Hujjah Aswaja : Dzikir Dengan Cara Berjamaah
Oleh: KH Muhyiddin Abdusshomad
Membaca dzikir dengan cara berjamaah sehabis menunaikan shalat maupun dalam momen tertentu seperti dalam acara istighatsah, tahlilan dan lain-lain adalah perbuatan yang tidak bertentangan dengan ajaran agama, bahkan termasuk perbuatan yang dituntun oleh agama. Tidak sedikit ayat-ayat al-Qur’an yang menunjuk terhadap dzikir secara berjamaah. Misalnya ayat :
فَاذْكُرُوْنِي أَذْكُرْكُمْ (البقرة : ١٥٢)
“Ingatlah (berdzikirlah) kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu.” (QS. Al-Baqarah : 152)
Allah SWT juga berfirman :
يَاأَيُّهَاالَّذِيْنَ أَمَنُوا ذْكُرُوْا للهَ ذِكْرًا كَثِيْرًا وَسَبِّحُوْهُ بُكْرَةً وَأَصِيْلًا (الأحزاب:٤١-٤٢)
“Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak—banyaknya, dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang.”(QS. Al-Ahzab: 41-42).
Tidak sedikit pula hadits-hadits Rasulullah SAW yang menunjukkan keutamaan dzikir dengan cara berjamaah. Rasulullah bersabda:
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم إِذَامَرَرْتُمْ بِرِيَاضِ الْجَنَّةِ فَارْتَعُوْا قَالُوْا يَا رَسُوْلَ الله وَمَا رِيَاضُ الْجَنَّةِ ؟ قَالَ : حِلَقُ الذِّكْرِ (أخرجه أحمد،٣/١٥٠، والترميذي، ٣٥١٠)
“Dari Anas ra, ia berkata, Rasulullah bersabda: “Apabila kalian melewati taman surga, maka berdzikirlah bersama mereka.” Mereka bertanya: “Apa yang dimaksud taman surga, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Kumpulan orang-orang yang berdzikir.” (HR. Ahmad [3/150] dan al-Tirmidzi [3510]).
(Baca Juga: Ikhtiar Pesantren Dalam Meneguhkan Aswaja)
Rasulullah SAW juga bersabda :
عَنْ شَدَّادِ بْنِ أَوْسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : إِنَّا لَعِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم إِذْ قَالَ ارْفَعُوْا أَيْدِيَكُمْ وَقُوْلُوْا لَاإِلَهَ إِلَّا اللهُ فَفَعَلْنَا فَقَاَلَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم الَّلهُمَّ إِنَّكَ بَعَثْتَنِيْ بِهَذِهِ الْكَلِمَةِ وَأَمَرْتَنِيْ بِهَا وَوَعَدْتَنِيْ عَلَيْهَا الْجَنَّةَ إِنَّكَ لَا تُخْلِفُ اْلمِيْعَادَ ثُمَّ قَالَ : أَبْشِرُوْا فَإِنَّ اللهَ قَدْ غَفَرَلَكُمْ (أخرجه الحاكم،١٨٤٤ ، وأحمد،٤/١٢٤ ، والطبراني في الكبير،٧١٦٣ ، والبزار، ١٠، قال الحافظ الهيثمي في مجمع الزوائد، ١/١٦٣ ، ورجاله موثقون)
“Dari Syaddad bin Aus ra, ia berkata: “Pada saat kami bersama Rasulullah , tiba-tiba beliau bersabda: “Angkatlah tangan kalian dan katakanlah, tiada Tuhan selain Allah”. Kami pun melakukannya. Lalu Rasulullah bersabda: “Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengutusku dengan membawa kalimat ini, Engkau memerintahkan aku dengan kalimat tersebut, dan Engkau menjanjikan aku surga dengan kalimat tersebut, sesungguhnya Engkau tidak akan mengingkari janji.” Kemudian beliau bersabda: “Bergembiralah kalian, karena Allah telah mengampuni kalian.” (HR. Al-Hakim [1844], Ahmad [4/124], al-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir [7163] dan al-Bazzar [10]. Al-Hafizh al-Haitsami berkata dalam Majma’ al-Zawaid [1/163], “Para perawi hadits ini dapat dipercaya”).
