Penulis: Abd. Halim W.H.*
Riya’[1] merupakan salah satu penyakit hati yang sangat ganas. Ia dapat memusnahkan pahala dan perbuatan baik yang telah dilakukan oleh seorang hamba. Ulama salaf mendefinisikan hakikat riyâ’ dengan: Thalabul manzilati fî qulûbin nâsi bil ‘ibâdâti wa a’mâlil khaîr (mencari kedudukan dengan cara ibadah dan perbuatan-perbuatan baik agar dipuji, dihormat, diagungkan, atau didukung oleh manusia). Lain halnya dengan melakukan sesuatu karena untuk memberi contoh atau mengajar orang lain (lisânul hâl) sebagaimana yang telah dipraktekkan oleh Nabi SAW. kepada para sahabat. Ini tidak masuk kategori riya’, melainkan bagian dari ta’murûna bil ma’rûfi wa tanhauna ‘anil munkari[2] (menyuruh (orang lain) untuk melakukan kebajikan dan mencegah dari perbuatan mungkar) yang merupakan apresiasi agama.
Riya’ itu bermacam-macam, bukan hanya dalam hal ‘amal. Pura-pura tidak tahu tentang suatu hal (dan sebaliknya, pura-pura tahu terhadap sesuatu yang tidak diketahui) juga merupakan bagian dari Riya’.
Menurut penelitian ulama’ salaf, riyâ’ diklasifikasikan menjadi 6 (enam), antara lain:
اَلرِّيَاءُ مِنْ جِهَةِ الْبَدَنِ
Riya’ dari Segi Badan. Riya’ dalam hal ini dilakukan oleh anggota badan. Contoh riya’ macam ini adalah seperti pura-pura mengantuk dan lelah di siang hari agar dianggap kelelahan karena beribadah semalaman (agar dianggap ahli salat malam, ahli ibadah), atau agar dikira sedang menjalankan ibadah puasa. Dan juga merendahkan suara, agar disangka ahli mujâhadah (berjuang batin untuk memerangi nafsu). Bukan karena hormat kepada lawan bicara.
(baca juga: Dahsyatnya Bacaan Istighfar dan Sedekah)
اَلرِّيَاءُ بِالْهَيْئَةِ
Riya’ dengan Tingkah Laku. Riya’ macam ini seperti berjalan dengan pelan, menundukkan kepala dan tidak menoleh ke mana-mana dengan tujuan agar dianggap orang yang wara’, berhati-hati tidak melihat perkara haram (seperti lawan jenis yang bukan mahram), dan dianggap sopan. Atau seperti orang baru selesai salat yang membiarkan bekas debu di dahinya (padahal ia mengetahuinya) tidak ia bersihkan lantaran agar orang lain menganggapnya sebagai ahli salat, ahli sujud, dan agar dipuji oleh orang lain.
اَلرِّيَاءُ فِي الثِّيَابِ
Riya’ dalam hal pakaian. Riya’ macam ini seperti berpakaian dengan meniru cara berpakaiannya orang-orang yang berhati-hati, seperti meninggikan ujung bawah sarung agar dianggap berhati-hati dari najis. Atau seperti memakai pakaian yang sudah tidak layak dipakai, tidak teratur, agar dianggap zuhud, tidak mementingkan dunia karena khusyu’ dzikir kepada Allah SWT., sehingga pada pakaiannyapun ia lupa.
اَلرِّيَاءُ بِالْقَوْلِ
Riyâ’ dengan Ucapan. Contoh riya’ macam ini seperti mengajar, berpidato, berceramah, dan sebagainya, yang mana pekerjaan-pekerjaan tersebut dimaksudkan agar dianggap alim, pintar, mahir berpidato/berceramah. Tidak murni ikhlas karena Allah Swt., kendatipun ilmu yang disampaikan adalah ilmu agama. Berbicara dengan sopan dengan niat agar dianggap orang yang sopan dan berhati-hati. Berbicara dengan menggunakan bahasa populer agar dianggap cendikiawan.
