Kanvas Putih

Oleh: Sinta Devi Listianah*

Jember, 11 Desember Hujan

Kesunyian itu terhampar luas di depan mataku. Kenangan yang terus mengalir bersama semilir angin. Sebuah perasaan yang menyeruak bengis saat ku injakkan kakiku disini, menyaksikan banyanganmu yang mulai terkikis waktu.

Jember, 01 Mei Tak Kunjung Kemarau

Untukmu, sahabatku……

Film itu masih terputar baik dalam memoriku. Menampilkan suasana yang sangat familiar. Hari itu, kelasku kedatangan murid pindahan dari Tangerang, kota yang terletak disamping Ibu kota, Jakarta. Gadis itu tersenyum lembut saat Ustadzah Lani mempersilahkanya memperkenalkan diri.

“Panggil aja Carl.” Ucapnya kala itu, dengan nada bicara khas kota. Jujur, harus ku akui aku tidak suka dengan sikap yang dia tampakkan. Aneh. Tapi, biarlah. Aku lebih memilih acuh. Lebih tertarik menghabiskan novel favorit yang tak pernah bosan kubaca, Harry potter edisi ke 9, dengan naskah asli yang masih di tulis menggunakan bahasa inggris. Sedikit susah karena aku harus bolak balik membuka kamus, belum lagi membacanya bersembunyi. Yah, hidup di lingkungan pesantren tentu membuat banyak hal menjadi tak mudah. Termasuk lingkup bacaku yang harus di batasi dengan peraturan “DILARANG MEMBAWA NOVEL ATAU SEJENISNYA.” Tetap membawa, itu berarti siap mendapat poin yang akan selalu di jumlah di akhir tahun dan di tukar dengan beragam hukuman. Kecuali, jika kau pandai menyembunyikanya. Sungguh, menyebalkan.

Namun, aku sungguh terkejut saat kudapati suara itu begitu dekat dengan telingaku.

“Hay, Carl. Loe?.” Ah. Mendengar kalimat itu saja membuat telingaku gatal. Apa dia belum sadar, di tempat mana sekarang ia berada?. Kenapa masih menggunakan bahasa kota yang jelas tak pantas digunakan di lingkungan ini. Aku tersenyum, sebisa mungkin menutupi ketidaksukaanku.

“Fira.” Aku membalas uluran tangan Carl.

Sebagai santri baru, aku maklumi jika tatanan bahasa yang ia gunakan masih sangat kota. Kasar untuk didengar bagi santri lain. Namun, sebagai orang baru, dia benar benar berbeda. Aku kira dia akan lebih memilih diam ketimbang mengoceh. Tapi asumsiku benar benar keliru. Sehari saja duduk di bangku yang sama,  telingaku tak habisnya mendengung akibat suaranya yang lantang menegur teman temanku. Mengajak bicara dari jauh. Atas nama menghargai, mereka tersenyum saja, walau aku tahu ada yang mereka sembunyikan. Kejengkelan.

“Hey loe. Yang pakek kerudung biru, kantin dimana ya?.” Tanyanya pada Hilwa, salah seorang temanku. Gadis itu tersenyum kecut, lalu menunjukkan arah menuju kantin. Dan, tanpa permisi atau mengucapkan kata TERIMA KASIH dia pergi.

“Sabar ya Hil. Masih santri baru.” Aku menghampiri Hilwa yang mulai di kuasai emosi. Huft. Hilwa menari nafas panjang. Ia mengangguk sambil memaksakan senyum. Sorenya, saat mengantri makanan, Carl mulai menunjukkan sifat yang lain. Menerobos antrian. Sontak santri lain menegurnya. Namun, tak kusangka ia hanya menutup telinga. Pura pura tuli. Sikapnya sangat menjengkelkan. Terutama setelah mendapat makanan, dengan mudahnya ia buang nasi itu ke sampah.

“Kok di buang?.” Tanyaku menghampirinya setelah menahan diri hanya melihat tingkahnya dari jauh.

“Sorry. Gue nggak nafsu makan kayak gitu.” Astagfirullah. Aku benar benar sakit hati mendengar ucapanya. Ah. Mungkin memang makanan di pesantren terlalu sederhana untuk Carl yang mungkin selalu makan dengan makanan yang mewah setiap hari. Tapi, apa harus dengan mencela makanan itu, apa harus dengan membuangnya, dan ia merasa puas. Padahal, belum tentu setiap orang beruntung mendapat jatah makanan setiap kali makan. Tapi dengan mudahnya, Carl membuang makanan itu di depan santri lain.

