Penulis: Yosni Ayu F*
“Embun merona inilah ku persembahkan untuk danau tersohor,” ujar Bantara
“ Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu.”(Q.S. Al-Baqarah [2] :29 ).
Tatkala langit merekah bumi sergap menunduk hingga sujud di tanah penuh dosa, tubuh meringgis sampai menggigil memeluk bintang beranak. Bantara lelaki bersorban telah menginjakkan kakinya di bumi sejak ratusan tahun. Tinggal di Desa Maju Makmur tempat ia berteduh, hidup sebtang kara tak ada sanak saudara yang menemani langkah hidupnya. Hanya ada penduduk desa sekitar, mereka begitu ramai namun ia merasa sepi bahkan sunyi.
Awan halus menerpa angkasa menyelimuti hati gundah gulana pada terik mentari lambaian tangan menyapa halus. 18 tahun sudah Bantara di atas tanah coklat, ia memiliki danau yang letaknya jauh di penjuru desa sebrang. Tak satu pun masyarakat yang tau tentang danaunya, saat itu sinar matahari tepat berada dikepala Bantara ia akan pergi menuju danau tersebut. Tampa menggajak satu orang pun, melangkah dengan penuh kehati-hatian agar tidak ada yang curiga. Jalan tak diiringi oleh roda hanya kuku putih yang menghantarnya selama perjalanan.
(Baca juga: Jalan Lurus)
Bintang-bintang kerlap kerlip menghiasi bola mata, agar langkah terang Bantara menyalakan sebuah obor yang ia gunakan saat kelam kelabu telah tiba. “ Tuhan adakah yang menemaniku?”. Guman hati Bantara. Bisikan-bisikan asing terdengar sangat jelas hingga menuju gendang telinganya, laron-laron berterbangan seperti menyapa ingin menyelimuti riuh malan.
Jalan menerjang keelokkan angan debu bersiul, dedunan bernyanyi beriringan jemari penuh dosa menerpa pelan hingga detum berdenyut kencang. Ketika di perjalanan seseorang dibalik pohon beringin menyapa. “Jangan lewat jalan sana!” seru suara misterius. Tepat suara itu terlontar ia berhenti sejenak mencari keberdaan suaranya. “Keluar kau!” balas Bantara dengan suara yang menggelegar. Dimanakah lontaran itu? Pikiran penuh penasaran, ia menyelusup menuju semak-semak berukar. Tidak meninggal jejak sedikit pun bersih putih hanya ada petikan seluring yang terdengar jelas.
Meraih aliran darah mengalir nan deras lintangan tanah menggelilingi hutan belantara, Bantara menemukan lubang dalam di tengah-tengah gersangan tanah berbatu. Tapi ia masih heran kenapa ada lubang itu, mungkin suara asing berasal dari lubang dalam tersebut?. Di samping ada sebuah tangga panjang sampai ujung lubang, tanpa berfikir panjang ia turun melalui tangga tersebut. Uluran kaki merintih pelan bagaikan darah tak mengalir, ia sudah sampai di paling dalam dari lubang tepat itu pula ada kotak yang penuh debu. Dengan sergap ia membukanya tapi apa daya tidak ada yang mencurigakan. Bahkan suara asing tadi hilang tanpa menyisahkan sedikit jejak, mungkin usaha tak mebuahkan hasil walaupun hanya sedikit.
“Dimana suara asing tadi?” guman Bantara
Entahlah lika-liku tak terkira angan-angan halus kasat mata tanpa menyisahkan butiran-butiran peluru. Bantara keluar dari lubang itu tidak menemukan satu titik tersembunyi, padahal ia yakin jika suara asing tersebut berasal dari lubang bagian paling menjorok. Ia melanjutkan perjalanan menuju danau yang ditujunya, baru setengah perjalanan awan telah hitam kelam. Kehitaman sangat pekat sampai-sampai tidak ada lentera sedikit pun.
(Baca juga: Pnakawan di Sakumu)
“Obor akan ku nyalakan”, guman hati Bantara.
Mungkin hanya titik ini yang dapat menerangi mata-mata kecilku, sementara suasana sudah semakin surup. Adakah gubuk tempat tubuhku berteduh dari dinginnya angin malam?, sementara hati tidak terpenuh oleh jalan terang benderang. “Tuhan jikalau hamba boleh memilih, jantung bergedup kencang ini mati berdarah, akan hamba lakukan. Demi menerjang bakal pelindung tanah berdarah sampai tak tersentuh oleh telunjuk siapa saja”. Bantara kepada sang illahi robbi saat kakinya melangkah hampir sampai.