اَلرِّيَاءُ بِالْعَمَلِ
Riya’ dengan Amal Baik. Contoh riya’ macam ini adalah seperti orang yang mengerjakan salat, yang tidak sama antara ketika ia salat sendirian dengan salat yang dilihat orang. Ketika sedang salat sendirian, ia sama sekali tidak memperhatikan gerakan dan bacaan salat sehingga salatnya cepat selesai. Sesudah salatpun tidak wiridan. Lain halnya ketika salatnya dilihat orang banyak (di masjid atau tempat-tempat lain. Atau ketika menjadi imam salat). Gerakan salatnya diperlambat dan bacaan salatnyapun dibaca pelan layaknya orang yang menghayati bacaan, khusyu’. Selesai salatpun masih wiridan, membaca istighfar, dan do’a-do’a panjang. Kalau perlu ditambah membaca al-Qur’an, agar dianggap ahli ibadah oleh orang-orang yang melihat.
اَلرِّيَاءُ بِكَثْرَةِ التَّلَامِذَةِ وَالْأَصْحَابِ وَكَثْرَةِ ذِكْرِ الشُّيُوْخِ
Riya’ dengan Banyaknya Murid dan Sahabat, dan Banyak Menyebut Guru/Kiai. Contoh riya’ macam ini adalah seperti menyebut-nyebut banyak murid / santri dan kenalan ketika sedang berkomunikasi dengan orang lain. Dengan bangganya menyebut-nyebut memiliki santri sekian (meskipun itu benar adanya). Memiliki kenalan pejabat, kiai besar, tokoh, orang terpandang, dan sebagainya. Banyak menyebut guru/kiai/syekh ketika sedang berbicara/mengajar/berceramah. Berbangga diri karena telah berguru kepada syekh Fulan (misalnya). Pernah nyantri di pesantrennya Kiai Fulan. Pernah belajar kepada ustadz Fulan, dan seterusnya.
Semoga kita semua senantiasa diselamatkan dari ganasnya penyakit riya’ dan penyakit hati yang lain, seperti sum’ah[3], ‘ujub[4], kibr[5], dan lainnya. Âmîn Yâ Rabbal âlamîn…
■ Disarikan dari pengajian kitab Minhâjul ‘Âbidîn yang diasuh oleh almaghfurlah al-‘Allâmah KH. Ahmad Fauzi Sirran, tertanggal 05 Februari 2008.
sumber foto kover: islampos.com
*Penulis adalah
Khâdim di PTQ Anak & Balita, MTs Unggulan, dan MA Unggulan Nuris Program Tahfidz NURIS, Jember
[1]. Secara bahasa, ia berasal dari mashdar Ru’yatan (رُؤْيَةً), dari tasrifan mâdhi-mudhâri’; Ro_â (رَأَى) – Yarô (يَرَى) yang berarti “melihat” atau “menampakkan”. Sehingga ia juga bisa didefinisikan dengan; menampakkan / memperlihatkan amal kebaikan agar dilihat manusia dengan tujuan agar dipuji oleh mereka.
[2]. Dalam QS. Âli Imrân (03): 110 disebutkan:
كُنتُمۡ خَيۡرَ أُمَّةٍ أُخۡرِجَتۡ لِلنَّاسِ تَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَتَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِ وَتُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِۗ وَلَوۡ ءَامَنَ أَهۡلُ ٱلۡكِتَٰبِ لَكَانَ خَيۡرٗا لَّهُمۚ مِّنۡهُمُ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ وَأَكۡثَرُهُمُ ٱلۡفَٰسِقُونَ
Artinya: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.”
[3]. Memperdengarkan amal kebaikan dengan tujuan disanjung dan dipuji oleh orang lain
[4] Perasaan cinta pada suatu karunia dan merasa memilikinya sendiri tanpa mengembalikan keutamaannya kepada Pemilik Keutamaan, Allah Swt.
[5] Merasa memiliki nilai lebih dari orang lain, seperti: merasa lebih pandai, lebih kaya, lebih tampan, lebih canting, lebih terhormat, dan lainnya. Definisi Kibr dan Takabbur sejatinya sama, sama-sama merasa lebih dari orang lain. Bedanya adalah, kalau Kibr itu tidak sampai ditampakkan, sedangkan Takabbur itu ditampakkan, baik dalam bentuk perkataan, ataupun tingkah laku.