Oleh: Sunardi*
“Adi, ya…?!”
Adi yang hendak masuk ke mobilnya di parkiran Great Mall menutup kembali pintu mobilnya, memandangi pria yang menyapanya. Istrinya juga tidak jadi masuk ke mobilnya, “Siapa, Mas?” Adi masih bingung, merasa tidak pernah kenal dengan pria yang menyapanya.
Pria itu mendekat, “Lupa ya?“ sambil mengulurkan tangan bersalaman.
“Adrian…?“
“Nah, masih ingat kan…!“
Adi tersenyum, agak bingung karena Adrian memang bukan teman baiknya, hanya teman sekolah saja di pesantren Darun Najah. Dia tak tampak ekspresif, tidak seperti Adrian yang tampak sangat tercengang “Tambah cakep kamu,“ kata Adi, agak kaku ekspresinya. Tetapi berusaha untuk bersikap ramah.
Mungkin Adrian merasakan sikap Adi, hanya saja dia terus berusaha bersikap sangat akrab dengan Adi. “Ah, aku kan memang udah dari dulu cakep,“ sahutnya sambil tertawa. “Kamu beruntung sekali ya, istri cantik, udah punya mobil. Udah punya anak berapa?“
“Belum. Kamu?“
Adrian menghela nafas dalam. “Aku kerja jadi buruh pabrik, belum nemu kerjaan yang bagus. Aku belum nikah.“ Dia tampak memelas.
***
“Teman akrab?“ tanya istri Adi ketika baru keluar dari mobil di depan rumahnya.
“Tidak juga. Dia yang pernah mas ceritakan dulu.“
“Yang katanya anak orang kaya?” dengan ekspresi terkejut sambil menghentikan langkahnya.
“Iya.“
“Roda kehidupan berputar ya.“
Adi teringat masa-masa waktu belajar di pesanten Darun Najah dulu. Sebagai anak orang miskin yang dipasrahkan untuk mengabdi kepada kyai oleh orang tuanya, hampir tidak pernah ia bermain seperti teman-temannya. Hampir seluruh waktunya ia gunakan untuk melayani sang guru, membantu segala keperluan beliau. Sangat berbeda dengan Adrian, dia anak orang kaya, ayahnya pejabat.
“Keluarga kami sudah biasa kumpul-kumpul setiap malam minggu, Mas…!!“
Ayah Adrian membentak pengurus pesantren karena tidak diijinkan pulang. Sebelumnya beliau juga pernah marah karena jajan Adrian diminta teman-temannya hingga dia kebagian sedikit. Adi menyaksikan dua kejadian tersebut, bukan hanya sekali dua kali. Adi yang masih sangat muda kala itu, kadang merasa iri. Andai ayahnya orang kaya seperti ayahnya Adrian, tentu ia bisa berbuat sesukanya.
“Nanti malam ada pengajian Kitab Bidayatul Hidayah, Pak,“ Ustadz Firman berusaha menjelaskan pada ayahnya Adrian.“Besok pagi juga ada pengajian kitab Ta’limul Muta’allim. Kalau Adrian sering diajak pulang, akan banyak ketinggalan.“
“Saya ini kan ayahnya, terserah saya…!! Tidak usah tawar-menawar, Mas…!!“
“Bawa pulang saja, Pak…!!“ Ustadz Razaq yang berada di belakang Ustadz Firman tak kuasa menahan emosi. “Bawa pulang saja…!! Cari pesantren lain…!!”
“Sabar, Ustadz. Sabar…” Ustadz Firman berusaha menenangkan Ustadz Razaq.
“Anda anggap apa kyai?!“
Ayah Adrian tampak semakin marah memandangi Ustadz Razaq. Ustadz Firman langsung memberi izin agar tidak semakin ribut, tidak enak dilihatin santri yang lain, “Iya sudah, Pak. Besok sore segera kembali”. Adrian langsung dibawa pulang.
“Kalau kyai saya dulu, disuruh mati pun oleh kyai, ya… siap mati…!!” tambah Ustadz Razaq masih belum reda emosinya.
“Tapi kita juga perlu maklum. Mungkin beliau memang sama sekali tidak tahu agama, tidak paham tata krama terhadap guru.”
“Dikiranya, mencari ilmu itu hanya cari pengetahuan, tak mau hormat guru yang memberi ilmu,” tambah Ustadz Razaq. “Kalau ahlak santri jelek, pesantren juga yang tercemar, kyai yang dinilai gagal mendidik. Seharusnya orang tua santri mikir itu juga.”
***
“Anak kita nanti juga akan mas titipkan di pesantren?” tanya istri Adi.
“Bukan kepada pesantennya, tapi pada ulamak yang jelas silsilah ilmunya, tersambung jelas dengan Rasulullah.“
Istri Adi bukan lulusan pesantren. Dia seorang sarjana pertanian. Tetapi pemahaman agamanya cukup lumayan, dia akatif di organisasi dakwah kampus, rutin ikut kajian di masjid kampus. Waktu pertama kali kenal Adi, keduanya sering berdebat. Adi sangat berhati-hati dalam memahami agama. Katanya referensinya harus jelas, harus dari ulamak yang silsilah ilmunya tersambung dengan Rasulullah.
“Ini kan Al Quran dan Hadits,“ kata Alia dulu waktu baru kenal Adi di forum diskusi. Adi sama sekali tak berharap dia jadi istrinya dengan pemahaman agama seperti itu. “Al Quran dan Hadits tak mungkin salah.“
“Tapi otak anda yang mungkin sekali banyak salahnya, termasuk salah memahami keduanya.“
“Saya juga punya guru.”
“Guru anda juga mungkin salah kan?”
Alia diam. Di kampus, dia sendiri juga tak sembarangan mengutip pendapat ahli dalam menulis artikel ilmiah. Dulu dia menang lomba karya tulis ilmiah karena mengutip pendapat banyak ahli dan ahli yang ia kutip pendapatnya merupakan ilmuan yang terpandang di seluruh dunia. Tentunya, tak sepatutnya ia sembarangan dalam memahami agama.
“Guru anda juga kan?“
“Iya, guru saya juga. Tapi lebih saya percaya dibanding yang tidak jelas, dibanding yang tidak tersambung dengan Rasulullah.“
Takdir menyatukan keduanya. Adi dan Alia menikah sebelum mereka lulus kuliah.
*Pengurus Pondok Pesantren Nurul Islam (Nuris) Jember