Oleh : Tasya Dea amalia
Kabarnya mentari tak pernah terlihat di sana. Mendung selalu menjadi payung setiap hari. Kelabu selayaknya ruh penasaran yang menghantui. Alam ikut ketakutan hingga meneteskan air mata sepanjang waktu berlalu. Rimbun pepohonan terlihat sendu. Konon mata-mata merah berkilau mengintai dikala malam datang. Gelap menggerayang bersama tikar hitam terhampar menutupi rembulan. Kau jika tak tahan, jangan! Sosok-sosok pembunuh bersembunyi di balik riak tanah yang berlumpur. Kebanyakan orang disana buta atau tuli. Hanya mulut mereka yang bekerja normal untuk mencaci-maki. Semua orang disana berjuang, bahkan perempuan berkaki tangan baja seakan tumpukan sampah yang berserak.
“ Jika kau takut, kembalilah!” begitulah isi papan selamat datang di pintu gerbang. Bayangkan…
Amak beriak dikala tangisku terberai di ruang persalinan. Pandang menghujam menindih kehadiranku. Busa kopi menemani apak yang begadang menjagaku. Tak ada senyuman atau tangis bahagia, semua jatuh dalam airmata. Peluk lembut amak kurindukan. Bukan salahku menjadi seorang perempuan. Apa pangkat mereka menanggalkan hakku. Masih terngiang kejadian tujuh belas tahun lalu, dimana saat pertama kali kulihat dunia. Akupun masih berbentuk bayi kecil yang lemah, apak dengan bangga mengadaniku, berharap aku akan menjadi orang yang berguna, seandainya…Plakkk….
(baca juga: Tikar Hitam)
“ Dimana?” pipiku memanas, telingaku berdenging hebat terhantam lima jari besar miliknya. Ia mendongakan daguku kasar, memaksaku untuk melihatnya meski kulemah. Aku mengerjap beberapa kali berusaha melihat suasana yang menggerayang di hadapanku saat ini. Lampu setengah tiang di atasku menyala remang-remang, dari sudut sebuah jendela sebongkah jaring laba-laba terpekur menyaksikan ketidaksanggupanku. Bayang-bayang hitam melingkari tubuhnya yang diterpa sinar lampu dari belakang. Bergidik tubuhku memandang kilau matanya yang memerah.
“ Baiklah kita beralih ke pertanyaan yang lebih mudah, sudah berapa lama Midah?” matanya terbelalak menatapku. “ Jawab!!!” teriaknya, aku tersentak bukan main. Wajahnya mengeras seketika menyadari aku tetap tak bersuara.
“ Dasar perempuan tak mau di untung!”
Plakkk…
Alam hening di pelupuk mata, tak ada suara yang berani menggapai gendang telingaku sejenak. Aku heran, rahang wajahnya terlalu keras untuk seorang wanita. Seragam dinas abu-abu itu sepertinya terlalu berat untuknya.
“ Aku tak tahan lagi, lepas cadarnya!”
Sontak dua penggawanya menuju ke arahku, badannya tak kalah tangguh. Kucoba berontak menghindari cengkeraman salah satu dari punggawanya yang menarik kerudungku ke belakang, aku terdongak tak kuasa menolak. Tangan dan kakiku terikat di kursi. Aku hanya dapat menatap nanar saat mereka berhasil menarik cadarku paksa. Ak tak tahu bagaimana penampilanku di cermin saat ini. Sudah berapa lama aku disinipun tak tahu, selepas salat Subuh di surau tiba-tiba mereka sudah datang menjemputku. Semula mereka begitu sabar membawaku hingga masuk ke mobil baja itu. Babo[1] yang memintaku mematuhi mereka, padahal untuk apa aku ikut, tak ada yang tahu.
“ Di bulan suci ini, sebisa mungkin, jangan sampai ada keributan” begitulah pesan Babo padaku.
Kupatuhi pesan Babo sebagai perintah untukku. Guru digugu dan ditiru. Bagiku Babo sudah kuanggap ayahku sendiri. Tangisku begitu kencang dari dalam tong sampah depan surau. Babo yang mendengarnya segera menyibak tumpukan sampah dan menemukanku terhimpit disana. Usiaku tujuh bulan saat itu, namun telah kurasakan segala hal di dalam sana, bau sampah-sampah itu, ulat-ulat yang mengitari, kecoa yang berjalan santai dipermukaan wajahku, sejak saat itulah aku sadar betapa busuknya dunia ini.
(baca juga: Bianglala untuk Ibu)
Sayup-sayup terdengar adzan entah dari mana. Kujawab lantunan adzan itu di dalam hati, ingin sekali aku berteriak namun pasti sia-sia saja. Takkan ada yang dapat menolongku.