Lelah letih tak terasa hingga telapak pecah-pecah, menerpa sebatang kara hanya kuku berdosa yang mengantarkannya. Bahkan selama perjalanan ia tak memukan seorang disekitar hutan belantara, jarak 100 meter ia berjalan melihat gubuk reyot kotor dan suram. Seperti tak berpenghuni jatuhan dedaunan tergeletak di depan gubuk tersebut. Disisi lain ia tampak seseorang lelaki paruh baya sedang menyapu latarnya, tampak kesepian sekali lelakinya. Dengan sergap ia menghampiri lelaki paruh baya, karena ia tak lepas dari rasa belas kasih yang dalam selalu menyelimutinya kemana pun ia berjalan.
“Mari saya bantu pak!”, ujar Bantara
Ajakan sembari menyodorkan tangan ke arah lelaki tersebut, meresponkan dia?. Mungkinkah berkutik satu gerakan tubuh?. Akankah menoleh walaupun hanya titik?. Tapi apa daya ia seperti tuna runggu tubuhnya pun tidak membalik sama sekali. Sampai-sampai Bantara memengang perlahan tubuh lelaki paruh baya. Usai ia tahu bahwa lelaki itu tuna rungu, lalu Bntara mengambil perlahan sapu yang dipegang lelaki itu.
Sebut lelaki itu Janoto, ia berasal dari hutan belantara ratusan tahun hidup tanpa lentera sedikit pun, pada akhirnya Bantaralah orang pertama kali mendatangi gubuk serta lelaki paruh baya tersebut. “Ayo, nak masuk”. Balas Janoto setelah 15 menit menunggu jawaban, dan kerasa jika Bantara ada di sisinya.
(Baca juga: Percikan Hujan)
Terimakasih tak henti ia panjatkan kepada sang pencipta muka bumi, Bantara anak sebatang kara dapat berteduh walaupun tempatnya tidak begitu layak untuk di tempati. Sampai hari esok ia berteduh di gubuk reyot, sejenak merebahkan tubuh penuh kelelahan bahkan letih karena seharian berjalan tanpa roda-roda berputar. Bantara tidur diatas pelapah pisah yang tertata rapih dlam bilik senada dengan lukisan tua, telah bertahun-tahun lukisan tak terawat sampai hitam kusam. Bahkan kasat mata jikalau tidak jeli melihatnya. Fikir Bantara banyak kenangan dibalik semua lukisan yang tertera di sawang-sawang gubuk.
Hari pun telah menyapa dengan tujuh warna indah menghiasi pagi di hutan belantara, ia bangun tetapi Janoto sudah tidak ada di gubuk tersebut. Entah kemana perginya, tapi dirinya menyiapkan sebuah singkok di atas meja dengan air putih, sebagai bekal untuk melanjutkan perjalanan. Ketika hendak Bantra pergi meninggalkan gubuk itu, ia membuat surat untuk lelaki paruh baya. Yang berisikan tentang
“Terimakasih untuk tempat berteduh yang elah kau sediakan untuk tubuh lelahku, maafkan jikalau jemari kecil ini merepotkan tak tidak tau bahwa dirimu tuna rungu. Hatimu sangat lembut sehalus kaps putih bersih tak ternoda sedkitpun”. Tulisan secarik surat untuk Janoto.
Lalu ia melanjutkan perjalana menuju sebuah danau yang ia maksud, pintu gubuk dibuka udara sangat dingin. Dinginya sampai menusuk tulang rusuknya tetapi tidak menyurukan langkahnya untuk tetap menuju danau tersebut. Perjalan penuh dengan siulan burung-burung munyil menemani tubuh menggigilnya dan kedipan mata tak berkutik.
Tiba-tiba tanpa ia sadari menabrak sebuah ranting kecIl yang sangat tajam, lalu ia mengambil tanpa berfikir panjang. “Punya siapa rantin ini?”,guman Bantara. Mungkin hutan belantara menyimpan banyak ranting sebagai petunjukkan jalan siapa pun yang melewati jalan tersebut. Bantara membawa ranting tersebut hingga sampai di danau.
Langkah demi langkah telah ia lewati dengan sungguh tak ada yang menemani bahakan roda-roda pun enggan mengantarknya. Bantara melihat danau itu penuh dengan warna-warna yang begitu elok nan mempesona, ia binggung dari mana warna itu berasal. Padahal ia tak pernah tauh jikalau seindah itu. Mungkinkah ciptaan tuhan yang tiada tara sampai menyimpan jutaan berlian yang begitu mahal harganya. Dan samgat sulit untuk di pengang oleh siapa pun.
Tanpa mencari tahu dari mana asal warna itu, ia sudah tahu dari mana asalnya. Dan ternyata warna indah adalah galian tanah yang Bantara bentuk dari embun halus dan menancarkan warna hijau menyala.
“Embun merona
inilah ku persembahkan untuk danau tersohor,” ujar Bantara
Penulis
merupakan siswa kelas XI IPA SMA Nuris Jember yang aktif