuris Jember tahun 2023, berprestasi nasional di bidang karya sastra (penulisan cerpen)

Related Post