“ Inspektur saya sedang berpuasa!” teriakku memecah hening yang menggantung di udara. Mereka menanggapiku,“ Alhamdulillah… saya sedang berpuasa, ketahuilah bahwa hampir seharian inspektur mengurung saya, namun tak sekalipun saya mengeluh. Inspektur ijinkanlah saya solat dan berbuka puasa barang seteguk air saja, bolehkah inspektur?” Kepalaku berdenyut hebat, kuberanikan diri meminta sebab diri telah berada di ujung.
“ Cepat… lepas ikatannya!” nampak raut heran di wajah kedua polisi itu. Meski tak mau mereka tetap melalkukannya sebagai perintah. Kedua polisi itu membantu berdiri. Aku melangkah gontai berusaha seimbangkan tubuh yang remuk. Sesaat dua aku tersungkur, darah mengalir deras dari ujung hidungku. Meringis kesakitanlah aku. Inspektur itu sepertinya tak tega melihatku tertatih. Ia lantas menggendongku dengan kedua tangannya. Tubuhku memang kecil, cukup mudah bagi seorang pria untuk menggendongku. Tapi ini inspektur, tertegun aku melihatnya layaknya pria.
“ Apa inspektur gila? Ia telah melepas serigala berbulu domba” bisik polisi di belakang.
Serasa memakan kerikil.
Setelah salat, terperanjat aku melihat kehadiran sepiring nasi disertai teh hangat di samping sajadah salatku. Sungguh baunya begitu menarik perhatian. Pada suapan pertama bulir air teh hangat meluncur sempurna di tenggorokan. Tak begitu manis, pas. Detik kedua dengan lahap menyendok nasi dan lauk yang menggiur itu. Aku melayang pada gigitan pertama, masakan ini tak jauh berbeda dengan masakanku di Surau. Inspektur tersenyum melihatku. Sayangnya, kenikmatan tak berjalan lama. Tanpa kusadari di bagian bawah nasi penuh dengan pasir. Aku terbatuk-batuk, kuminum teh hangat itu hingga tandas tak bersisa.
Napasku tersengal, berkali-kali kuberistigfar dalam hati.
“ Bagaimana…?” ucap inspektur itu penuh kemenangan. Ketika kucoba membuka mulut, perih menerpa setiap jengkal didalamnya. “ Sebagai tersangka, kau seharusnya menjawab pertanyaanku. Bukan malah meminta yang tidak-tidak. Kau tahu aku ini sangat sibuk” Tersangka? Tidakkah ini tak adil untukku. Dalam kasus apa?
Airmataku meninju di ulu hati. Aku berharap segera datang malaikat penolong.
“ Midah… MasyaAllah!” seru seseorang di ambang pintu. Kami semua melihat ke arahnya. Perasaanku terlepas kebas dari kekangan, ternyata alang[2] yang datang, kurasa tak lama lagi aku pulang.
“ Hah… alang! Kau terlalu terburu-buru sudah kukatakan dia akan baik-baik saja. Kami hanya sedang menginterogasinya saja.”
“ Sudah cukup, tidakkah kau lihat keadaannya telah begitu parah. Aku datang untuk menjemputnya… tapi jangan sampai ada yang menghalangiku atau kalian akan aku tuntut, mengerti?” tak ada jawaban yang terlontar darinya ataupun dua punggawanya itu. Mereka sama terdiam. Beruntung alang datang tepat pada waktunya, beliau adalah adik babo yang paling bisa di andalkan.
Alang membantuku berjalan, kami pulang. Akhirnya…
“ Tidak… jangan… jangan… tolonglah dia pasti membunuhku. Tidak…” seorang pemuda berteriak tatkala kami hendak keluar ruangan. Tiga polisi bersusah payah mendorong kursi rodanya, malang satu kakinya terbebat perban, lebih tepatnya ia kehilangan satu kakinya. Kami berpapasan di lorong, ia memandangku dengan mata berbinar.
“ Subhanallah… ciptaanmu gusti” serunya.