Selesai mencela, Carl berjalan menuju kantin, lalu membeli mie instan dan membawanya ke kamar. Aku tahu semua santri dongkol melihat peristiwa barusan. Jadi, aku meneriakkan kata maaf untuk perlakuanya Carl, sambil mengatakan bahwa Carl adalah santri baru. Aku harap mereka mau memaklumi sikapnya yang sedikit tidak sopan.

“Carl, kamu yakin nggak mau makan nasi?.” Aku menghampirinya yang asyik melahap mie instan yang ia remas menjadi bagian kecil kecil. Ia hanya menggeleng kecil.

“Carl, semua santri ngerasa kesal atas sikap kamu tadi.” Selembut mungkin ku ucapkan kata itu.  Namun jawabanya sungguh di luar dugaan.

“Peduli amat sih. Ini gue. Terserah mau mereka suka atau enggak.”

“Ya tapi kamu harus sadar Car, kamu hidup di pesantren sekarang. Kalau sikap kamu kayak gitu terus, semua akan menjauh dari kamu.”

“Udahlah, loe tuh nggak usah sok bijak. Dan lagi, nggak usah ngebela gue kayak tadi. Gua nggak suka. Dan inget, ini hidup gue. Loe nggak berhak ikut campur. Sekarang giliran Carl yang marah. Ia membanting gagang pintu dan berjalan keluar. Ah. Ini benar benar menguras emosiku. Ini memang bukan pertama kalinya ku dapati sosok seperti Carl yang brutal. Banyak karakter yang aku temukan ketika pertama kali menginjakkan kaki disini. Ganas, liar, pendiam, cerewet, keras kepala, susuah diatur, penakut, dan masih banyak karakter lain. Tapi, bukankah ini pesantren. Jadi kurasa, perbedaan karakter memang selalu ada. Dan yang harus semua orang lakukan adalah beradaptasi satu sama lain, pun dengan lingkungan yang sangat berbeda.

Jangan cari kebebasan atau kenikmatan disini, karena aku berani jamin semua takkan kau dapatkan di pesanten, terutama pesantren pinggiran seperti pesantrenku. Hidup kami sederhana, teramat sederhana sampai tak kutemukan sisi kemewahan dari segi manapun. Mungkin, untuk seseorang yang tak mengenal kata pesantren, mereka hanya bisa mengatakan bahwa pesantren adalah tempat cupu yang hanya mengekang dengan segudang peraturan, bahkan tak sedikit yang berkomentar bahwa santri selalu tertinggal, terbelakang. Namun pesantrenku, berhasil mengubah perspektif itu.

Dua tahun yang lalu, Kyai Muhyiddin telah menyerahkan semua uruan pesantren kepada anak lelakinya, Gus Robith Qoshidi Lc. Lulusan kairo Mesir. dan sejak itu, semua berubah.

Pesantren kami menjadi tempat yang bukan hanya mengedepankan ilmu agama, namun juga ilmu umum. Berbagai kegiatan mulai di adakan. Mulai dari pendataan, seleksi, hingga akhirnya kursus yang di adakan seminggu empat kali. Dan semua membuahkan hasil. Pesantrenku menjadi pesantren yang mulai di kenal banyak orang dengan kejuaraan yang banyak kami menangkan. Pesantren Nurul Islam.

Aku tahu, bukan karena hanya mencari poularitas semua ini terjadi. Kyai sepuh sadar bahwa di zaman yang global, tak akan mudah hidup hanya dengan bekal ilmu agama, sedang tuntutan zaman berebeda. Belum lagi kepemimpinan yang mulai rusak dan bobrok. Kyai ingin, santri-santrinyalah sang pemegang kursi kekuasaan nanti. Dan hal itu takkan terwujud bila santri hanya di bekali dengan ilmu agama.

Kembali pada Carl. Aku tahu, takkan mudah baginya yang selama ini hidup di alam yang bebas, kini harus menggunakan pakaian serba tertutup yang kurasa tak pernah ia gunakan sebelumnya. Namun, semua orang yang masuk kedalam lingkup ini memang harus berubah. Beradaptasi. Dan sebagai teman sebangku, tentu aku punya tanggung jawab untuk membimbingnya berubah. Walau aku yakin semua takkan mudah.

“Car, sarapan yuk.”

“Ogah.” Jawabnya kasar. Huuuh. Butuh kesabaran ekstra untuk ini.

“Kamu kenapa sih. Aku yakin perut kamu pasti lapar. Mie instan nggak akan membuah perut kamu kenyang sepenuhnya. Ayolah Car. Kamu harus sadar dimana kamu tinggal sekarang. Kamu nggak bisa lari Car. Yang harus kamu lakukan sekarang adalah beradaptasi dengan lingkungan baru kamu.”

“Kenapa sih, loe peduli sama gue. Kenapa loe nggak pergi aja kayak mereka yang selalu menghindar tiap gue lewat. Gue bukan anak baik ra. Jadi please, mending loe pergi.”

