Penulis: Tazyinatul Ilmiah*
Zaid bin Tsabit bin Ludzan bin Amr bin Abdu Auf bin Ghanam bin Malik bin Najjar bin Tsa’labah. Namanya mungkin jarang disebut dalam sejarah umum Islam. Namun, jika menilik kembali tentang bagaimana awal mula Al Qur’an ditulis, maka nama Zaid bin Tsabit menjadi nama yang sangat penting disebut.
Zaid bin Tsabit merupakan keturunan dari Bani Najjar. Ketika ia berusia 11 tahun ia sudah mampu menghafal 11 surah Al Qur’an. Dia mendapat keistimewaan dari nabi Muhammad yakni diberikan kepercayaan penuh untuk menjadi penulis wahyu dan surat-surat yang hendak dikirim oleh nabi.
(Baca juga: ustaz abdul shomad; pendakwah berdarah melayu)
Sebelum mendapat kepercayaan untuk menulis wahyu dan menghimpun Al Qur’an, Zaid bin Tsabit merupakan sahabat Ansar dari Madinah. Pertemuan pertamanya dengan baginda nabi ketika Zaid bin Tsabit masih berusia 11 tahun.
Zaid bin Tsabit beserta keluarganya masuk islam, Rasulullah pun mendoakan keberkahan untuk dirinya. Di lingkungannya, Zaid terkenal sebagai anak yang bersemangat dan pemberani. Ketika terjadi perang Uhud, Zaid beserta teman-temannya menemui Rasulullah supaya diikutkan dalam peperangan. Namun pada saat itu Rasullah menolak karena umur mereka masih terlalu kecil.
Pada saat itu Rasullah menjanjikan pada Zaid beserta teman-temannya bahwa mereka akan diajak pada peperangan yang akan datang. Zaid kecil tumbuh sebagai pemuda yang cerdas dan pemberani, Zaid mampu menghafal Al Qur’an, menulis wahyu untuk Rasulullah, serta menguasai ilmu hikmah.
Pada suatu hari Rasulullah mendapatkan tugas untuk menyampaikan dakwah ke dunia luar dan mengirimkan surat kepada para Kaisar dan Raja di seluruh penjuru dunia. Kecerdasan, keahlian, dan kecakapan Zaid, membuat Rasulullah tertarik untuk memintanya mempelajari berbagai bahasa asing termasuk aksara Yahudi.
(Baca juga: ar-razi seorang ilmuwan islam sedunia)
“Hai Zaid, Pelajari bahasa Yahudi (Ibrani). Aku tidak percaya mereka, aku tidak merasa aman dengan suratku dari mereka,” kata Rasulullah.
Zaid bin Tsabit menyanggupi permintaan Rasulullah dan segera dapat menguasai bahasa kaum Yahudi tersebut dalam waktu yang singkat. Semenjak saat itu, Zaid menjadi penerjemah dan penulis balasan surat-surat ketika Rosulullah hendak mengirimkan surat atau menerima surat dari para Kaisar. Zaid pun kerap dijuluki sebagai tangan kanan Rosulullah.
Nabi Muhammad SAW tidak hanya berdakwah secara langsung di depan para pengikutnya, akan tetapi, Nabi juga berdakwah dengan cara mengirimkan surat kepada raja-raja untuk megajak mereka masuk Islam. Raja-raja yang pernah dikirimi surat oleh Nabi Muhammmad SAW antara lain; Muqawqis (Raja Qibthi di Mesir), Heraclius (Kaisar Romawi Timur) dan Raja Najasyi (Penguasa Habasyah). Kemudian Gassan Jabalah bin Aiham (Raja Thaif), Negus (Penguasa Abessinia), Munzir bin Sawi (Penguasa Bahrain) dan Kisra (Penguasa Persia).
Kecerdasan Zaid juga membuatnya dipercaya mengemban salah satu tugas paling besar nan mulia dalam sejarah islam yaitu menghimpun Al Qur’an.
Zaid berkata, ” Demi Allah! kalau sekiranya kalian bebankan aku untuk memindahkan bukit dari tempatnya, tentu hal itu lebih ringan dari pada kalian perintahkan aku untuk membukukan Al Qur’an.”
Ia juga mengatakan ” Aku meneliti Al Qur’an, mengumpulkankannya dari daun-daun lontar dan hafalan-hafalan orang”
Berkat taufik dari Allah Zaid pun menjalankannya dengan sepenuh hati.
Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhu wafat pada tahun 45 H di masa pemerintahan Muawiyah bin Abu Sufyan. Dari wafatnya Zaid, Abu Hurairah berkata, “Pada hari ini telah wafat tintanya umat ini. Semoga Allah menjadikan Ibnu Abbas sebagai gantinya.”
Tinta merupakan ungkapan untuk keluasan ilmu. Karena di zaman dahulu, menulis ilmu itu membutuhkan tinta. (taz/jai)
Penulis merupakan alumni SMA Nuris Jember