“ Dasar mata keranjang,” umpat alang. “ Kau harus tahu Midah. Pemuda itu adalah korban dalam kasusmu ini. Alang yang menemukannya bersimbah darah masuk ke pesantren. Katanya ia di kejar wanita bengis yang akan membunuhnya. Mulanya dengan gesit wanita itu menebas salah satu kakinya. Tanpa babi buta menghajarnya, sebelum hendak memotong kaki sebelahnya ia berhasil kabur. Polisi memberitahuku deskripsinya adalah sepertimu, bercadar. Alang… tidak punya pilihan selain mengijinkan mereka masuk dan membawamu. Maafkan alang dan babo ya!” jelas alang. Aku tak khawatir apapun lagi, namun penjelasan alang membuatku geram. Aku masih belum menjadi tersangka tapi polisi itu telah mengahakimiku seenaknya. Telah kumaafkan mereka walau tetap saja jauh dari dalam lubuk hati terdalam, ingin kupotong tangan mereka.
Para santri menyambut kedatanganku, tatkala mobil kami memasuki pelataran pesantren para santri sontak berdiri takhdim[3]. Sekitarku berubah senyap, aku suka melihat mereka begitu menjaga akhlak pada gurunya. Jangan di tanya bagaimana sikapku pada babo. Bagiku suatu kemulyaan dapat selalu menyenangkan hatinya. Alang memanggil khadimahku[4], ia lantas membantuku masuk pada asrama tempatku singgah bersama santri lain. Kurebahkan badan pada ranjang kepang.
“ Anti sehat ukhti… saya dengar sesuatu menimpa ning disana. Kami sangat khawatir.” Kujawab dengan senyuman, rasa sakit di tenggerorokan belumlah hilang.
“ Ning… banyak santri yang menyayangkan kejadian itu. Apalagi santri baru banyak yang mengeluh. Mereka bertanya kemana perginya pemasak yang paling dapat memasak sedap disini. Kami hanya bisa bungkam, babo melarang kami untuk mengatakan yang sebenarnya. Jadilah kami bulan-bulanan amarah santri. Mereka bilang masakan kami tak enak. Mereka rindu semur daging buatan ning,”
“ InsyaAllah… sebisa mungkin… saya akan memasak besok” ucapku berat menahan sakit. Terjadilah perdebatan setelahnya, mereka tak menginginkan aku untuk bekerja berat terlebih dahulu. Aku katakan bahwa aku tak apa. Lagi pula tanganku telah pegal ingin melakukan sesuatu. Para santri yang patuh harus di beri hadiah bukan?
“ Baiklah jika ukhti memaksa, namun ijinkanlah kali ini saya membantu”
Aku tersenyum, “ Tidak… kau tahu kan aku selalu memaksa sendiri. Cukuplah kalian memasak nasi dan lauk yang lain. Semur daging itu khusus dariku untuk mereka.”
Alam bersembilu tajam desau angin yang nestapa. Menyadari ketidak harusan kembali menerpa. Bintang berkerlap-kerlip mengisyaratkan hal janggal. Kutarik selimut menutupi diri yang kedinginan, sejurus kemudian kuterlelap.
Aku sembuh dengan cepat. Remuk redam di badan lenyap mendengar desah permohonan para santri.
Rayap menggerogoti pintu kusam di hadapanku. Tuasnya hampir terlepas dari tempatnya. Kusangga ia dengan karet gelang berwarna merah agar apa yang berada di sana tetap diam di tempat. Bedug masih empat jam lagi bertalu, tak mungkin aku tunggu lama lagi. Butuh waktu lama untuk memasak semur daging itu agar empuk. Pintu berderit terbuka. Seketika bau menyengat menohok hidung. Kuhirup bau kebahagian para santri itu perlahan. Tempat ini yang kugunakan menyimpan persedian daging untuk semur daging buatanku. Tak jauh terdapat pembatas lemari es besar menghadang, kusibak kain lusuh itu dan membuka tuas pintu ruangan pendingin. Disanalah kugantung daging-daging beku. Tak ada yang tahu daging apa yang kugunakan. Akupun malas untuk menceritakan pada siapapun, cukuplah aku simpan pribadi.
Kupilih daging dengan tanggal yang sesuai dengan hari ini. Setelah tercuci bersih kubersihkan bulunya agar tak mengotori semurku, terkadang terdapat daging yang tak berbulu, saat itulah pekerjaanku serasa lebih ringan. Daging dan tulang harus dilepas sebab takkan muat di panci memasak. Tanganku terampil memotong bagian pangkal kakinya. Aku hanya menggunakan bagian kaki bawah saja untuk semur dagingku, karena bagian yang lain sulit kudapatkan dan rasanya alot. Kubungkus secukupnya untuk kubawa kedapur. Ruangan itu harus terkunci rapat dikala telah tiada aku disana. Alasannya sama, agar sesuatu hal disana tetap diam.
“ Ning… perlu bantuan?” ucap khadimahku.
