Lantung Cakrawala

Penulis: Dading Pasha*

Dadaku semakin sesak. Mataku kabur terkena kebulan asap yang tak bersahabat. Seburuk inikah jika rumah kami dihancur leburkan? Rumah kami rimbun dengan dedaunan hijau! Tapi kini kulihat tumbang hancur lebur. Hanya ada kebulan asap. Dengan dalih kesejahteraan manusia! Tapi lupa dengan nasib kami. 

Mereka pikir kami hanya hama yang tak berguna. Mereka pikir kami punya istana selain di sini. Baiklah, mungkin memang itu keinginan mereka.  Apa masih panjang jalan kami menuju damai?.

Di tengah badai yang rusuh, ayunan ombak laut yang riuh, angin yang tak hentinya ringkih angkuh. Aku masih kepakkan kedua sayapku. Silih berganti melawan hentakan badai.

“Kau yakin kita akan selamat?” teriak Puma yang merasa bulunya copot satu persatu.

“Kurasa kita hanya mencari bunga tidur!” Ujar Puma yang makin lemas.

“Tidak kawan! Kita sedang mencari masa depan! Kita sedang mencari Amazon! Kita sedamg mencari Nirwana!”

Perkataanku membakar bara api semangat di hati kami bertiga yang hampir padam. Tapi perjalanan kami tidaklah mudah. Seperti percobaan mencari jarum di tumpukan jerami. Tapi tidak sesulit menyalakan api di dalam lautan.

  Kami hanya ingin bebas.

  Kami hanya ingin damai.

  “Heii!! Kalian lihat?”  Aku teriak dengan suara parau yang hampir tenggalam.

   “Itu dia!! Hutan yang kita cari!” Ucap Runda.

   “Oh yaa benar!” Puma menimpali.

  “Ayo kita turun!” Teriakku.

(Baca juga: bukan-lagi-kita)

Kami disambut oleh burung rajawali tua dengan keriput di bawah pipi. Matanya terlihat hitam. Terlihat kurang tidur. Entah apa yang ia pikirkan. Mungkin memikirkan nasib kami di bumi ini. Semoga Saja.

   “Turunlah wahai saudaraku!” Teriak para rakyatnya. Akhirnya kami sampai di bumi Amerika. 

Diluar dugaan kami!. Ternyata ini adalah surga!. Surga bagi kami dan saudara-saudara kami.

    “Bagaimana keadaan saudara kalian di sana, nak?” Kata tetua.

    “Tidak sebaik kami. Dan mungkin tak akan pernah baik. Mungkin hanya kami yang  tersisa.” Aku menjawab dengan napas yang masih terengal-engal.

     “Kami hampir saja mati, kami hampir saja hangus terbakar, kami hampir saja hanyut tenggelam.” Teriak Puma dengan spontan dan nada tinggi.

   “Tapi kalian  menjadi saksi mata sejarah. Sejarah kerakusan manusia.” Dawuh tetua.

     Semoga mereka mati dalam damai. Mungkin kedamaian mereka, mereka dapati saat sudah tidak lagi terbang menjelajah.

     Sekarang kalian selamat. Manusia memang tak pernah punya rasa puas! Istana kita di Bumi telah musnah. Begitupun saudara-saudara kita. Sebenernya mereka hanya sedang berjalan menuju kehancuran bagi mereka sendiri. Tidaklah ada kemanfatan bagi mereka atas apa yang mereka lakukan pada kita.”  Begitulah  dawuh tetua. Sangat mengiris hati, sekaligus menenangkan. 

    Akhirnya kita dapati mimpi menjadi nyata. Nirwana yang hanya diangan-angan, kini sudah kami buktikan. Semulanya kami di neraka, akhirnya sampai di surga. Semoga saudara-saudara kami yang masih selamat, bisa terbang pergi menjauh dari sana. Semoga terbebas dari rakusnya manusia yang hampa. 

Penulis merupakan siswa MA Unggulan Nuris

Related Post