Penulis: Bahrul Ula*
Bulan Ramadhan telah berlalu. Sekarang saatnya berharap kembali agar disampaikan pada Ramadhan berikutnya. Namun, sebagai muslim dan mukmin yang baik, sepatutnyalah kita mengevaluasi apa saja yang telah kita perbuat pada bulan Ramadhan, baik yang dilakukan oleh diri sendiri atau dilakukan oleh orang lain. Tujuan dari evaluasi ini tiada lain kecuali hanya untuk memperbaiki hal-hal yang perlu diperbaiki. Di mana tujuan puncaknya adalah mennggapai ridha Allah SWT.
Di antara amaliah yang mungkin patut untuk di evaluasi adalah program bukber (buka bersama di masjid). Masjid sebagai pusat kajian Islam, memang sudah terjadi sejak masa nabi, dimana dulu telah diselenggarakan semacam pengajian. Rasulullah SAW banyak menyampaikan dakwahnya di masjid. Namun ironisya, sekarang masjid dijadikan tempat perkumpulan yang tak berbau pengajian, bahkan mungkin duniawi. Mungkin asumsi orang-orang, hukum bukber di masjid boleh. Memang, selagi tidak menyempitkan orang untuk melakukan ibadah di masjid, aktivitas tersebut tidak dilarang oleh nabi. Dalam sebuah hadits riwayat Ibnu Majah dari Abdillah bin al-Harits disebutkan :
كُنَّا نَأْكُلُ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَسْجِدِ الْخُبْزَ وَ اللَّحْمَ
Artinya: “Dulu, pada masa nabi kita makan roti dan daging di masjid”.
Hanya kemudian, penyebabnya adalah polusi udara tidak sedap dan mengotori masjid oleh sisa makanan. Hukum baru muncul karena ada illatul hukmi (alasan munculnya hukum) baru, bisa jadi menjadi makruh karena hukum terus berganti tergantung adanya illatul hukmi dan tidak adanya. Bahkan juga bisa menjadi haram perihal bukber di masjid ini. Ibnu Ziyad menjelaskan secara panjang dalam kitabnya, yakni Ghayah Talkhis al-Murad Min Fatawa Ibni Ziyad halaman 96-97 :
(baca juga: Niat Puasa Ramadhan antara Romadhona dan Romadhoni, Manakah yang Benar?)
“Disunahkan untuk mengadakan pengajian di dalam masjid dan boleh tidur di dalamnya tanpa hukum makruh, hal itu dengan catatan tidak sampai menpersempit ruang ibadah di masjid. Demikian pula hukum bukber di masjid, selagi tidak mengganggu orang lain dan takjilnya tidak menimbulkan bau, semacam bawang merah yang makruh”. Dari redaksi ta’bir ini mengindiksikn kebolehan. Akan tetapi, perlu diketahui batasan-batasanya :
Pertama, Tidak mempersempit ruang orang yang ibadah di masjid
kedua, Tidak mengganggu orang yang ibadah di masjid
ketiga, Menu bukber tidak menimbulkan polusi bau tidak sedap dan mengkotori masjid sehingga terlihat menjijikkan, inilah yang bisa merubah hukum dari boleh menjadi makruh atau bahkan menjadi haram. Disebutkan ta’birnya demikian:
الشَّافِعِيَّةُ قَالُوْا : الْأَكْلُ فِي الْمَسْجِدِ مُبَاحٌ مَالَمْ يَتَرَتَّبْ عَلَيْهِ تَقْذِيْرُ الْمَسْجِدِ كَأَكْلِ الْعَسَلِ وَ السَّمِنِ وَ كُلُّ مَا لَهْ دُسُوْمَةٌ , وَإِلَّا حَرُمَ لِأَنَّ تَقْذِيْرَ الْمَسْجِدِ بِشَيْئٍ مِنْ ذَالِكَ وَنَحْوِهِ حَرَامٌ وَإِنْ كَانَ طَاهِرًا.
Artinya: “Ulama’ Madzhab Syafi’i mengatakan bahwa makan di masjid hukumnya boleh. Kebolehan ini selagi tidak mengakibatkan kekotoran pada masjid, seperti makan madu dan minyak samin dan setiap makanan yang mengandung lemak. Jika masjid terlihat kotor oleh jenis makanan tersebut, maka hukumnya haram, meskipun makanannya suci”.
Sumber; Ghoyatut Talkhis al-Murad dan al-Fiqh al-Arba’ah
*Penulis adalah aktivis Bahasa Arab Kampus INAIFAS Kencong, Jember