“ Tolong bawakan bahan-bahan semur daging saya di atas tungku!” terbirit-birit khadimahku mengambilnya. Sesaat dua aku telah mengalun merdu dengan pisau dan bumbu. Tak sabar aku melihat para santri bersimbah keringat menghabiskan semur daging dengan puas.
Dua jam berlalu
“ Ukhti mau mencicipi masakanku?” tanyaku pada khadimah. Hari ini ia sedang tak berpuasa.
“ Subhanallah… selalu sedap ning”
“ Cepat sajikan untuk yang lain”
Daging segera dibawanya ke Surau. Dibantu santri lain, daun pisang digerai pada lantai mengitari ruang dalam surau. Semua ditata sedemikina rupa, semur dagingku dibagi hingga empat puluh, sesuai dengan jumlah santri di asramaku.
“ Sisanya bawa pada asrama lain. Jangan sampai ada yang tidak kebagian” aku menoleh. Babo telah berdiri di belakangku menatap senang. Kuhamburkan badanku. Sungguh rindu memupuk gunung di hatiku. Babo menanggapinya dengan membalas pelukanku.
“ Nak… kali ini jangan lupa babo juga, ya!” aku mendesah manja.
“ Tidak bisa abi… semur dagingku hanya khusus untuk santri.” Babo tertawa, aku ikut tertawa. Sekilas melintas bayang-bayang santri yang berdiri takdhim di hadapanku. Mereka layak medapatkannya. Tak ada yang tahu nasib malang bagi santri yang tak mau berdiri takdhim pada kami. Babo mungkin akan memakluminya, namun aku jangan harap. Setiap malam aku akan pergi ke ruang itu. Mengambil pisau besar yang selalu kuasah setiap hari. Tujuanku menhampiri santri yang tidak patuh tadi, aku akan memanggilnya dan membawanya ketempat sepi. Pertama akan kuajak ia berbicara, namun jika ia tak bergeming tak segan kutebas dada mereka. Bergelimpanglah tubuh itu bergelempar di tanah. Aku jengah selalu melihat wajah memohon dari santri bengal yang kuberi pelajaran. Mengapa mereka tak menyadarinya dari awal? Sudah terlambat. Kaki mereka harus di hentikan. Kutebas kaki mereka. Darah mereka mengenaiku. Kubersihkan dengan kerudung hitamku. Dengan masih bernapas kutinggalkan mereka, kaki-kaki mereka kumasukkan kedalam karung. Kaki-kaki ini akan aku jadikan hadiah bagi santri yang patuh. Semula aku takut mereka akan menolaknya. Ternyata tak ada yang menolak sedikitpun.
Pemuda di penjara itu aku mengenalnya. Hanya saja ia tak mengenalku karena ia adalah santri baru. Aku berusaha memberitahunya saat tak sengaja ia menubruk tubuh babo bahwa tindakannya salah. Masih terngiang ucapan babo, “ Biarkan nak… dia masih belum tahu”. Aku menghela napas kecewa. Aku berharap ia akan menyadarinya dan minta maaf. Ternyata ia malah bertindak acuh dengan meninggalkan kami. Kau geram. Akhirnya pada malam pertama ia berada di pesantren, kudatangi ia dan melakukan yang seharusnya kulakukan. Namun ia berhasil selamat, tak apalah. Salah satu kakinya tela kugantung di ruang itu. Menunggu untuk di masak.
Aku semakin menyukai kegiatanku ini. Memberi pelajaran bagi santri yang tak patuh dan memasak buka puasa semur daging untuk mereka yang takhdim pada kami. Setidaknya kaki-kaki itu dapat berguna untuk yang lain. Entah sampai kapan daging-daging itu akan ada untuk santri berbuka. Namun selama ada santri yang bengal dapurku akan selalu mengepul. Setidaknya selama bulan ramadhan ini santri akan selalu makan enak. Sempat terlintas keinginan bagaimana jika aku menggunakan daging yang lain, misal tangan mungkin. Setahuku bagian yang lain sangat tak mengenakkan jika di makan. Tapi tangan tak ada beda dengan kaki. Memang lebih kecil namun kurasa tak salahnya di coba. Aku akan menyusun rencana, sebagai permulaan akan kugunakan tangan kokoh inspektur itu. Entah bagaimana aku mulai merasa takut ia akan menyiksaku habis-habis jika mengetahui memanglah aku tersangkanya.
Kudengar adzan berkumandang, para santri telah menyendok nasinya masing-masing. Aku tersentak,
“ Enak nak… kapan-kapan abi buatkan ya!” lidahku tercekat. Kini kaki santri bengal itu menendang mulut babo.
Penulis adalah siswa SMA Nuris
Jember
[1] Babo: kyai