Kesenian Musik Hadrah dalam Pandangan Agama

oleh: KH. Muhyiddin Abdusshomad*

Musik sudah menjadi salah satu kebutuhan pokok bagi kehidupan manusia. Hampir tidak ada ruang yang steril dari musik. Bahkan dalam upaya membudayakan shalawat Nabi, akhir-akhir ini blantiks musik Indonesia diwarnai dengan maraknya alunan cinta Rasul. Termasuk di dalamanya kesenian hadrah yang mulai merambah pasaran luas. Lalu, ada apa dengan musik? Bagaimana hukumnya menyanyi dan memainkan alat musik? Dan bagaimana hukumnya menari (rodat)?

Salah satu karakter manusia adalah senang terhadap keindahan (seni). Yaitu pesona alam yang sejuk dipandang mata (seni rupa) serta alunan alam yang asyik dinikmati telinga (seni suara). Ketika Rasulllah SAW disambut meriah dengan nasyid (syair) Thala’a al-Badru ‘alaina… yang disertai dengan tabuhan rebana.

Begitu pula dengan nyanyian (nasyid), sebab menyanyi itu merupakan fitrah manusia yang snang pada keindahan. Lagu tersebut dilantunkan untuk menghiasi hati manusia agar terhibur dengan menikmati serta menghayati tiap bait syair yang dilantunkan dengan suara yang merdu. Untaian lantunan lagu tersebut diharapkan hati seseorang akan tergerak untuk merasakan keindahan ciptaan Allah SWT, sekaligus mengakui kekuasaan-Nya. Karena itulah imam al-Ghazali menyatakan:

وَمَنْ لَمْ يٌحَرَّكْهُ السَّمَاعُ فَهُوَنَاقِصُ الْعَقْلِ مَائِلٌعَنِ الْإِعْتِدَالِ بَعِيْدٌعَنِ الرُّوْحَانِيَّةِ (مختصراحياءعلوماالدين,١١٦)

“Siapa saja yang hatinya tidak tergerak oleh sebuah lagu, maka orang tersebut kurang sempurna akalnya, tidak seimbang dan tidak punya spiritualitas.”(Mukhtashar Ihya’ Ulum al-Din,116)

Mengenai hukum menyanyi, Imam al-Ghazali menyatakan:

اَلْخَامِسُ:اَاسَّمَاعُ فِى اَوْقَاتِ ا لسُّرُورِتَأْكِيْدًالِلسُّرُوْرِوَتَهْيِيْجًالَهُ. وَهُوَمُبَاحٌ اِنْ كَانَ ذَلِكَ السُّرُوْرِمُبَاحًاكَالْغِنَاءِفِى اَيَّامِ الْعِيْدِوَفِى الْعُرْ سِ وَفِى وَقْتِ قُدُوْمِ الْغَا‌ئِبِ وَفِى وَقْتِ الْوَلِيْمَةِ وَالْعَقِيْقَةِ وَعِنْدَ وَلَادَةِالْمَوْلُوْدِوَعِنْدَخِتَانِهِ وَعِنْدَحِفْظِهِ الْقُرْآنَالْعَزِيْزَ.وَكُلُّ ذَلِكَ مُبَاحٌ لِأَجْلِ اِظْهَارِالسُّرُوْرِبِهِ…الىان قل…وَيَدُلُّ عَلَى هَذَامِنَ النَّقْلِ اِنْشَاءُ النَّسَاءِعَلَى السُّطُوْحِ بِالدَّفَّ وَالْأَلْحَانِ عِنْدَقُدُوْمِ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم.طَلَعَ الْبَدْ رُعَلَيْنَا * مِنْ ثَنِيَّةِ الْوَدَاعِ * وَجَبَ الشُّكْرَعَلَيْنَا * مَادَعَالِلَّهِ دَاعِ . (احياء علوم الدين،ج ا ص ٢٧٧)

“Yang kelima adalah menyanyi pada saat-saat yang menggembirakan untuk menampakkan rasa bahagia serta suasana meriah. Hal itu hukumnya tidak dilarang jika dilaksankan pada perayaan uyang dibolehkan. Seperti menyanyi pada hari raya, perayaan pernikahan, ketika ada orang yang datang dari tempat jauh, walimah, aqiqah, ketika anak baru dilahirkan, acara khitanan, dan perayaan sebab berhasil menghafal al-Qur’an. Dalam semua acara itu menyanyi dibolehkan untuk menampakkan kegembiraan……………..Kebolehan ini berdasarkan acara yang dibuat oleh para wanita di atas loteng dengan menabuh rebana dan melantunkan lagu-lagu ketika menyambut kedatangan Rasulullah SAW”

