Oleh: KH. Muhyiddin Abdusshoman*
Soal:
Ketika kita berziarah ke makam par awali, ulama dan orang-orang shaleh, biasanya kita lihat di atas makam tersebut dibangun sebuah kubah / cungkup. Batu nisannya juga diselimuti dengan kain kafan. Bagaimana hukumnya hal tersebut?
Jawab:
Mengenai hal ini, terdapat pendapat yang berbeda. Semuanya bertujuan untuk mengagungkan dan mensucikan Allah SWT, walaupun dalam penerapanya berbeda. Yang satu melarang sementara yang lain memperbolehkannya:
يُكْرَهُ كَرَاهَةَ تَحْرِيْمٍ تَسْنِيْمُ الْقُبُوْرِ وَالْبِنَاءُ عَلَيْهَا عَلَى نَحْوِ الَّذِي يَفْعَلُهُ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ الْيَوْمَ. (الفقه المنهجى ج ١ ص ٢٦٢)
“Makruh tahrim hukumnya membentuk kuburan seperti punuk dan membangun cungkup di atasnya seperti yang sering dilakukan banyak orang-orang akhir ini.” (Al-Fiqh al-Manhaji, juz I, hal 262)
Hal ini berdasarka Hadits:
عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ. (صحيح مسلم، رقم . ١٦١)
“Diriwayatkan dari Jabir RA, dia berkata bahwa Rasulullah SAW melarang mengecat kuburan dengan kapur.” (Sahih Muslim [1610])
Yang mengatakan boleh-boleh saja, jika bertujuan supaya masyarakat bisa menghomati para ulama dan auliya tersebut. al-Qadhi Habib al-Haq al-Farmuluwi mengutip kitab Tahrir Syami, (juz I, hal 123) menyatakan:
إِنَّ الْبِدْعَةَ الْحَسَنَةَ الْمُوَفِقَةَ لِمَقْصُوْدِ الشَّرْعِ تُسَمَّى سُنَّةً فَبِنَاءُ الْقُبَابِ عَلَى قُبُوْرِ الْعُلَمَاءِ وَالْأَوْلِيَاءِ وَالصُّلَحَاءِ وَوَضْعُ السُّتُوْرِ وَالْعَمَائِمِ وَالثِّيَابِ عَلَى قُبُوْرِهِمْ أَمْرٌ جَائِزٌ إِذَا كَانَ الْقصْدُ بِذَالِكَ التَّعْظِيْمَ فِيْ اَعْيُنِ الْعَامَّةِ حَتَّى لَايُحَقِّرُوْا صَاحِبَ الْقَبْرِ وَكَذَا إِيْقَادُ الْقَنَادِيْلِ وَالشَّمْعِ عِنْدَ قُبُوْرِ الْأَوْلِيَاءِ وَالصُّلَحَاءِ مِنْ بَابِ التَّعْظِيْمِ وَالْإِجْلاَلِ أَيْظًا لِلْأَوْلِيَاءِ فَالْمَقْصَدُ فِيْهَا مَقْصَدٌ حَسَنٌ. (المسائل المنتخبة فى الر سالة والوسيلة، ص ١٩)
“Sesungguhnya bid’ah hasanah yang sesuai dengan tujuan syara’ dinamakan sunnah. Oleh sebab itu, membangun cungkup di atas kuburan para ulama’, auliya’ dan orang-orang shaleh, juga memasang tabir, surban dan pakaian di atas kuburan mereka adalah di perbolehkan, jika bermaksud untuk penghormatan di mata orang-orang awam. Demikian juga (boleh) menyalakan lampu dan lilin (atau listrik di zama ini) di dekat kuburan para auliya’ dan orang-orang shaleh. Sebab hal itu merupakan penghormatan dan pengagungan terhadap para wali Allah SWT. Maka tujuan tersebut adalah baik.” (Al-Masa’il al-Muntakhabah fi al-Risalah wa al-Wasilah, 19)
(baca juga: Hujjah Aswaja: Pelaksanaan Tahlil Selama Tujuh Hari)
Kedua pendapat di atas sebetulnya bermuara pada tujuan kita dalam pembuatan cungkup tersebut. jika hanya untuk bermegah-megahan, maka perbuatan itu jelas dilarang. Tapi, apabila dibuat dengan tujuan baik, misalnya menghormati orang yang ada dalam kuburan itu, tentu hukumnya juga baik dan tidak dilarang. Al-Qadhi Habib al-Haq al-Farmuluwi mengatakan:
أَقُوْلُ فِيْ بَعْضِ الْأُمُوْرِ الْمَذْكُوْرَةِ فَوَائِدُ لِلزَّائِرِيْنَ بِظِلِّ الْبِنَاءِ وَاسْتِضْوَائِهِمْ بِضَوْءِ السِّرَاجِ وَالشَّمْعِ حِرْزًا وَاجْتِنَابًا عَنْ أَذَى الْمُؤْذِيَاتِ وَالوُقُوْعِ فِيْ الْحَفَرَاتِ، اِلاَّ أَنَّ هَذَا الْكُلَّ فِيْ مَرْتَبَةِ الْجَوَازِ. (المسائل المنتجبة في الرسالة والوسيلة ص ١٩)
“Saya berpendapat bahwa pada sebagian perkara yang tersebut di atas itu (membuat cungkup dan menyalakan lampu) ada gunanya bagi para penziarah kubur yaitu mereka bisa bernaung di bawah bangunan tersebut dan mereka bisa mendapatkan penerangan dari sinar lampu dan lilin guna menjaga diri para pengganggu juga untuk menghindar dari terperosok ke lubang. Hanya saja semua itu adalah boleh.” (Al-Masa’il al-Muntakhabah fi al-Risalah wa al-Wasilah)
Disamping itu, makam ulama merupakan salah satu syi’ar Allah SWT di bumi yang harus dihormati dan digunakan. Firman Allah SWT:
وَمَنْ يُعَضِّمْ شَعَائِرَاللهِ فَاِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوْبِ. (الحج، ٢٦)
“Maka barang siapa yang memuliakan syi’ar Allah, maka itu termasuk bagian dari ketaqwaan hati.” (QS. Al-hajj, 6)
Menafsirkan ayat ini, Sayyid ‘Abdul Ghani al-Afandi al-Nabulusi, mengatakan:
وَشَعَائِرُ اللهِ هِيَ الْأَشْيَاءُ الَّتِى تُشْعَرُ أَيْ تُعْلَمُ بِهِ تَعَالَى كَالْعُلَمَاءِ وَالصَّالِحِيْنَ اَحْيَاءً وَاَمْوَاتًا وَنَحْوَهُمْ. (كشف النور عن اصحاب القبور، ١٣)
“Yang dimaksud dengan syi’ar Allah SWT adalah segala sesuatu yang dapat dijadikan sebagai tanda atau petunjuk kebesaran Allah SWT. Seperti ulama, orang shaleh, di waktu hidupnya ataupun ketika telah meninggal dunia dan semisal mereka.” (Kasyf al-Nur’an Ashhab al-Qubur, 13)
Berdasarkan beberapa keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa memasang kain di batu nisan atau membuat kubah di kuburan, khususnya pada makan para wali, tidak dilarang. Apalagi cungkup tersebut dapat dimanfaatkan sebagai tempat untuk membaca al-Qur’an, berdzikir dan berdo’a kepada Allah SWT. Tentu semua itu sangat dianjurkan.
Sumber: KH Muhyiddin Abdusshomad. 2010. Fiqih Tradisionalis. Surabaya: Khalista.
*Penulis adalah Syaikhul Ma’had Pesantren Nuris Jember