“Setiap orang selalu punyak masa lalu. Kalaupun dulu kamu bukan anak baik, dengan masuk pesantren, kamu harus berubah. Aku yakin, orangtua kamu juga penegen kamu berubah, makanya mereka kirim kamu kesini.”

“Nggak. Loe salah. Justru mereka buang gue kesini.” Mata carl berkaca kaca saat mengatakan kalimat itu dengan emosi yang membuncah.

“Mereka egois. Semuanya egois. Mereka cuma bisa nyari duit, tapi nggak pernah kasih perhatian buat gue. Mereka egois ra. Sekarang bokap nyokap gue udah ngurusin surat perceraian. Bahkan gue nggak sempet ngerasain bahagianya punya keluarga utuh. Tapi mereka udah mau pisah. Bayangin kalau loe jadi gue ra. Gimana rasanya di buang?.” Air matanya sempurna tumpah. Tangisnya pecah saat itu juga. Aku mencoba merengkuhnya.

Gadis itu benar. Terkadang memang anak anak yang dimasukkan ke pesantren adalah korban keegoisan. Tapi, jika kita bisa memaknai kejadian dengan sisi yang berbeda, bukankah semua takkan terasa menyakitkan.

“Kamu boleh salahin orang tua kamu sekarang Car. Itu hak kamu. Tapi, coba kamu pikir, apa mereka juga mau semua jadi kayak gini. Nggak ada orang tua yang mau buang anaknya kecuali terpaksa. Aku yakin, ayah dan ibu kamu sayang sama kamu Car. Hanya saja, cara mereka buat nunjukin kasih sayang buat kamu beda.

Banyak orang diluar sana yang menderita karena materi yang nggak tercukupi. Mungkin, orang tua kamu selalu kerja karena mereka takut kalau kebutuhan kamu nggak terpenuhi kayak anak anak lain. Aku yakin, sebenarnya mereka juga pengen ngerasain keluarga yang normal kayak yang orang lain bisa rasakan. Tapi terkadang keadaan selalu memaksa kita untuk memperjaungkan hal lain, dan menerima kenyataan yang nggak sesuain dengan apa yang kita pengen.

Dan untuk perceraian, aku yakin mereka udah memikirkan hal itu mateng mateng. Dan mungkin, nggak ada cara yang lebih baik selain perceraian. Kadang perpisahan memang lebih baik dari pada terus bersama tanpa kebahagiaan. Percaya Car, ini adalah jalan terbaik buat kamu.  Yang harus kamu lakukan hanyalah menerima semua. percuma juga kan kamu marah. Nggak akan ngerubah keadaan.”Carl masih menangis sesenggukan. Nafasnya tersenggal senggal. Kupegangi pundaknya yang melemas.

“Car, orang tua kamu sadar bahwa mereka nggak bisa mendidik kamu secara langsung. Karena itu mereka kirim kamu kesini. Mereka ingin kamu jadi anak yang lebih baik. Jadi, ayo. Ubah semua sikap kamu. Kita mulai semua dari awal.” Carl menatapku lekat. Sedetik kemudian, kepalanya mengangguk. Dan sejak saat itu, tak pernah kulewatkan hari tanpanya. Vira Anjani.

Aku tersenyum kearah batu nisan itu. Ah. Sesak sekali rasanya. Sosok itu telah pergi setelah berhasil mengubah duniaku. Vira. Terimakasih untuk semua nasihat yang kau siramkan di atas hatiku yang terluka. Terimakasih telah mengubah keperibadianku menjadi lebih baik. Sekali lagi terimakasih. Karena tak ada yang mampu aku lakukan selain mengucapkan terimakasih untukmu.

Maaf. Andai saat itu aku titipkan alamatku, mungkin aku tidak akan terlambat untuk datang menemuimu. Andai saat itu aku menyempatkan untuk berpamitan. Mungkin aku masih bisa menatapmu untuk terakhir kalinya. Namun, hanya kutemukan surat dan nisanmu disini. Beserta segunung penyesalan atas keterlambatanku.

Aroma khas bunga Kamboja yang diterpa angin semakin membuat hatiku sakit. Kulihat awan mulai berarak ke Barat. Tanpa sadar, surat yang kubaca terbang bersama angina itu. Vira. Sekali lagi terimakasih pernah menjadi dunia untukku. Meski aku tidak tahu, harus kemana ku labuhkan kerinduanku. Karena hanya kutemukan bayanganmu diatas nisan itu. Dan kamu, adalah sosok dalam kanvas putih yang belum sempat ku lukis, hingga takkan pernah bisa kuhapus.[]

*Penulis merupakan alumni SMA Nuris Jember

Related Post