Telah datang bulan purnama pada kami

Dari lembah tsaniyah al-wada’

Maka wajiblah bagi kami  untuk bersyukur

Selama orang-orang itu  selalu mengajak kepada Allah”

(ihya’ ‘Ulum al-Din, juz I, hal 227)

Berdasarkan peristiwa penyambutan ketika Nabi SAW hijrah ini, menyanyi diperbolehkan dalam islam. Hal ini juga diperkuat dengan perkataan Sayyidah ‘Aisyah RA:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا. دَخَلَ عَلَيَّ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَعِنْدِي جَارِ يَتَانِ تُغَنَّيَانِ بِغِنَاءِ بُعَاثٍ. (صحيح البخاري،رقم٢٦٩١)

“Dari ‘Aisyah RA, “Rasulullah SAW masuk menemuiku sedangkan di sampingku ada dua budak yang menyandungkan lagu perang Bu’ats(nama benteng kaum Aws).” (Shahih al-Bukhori[2691])

Bagaimana kaitannya dengan memainkan alat musik? Jika melihat apa yang pernah dilakukan oleh sahabt Anshar pada saat ketika menyambut kedatangan Nabi SAW ketika hjrah, memainkan alat musik juga diperbolehkan, sebab ketika itu Nabi SAW tidak melarangnya. Ini juga di perkuat oleh Hadits ‘Aisyah RA:

عَنْ عًئِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم أَعْلِنُوا هَذَا انَّكًاحَ وَاجْعَلُهُ فِي الْمَسَجِدِ وَاضْرِبُوْا علَيْهِ بِالدُّفُوْفِ. (سنن الترمذي،رقم ١٠٠٩)

Dari ‘Asiyah , ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda,” Umumkanlah pernikahan ini, dan lakukan itu di Masjid. Lalu ramaikanlah dengan menabuh rebana.” (Sunan al-tirmidzi[1009])

Namun, kebolehan itu bukan sesuatu yang mutlak, sebab menyanyi dan memainkan alat musik diperbolehkan dengan beberapa catatan. Misalnya alat musik yang digunakan adalah alat-alat yang diperkenankan oleh syara’. Seperti, rebana, gendang dan yang lainnya. Imam al-Ghazali menetapkan lima syarat bagi lagu dan alat musik yang boleh dinikmati . Pertama, penyanyinya bukan wanita yang haram dilihat dan jika mendengarkan suaranya bisa menimbulkan syahwat (walaupun laki-laki. Pen). Kedua, alat musik yang dipakai bukan terdiri dari alat yang dilarang oleh syara’. Ketiga, lirik lagunya tidak mengandung kata-kata yang jorok , erotis, ejekan dan pengingkaran kepada Allah SWT dan RasulNya. Keempat, yang mendengarkan lagu tidak lantas dikuasai syahwat lantaran mendengar lagu tersebut. Kelima, orang yang mendengarkan lagu tersebutharus orang yang memungkinkan cintanya bertambah kepada Allah SWTkarena terinspirasi oleh lagu yang dinikmatinya, (Ihya’ ‘Ulumi al-Din, juz II, hlm. 281-283.)

Lalu bagaimana dengan menari (roddat) atau zafin? Dalam al-Quran Allah SWT berfirman:

أُرْكُضْ بِرِ جْلِكَ .(ص،٤٢)

“Hentakkan kakimu ke bumi.” (QS. Shad,42)

Ayat ini oleh sebagian ulama dijadikan dasar atas kebolehan menari. Sebab, menari juga menghentakkan kaki ke bumi. Tentu, kebolehan tersebut tidaklah mutlak. Tarian yang disahkan syara’ adalah tarian yang diselenggarakan untuk acara-acara yang diharamkan agama. Disamping juga tarian itu harus beretika. Dalam artian, gerakan yang dilakukan tidak erotis (membangkitkan syahwat) dan tidak menyerupai lain jenis. Imam al-Ghazali mengatakan:

وَالزَّفْنُ وَالْحَجْلُ هُوَ الرَّقْصُ ، وَذَلِكَ يَكُوْ نُ لِفَرَ حٍ اَوْشَوْقٍ فَحُكْمُهُ حُكْمُ مُهَيَّجِهِ ، اِنْ كَا نَ فَرْ حُهُ مَحْمُوْدًا وَ الرَّ قْصُ يَزِ يْدُهُ وَيُؤَ كَّدُهُ فَهُوَمَحْمُوْدً ، وَاِنْ كَا نَ مُبَا حًا فَهُوَ مُبَا حٌ وَاِنْ كَا نَ مَذْمُوْ مًا فَهُوَ مَذْمُوْ مٌ (احياء علو م اادين ، ج ٢ص٤.٣)

