Merefleksi Hari Buku Nasional sebagai Fondasi Generasi Kompetitif di Era Digital

Penulis: Achmad Faizal*

Hari buku nasional tahun 2025 sepertinya masih jauh dari hiruk pikuk berita lain yang populis. Riuh standar kualitas pendidikan yang masih jauh dari harapan dan gonta-ganti kurikulum yang tidak substantif semakin menampakkan ketidakjelasan visi pendidikan tanah air. Padahal, di tengah gempuran zaman modern–mulai dari digitalisasi, kecerdasan buatan (AI), hingga banjir informasi instan–kemampuan untuk membaca (dalam proses pendidikan) dengan motivasi tinggi menjadi sangat penting. Dengan demikian, kembali ke buku bukan lagi yang remeh temeh.

Literasi digital bukan sekadar kemampuan mengoperasikan perangkat, tetapi juga mencakup kemampuan mengakses, memahami, mengevaluasi, dan menggunakan informasi digital secara kritis dan bijak. Seseorang yang menguasai literasi digital dapat membedakan fakta dan opini, menganalisis sumber informasi, dan mengenali konten hoaks. Kepala BSKAP Anindito Aditomo menegaskan penggunaan AI harus diimbangi oleh literasi yang baik, termasuk kebiasaan membaca buku, karena membaca buku memperkuat literasi secara lebih mendalam (baca medcom.id). Dengan membaca buku, pembaca tidak hanya mempelajari topik tertentu, tetapi juga melihat bagaimana argumen disusun secara terstruktur–suatu hal yang sulit ditemukan di postingan media sosial pendek. Artinya, di era AI (artificial intelligence) dan informasi instan, semangat membaca memberi modal untuk berpikir kritis dan tahan terhadap arus disinformasi.

Literasi Membaca dan Daya Saing Intelektual

Statistik literasi Indonesia sangat memprihatinkan. Menurut data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001% – hanya 1 orang dari 1000 yang rajin membaca (lihat medcom.id). Padahal, literasi yang baik sangat menentukan daya saing bangsa. Menurut Kepala Perpustakaan Nasional Adin Bondar, “budaya literasi yang kuat menjadi solusi dalam menghadapi persaingan global yang sangat kompetitif”. Penguasaan literasi yang tinggi akan membantu individu secara personal maupun komunal menghadapi perkembangan zaman, meningkatkan kualitas sumber daya manusia, serta mendorong kreativitas dan produktivitas (lihat kompas.id). Artinya, generasi yang terbiasa membaca lebih siap bersaing di kancah global karena memiliki wawasan luas dan kemampuan memecahkan masalah. Oleh karena itu, memperbaiki minat baca dan budaya literasi sejak dini menjadi investasi pendidikan murah untuk masa depan yang cerah.

(baca juga: Tonggak Pendidikan dan Literasi di Zaman Rasulullah Saw)

Teori Motivasi dan Kebiasaan Membaca

Dari sudut psikologi pendidikan, motivasi membaca memainkan peran sentral. Saat seseorang termotivasi membaca, mereka akan tahan menghadapi kesulitan dan berusaha memahami materi bacaan. Sebaliknya, tanpa motivasi yang kuat, kemajuan akademik akan terbatas. Sebagaimana dikemukakan dalam jurnal Psikologi Universitas Muhammadiyah Lampung, “membaca literatur ilmiah dan memahaminya adalah penting untuk memperoleh pengetahuan ilmiah secara komprehensif…” namun “tanpa keterampilan memahami bacaan dan motivasi membaca…, kemajuan akademik pelajar menjadi terbatas” (dalam journal.uml.ac.id). Dalam teori reading engagement (Guthrie et al., 2004) juga disebutkan bahwa motivasi membaca harus berjalan seiring dengan strategi kognitif; keduanya berfungsi bersama-sama untuk memperkuat pemahaman bacaan. Artinya, memupuk minat baca–baik motivasi intrinsik (rasa ingin tahu) maupun ektrinsik–harus didukung juga dengan kemampuan berpikir kritis selama membaca. Guru dan orang tua dapat melakukan hal-hal praktis, misalnya menyediakan buku sesuai minat anak, mendiskusikan isi buku, atau mencontohkan kegemaran membaca sejak dari rumah. Langkah-langkah tersebut bertujuan menjadikan membaca sebagai aktivitas menyenangkan dan bermakna.

Pandangan Tokoh Muslim tentang Ilmu dan Membaca

Pandangan klasik para intelektual Muslim sangat mendukung budaya membaca dan belajar. Imam Al-Ghazali menekankan bahwa ilmu merupakan kewajiban setiap muslim untuk membuka cakrawala dunia Islam. Dalam Ihya’ ‘Ulumuddin dia menjelaskan bahwa pendidikan agama dan dunia sangat penting demi mencetak generasi muda yang intelek dan berpengetahuan agama. Al-Ghazali membagi ilmu menjadi fardhu ain (kewajiban pribadi) dan fardhu kifayah (kewajiban kolektif), menunjukkan besarnya peran membaca dan belajar dalam Islam. Pandangan serupa diungkapkan Ibnu Khaldun; ia melihat pendidikan sebagai sarana utama meningkatkan pemikiran dan pengetahuan (aspek fikri wa `ilmi). Artinya, membaca dan belajar tidak hanya untuk pencapaian duniawi, tetapi juga tuntunan keagamaan. Para cendekiawan kontemporer seperti Tariq Ramadan dan Nouman Ali Khan pun berkali-kali menekankan pentingnya penguasaan ilmu dan pemahaman Al-Qur’an sebagai bagian dari semangat belajar umat Islam. Dengan kata lain, dalam tradisi Islam, membaca buku ilmiah maupun kitab suci adalah cara mengasah intelek sekaligus jiwa.

Membaca untuk Berpikir Kritis dan Melawan Disinformasi

Kebiasaan membaca secara mendalam juga melatih kemampuan berpikir kritis. Literasi digital yang baik menuntut kita tidak langsung percaya pada setiap informasi. Sebagaimana diingatkan salah seorang duta baca, literasi mencakup kemampuan menghindari paparan kabar bohong (hoaks). Ia mengajarkan agar ketika menghadapi berita, kita tidak mudah terprovokasi oleh judul sensasional; sebaliknya, gunakan logika berpikir jernih, bandingkan dengan data lain, lalu tarik kesimpulan. Dengan sering membaca buku berkualitas dan sumber terpercaya, seseorang akan terlatih menganalisis isi bacaan, menyaring informasi, dan tidak menelan mentah-mentah rumor. Gaya berpikir kritis seperti ini menjadi tameng penting di era media sosial. Oleh karena itu, menumbuhkan kebiasaan membaca sejak dini meningkatkan ketahanan kognitif generasi muda–mereka akan lebih mampu menolak disinformasi dan membuat keputusan berdasarkan fakta.

Pada akhirnya, motivasi membaca buku terbukti menjadi fondasi generasi kompetitif di masa depan. Secara psikologis, membaca memperluas wawasan dan memupuk keterampilan berpikir (lihat journal.uml.ac.id.) Dalam perspektif Islam, menuntut ilmu melalui membaca adalah kewajiban serta jalan menuju kesuksesan dunia-akhirat. Di tengah tantangan digital dan AI, membaca menjadi ‘investasi’ yang tidak tergantikan; dengan membaca, pemuda Indonesia tidak hanya siap menghadapi persaingan global, tetapi juga menjadi pribadi yang kritis, beretika, dan inovatif.[]

*penulis adalah guru bahasa Indonesia di MA Unggulan Nuris

Related Post