Penulis: Wilda Indana Lazulfa
Evolusi rel kereta berdenyut 90 derajat
Berhembus termometer yang sekarat
Merakit menuju puncak limas segitiga
Perlahan, bola mataku termakan luka milik neraka
Bermedan iblis yang tengah asik memakan nasi
berlauk ikan teri
Sementara tanganku dipenggal langit yang buntu
Lalu tumbuh di bawah kepakan sayap irasional rindu,
menjadi antero yang dibungkus plastik transparan masa lalu.
(baca juga: Hujan dan Embun)
Barangkali, lima ribu bisa menjadi sogokan untuk malaikat,
agar menambah lukisan puisi pada kitab yang tak jangkau kulihat
Tanganku menengadah,
Menampung lautan yang berasosiatif pada vektor ambisius tak bertuan
Bidadari di surga menyayat kakinya,
Juga mejahit luka pada waktu yang menjihad disetiap dentingan berpalu
Aku masih berdiri, menyeduh kopi sembari memenggal diri pada frekuensi rel kereta 90 derajat, kulukiskan raungan gempa, yang masih bertabuh hampa
Sembari menangkap rima setan yang tertawa
Kucapurkan pada kopi bunda sebagai penambah seduhan 2 detik
Kuseruput kopi yang masih bergulat delaga lalu, wush….
Ia menjadikanku sebutir abu kelana
*Penulis adalah alumnus SMA Nuris Jember tahun 2023