“Zafin dan hajal (permainan dengan melompat) itu adalah termasuk menari yang biasanya diadakan untuk memeriahkan perayaan atau untuk bernostalgia. Jika tarian itu dilakukan untuk lebih memeriahkan acara yang baik (acara yang tidak bercampur dengan perbuatan haram, seperti membuka aurat, ikhtilath (bercampur) antara laki-laki dan perempuan, dst..) tentu tarian itu baik pula. Begitu juga bila dilaksanakan dalam acara yang diperbolehkan, maka hukumnya mubah (boleh). Dan apabila di dalamnya terdapat hal yang tercela menurut agama, maka menari itu tercela juga.” (Ihya’ ‘Ulum al-Din, juz II, hal 304)

Lebih lanjut Imam Ghazali menyatakan:

اِنَّ الرَّ قْصَ مُبَا حٌ لِلْعَوَ مِ مَكْرُ وْهٌ لِذَوِي الْمَنَا صِبِ (احيا ء علو م الدين ، ج ٢ص٤.٣)

“Sesungguhnya menari itu boleh bagi orang kebanyakan dan makruh bagi para tokoh.”(Ihya’ ‘Ulum al-Din, juz I, hal 277)

Syaikh Shalih bin Ahmad al-Ghazali menyatakan:

أَنَّ الْحَبَشَةَ قَذْرَ قَصُوْا بِحِرَا بِهِمْ وَدَرُوْ قِهِمْ وَقَدْ رَءَاهُمْ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم وَسَلَّمَ وَلَمْ يُنْكِرْ عَلَيْهِمْ بَلْ أَنْكَرَ عَلَى عُمَرَ حِيْنَ أَنْكَرَ عَلَيْهِمْ . (حكم ممار سةالفن، ٥٤٢)

“Sesungguhnya orang –orang Habasyah menari dengan tombak-tombak dan perisai mereka. dan Nabi SAW sungguh telah menyaksikan mereka dan beliau tidak mengingkarinya (membiarkan mereka). bahkan beliau menegur ‘Umar tatkala dia mengingkari perbuatan mereka.” (Hukum Mumarasah al-Fann,245)

(Baca juga: Hujjah Aswaja : Perjamuan Makanan dalam Acara Tahlilan)

Kebolehan ini didasarkan pada Hdist Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Aisyah RA.

عَنْ عَا ئِشَةَ ، وَكَا نَ يَوْ مَ عِيْدٍ يَلْعَبُ السُّوْ دَانُ بِالدًّرَقِ وَالْحِرَابِ فَإِمَّاسَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ وِإِمَّا قَالَ تَشْتَهِيْنَ تَنْظُرِيْنَ فَقُلْتُ نَعَمْ فَأَقَ مَنِي وَرَاءَهُ خَدَّي عَلَى خَدَّهِ وَهُوَ يَقُوْلُ دُونَكُمْ يَا بَنِي أَرْفِدَةَ حَتَّى إِذَامَلِلْتَ قَالَ حَسْبُكِ قُلْتِ نَعَمْ قَالَ فَاذْهَبِي (صحيج البخاري ، رقم٨٩٧)

“Dari ‘Aisyah RA, pada suatu hari raya orang-orang Habasyah memain-mainkan perisai dan tombak mereka (sehingga membentuk tarian). Saya meminta izin pada Rasulullah SAW (untuk melihatnya) dan Rasulullah SAW bersabda, “Apakah kamu suka melihatnya?” Saya menjawab,”Ya”. Kemudian Rasul menarikku kebelakangnya sehingga kami saling berdekatan. Rasulullah SAW  kemudian bersabda, “Teruskanlkah, Wahai Bani Arfidah”.ketika aku mulai merasa bosan , Rasulullah SAW bertanya, “Sudah cukup?” Aku menjawab, “Ya”. Rasullah SAW kemudian bersabda, “Kalau begitu pergilah.” (Shahih Bukhari,[897])

Berdasarkan beberapa dalil ini, maka selama tidak mengandung unsur kemaksiatan memainkan alat musik dan bernyanyi diperbolehkan oleh agama, termasuk di dalamnya adalah kesenian hadrah, rodat dan lain sebagainya.[] *dinukil dari kitab karangan Syaikhul Ma’had Pesantren Nuris Jember

Related Post