Oleh: KH Muhyiddin Abdusshomad
Mencium tangan para ulama merupakan perbuatan yang sangat dianjurkan agama. Karena perbuatan ini merupakan salah satu bentuk penghormatan kepada mereka. Dalam sebuah hadist dijelaskan:
عَنْ زَارِعٍ وَكَانَ فِيْ وَفْدِ عَبْدِ الْقَيْسِ قَالَ لَمَّا قَدِمْنَا المَدِ يْنَةَ فَجَعَلْنَا نَتَبَادَرُ مِنْ رَوَاحِلِنَا فَنُقَبِّلُ يَدَالنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَرِجْلَهُ (رواه أبو داود، ٤٥٤٨)
“Dari zari’, ketika beliau menjadi salah satu delegasi suku Abdi Qais, beliau berkata, “Ketika sampai di Madinah, kami segera turun dari kendaraan, kemudian kami bersegera turun dari kendaran kita, lalu kami mengecup tangan dan kaki Nabi SAW.” (Hr. Abu Dawud {4548})
(baca juga: Hujjah Aswaja: Pengobatan Alternatif Menggunakan Do’a)
Atas dasar hadis ini, para ulama mennyunahkan mencium tangan guru, ulama, orang shaleh serta orang-orang yang kita hormati. Kata Imam al-Nawawi dalam salah satu kitab karangannya menjelaskan bahwa mencium tangan orang shalih dan ulama yang utama itu di sunnahkan. Sedangkan mencium tangan selain orang-orang itu hukumnya makruh.” (Fatawi al-Imam al-Nawawi, hal,79).
Dr. Ahmad al-Syarbashi dalam kitab Yas’alu-naka Fi al-Din wa al-Hayah memberikan kesimpulan akhir, bahwa apalagi mengecup tangan itu dimaksudkan dengan tujuan yang baik, maka (perbuatan itu) menjadi baik. Inilah hukum asal dalam masalah mencium tangan in. Namun bila perbuatan itu digunakan untuk kepentingan dan tujuan yang jelek, maka termasuk perbuatan yang terhina. Sebagaimana halnya setiap perbuatan baik yang diselewengkan untuk kepentingan yang tidak dibenarkan.” (Yas’alunaka fi al-Din wa al-Hayah, juz II, hal. 642).