Redaksi perintah berdzikir dalam dua ayat di atas dan dua hadits di bawahnya memakai bentuk jamak, “udzkuruu, sabbihuu, farta’uu, hilaq al-dzikri (dzikir berjama’ah) dan quuluu”, menunjukkan bahwa perintah berdzikir tersebut yang utama dilakukan secara bersama-sama yakni secara berjama’ah. Hal tersebut sesuai dengan apa yang disampaikan oleh para ulama. Al-Imam Ibnu Abidin berkata dalam kitabnya:
“Al-Imam al-Ghazali menyamakan dzikir sendirian dan dzikir berjama’ah dengan adzan sendirian dan adzan berjama’ah, di mana suara adzan yang dilakukan sekelompok orang secara berjama’ah akan membelah udara melebihi suara adzan seorang diri. Demikian pula, dzikir berjama’ah akan lebih berpengaruh terhadap hati seseorang dalam menyingkap tabir yang menyelimuti hati, dari pada dzikir seorang diri.” (Hasyiyah Ibnu ‘Abidin, juz V, hal. 263).
Bahkan lebih jauh lagi, al-Imam al-Sya’rani mengemukakan sebagai berikut :
“Para ulama salaf dan khalaf telah bersepakat tentang disunnahkannya dzikir berjama’ah di masjid-masjid atau lainnya, tanpa ada yang menentang dari seorang pun, kecuali apabila suara keras mereka dapat menganggu orang yang tidur, shalat atau membaca al-Qur’an.” (Hasyiyah al-Thahthawi ‘ala Maraqi al-Falah, hal.208).
Berangkat dari keutamaan dzikir berjama’ah yang telah disepakati oleh para ulama salaf dan khalaf tersebut, berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits para ulama dalam setiap kurun waktu selalu melakukan dzikir berjama’ah. Termasuk pula Ibnu Taimiyyah yang rutin melakukan dzikir berjama’ah dan membaca surat al-Fatihah setiap selesai shalat subuh sampai dengan terbitnya matahari sebagaimana diriwayatkan oleh muridnya, Umar bin Ali al-Bazzar yang menjadi saksi mata sebagai berikut :
فَإِذَا فَرَغَ أَيْ إِبْنُ تَيْمِيَةَ مِنَ الصَّلَاةِ أَثْنَى عَلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ هُوَوَمَنْ حَضَرَبِمَا وَرَدَ مِنْ قَوْلِهِ الَّلهُمَّ أَنْتَ السَّلَامُ … ثُمَّ يُقْبِلُ عَلَى الْجَمَاعَةِ ثُمَّ يَأْتِيْ بِالتَّهْلِيْلَاتِ الْوَارِدَاتِ حِيْنَئِذٍ ثُمَّ يُسَبِّحُ اللهَ وَيَحْمَدُهُ وَيُكَبِّرُهُ ثَلَاثًا وَثَلَاثِيْنَ وَيَخْتِمُ الْمِا ئَةَ بِالتَّهُلِيْلِ كَمَا وَرَدَ وَكَذَا الْجَمَاعَةُ ثُمَّ يَدْعُواللهَ تَعَالَى لَهُ وَلَهُمْ وَلِلْمُسْلِمِيْنَ … فَرَأَيْتُهُ يَقْرَأُ اْلفَاتِحَةَ وَيُكَرِّرُهَا وَيَقْطَعُ ذَلِكَ الْوَقْتَ كُلَّهُ – أَعْنِي مِنَ الْفَجْرِ إِلَى ارْتِفَاعِ الشَّمْسِ – فِي تَكْرِيْرِ تِلَا وَتِهَا … وَهَذَا مِنْ قُوَّةِ فِطْنَتِهِ وَثَاقِبِ بَصِيْرَتِهِ. ( عمر بن علي البزار, الأعلام العلية في مناقب ابن تيمية, ص / ٣٧-٣٩)
“Apabila Ibnu Taimiyah selesai shalat subuh, maka ia berdzikir kepada Allah bersama-sama jama’ah yang hadir dengan doa yang warid (datang dari Nabi SAW), Allahumma anta al-salam … Kemudian dia menghadap kepada jama’ah, lalu bersama mereka membaca tahlil yang warid, lalu membaca subhanallah, alhamdulillah dan allahu akbar, masing-masing 33 kali, dan melengkapi yang ke seratus dengan membaca tahlil yang warid, kemudian dia berdoa untuk dirinya, jama’ah dan seluruh kaum Muslimin. Selanjutnya dia membaca surat al-Fatihah, mengulang-ulanginya – yakni sejak terbitnya fajar hingga matahari naik ke atas. Hal tersebut sebagai bukti kekuatan kecerdasannya dan pandangan hatinya yang jitu.” (Umar bin Ali al-Bazzar, al-A’lam al-‘Aliyyah fi Manaqib Ibn Taimiyyah, hal. 37-39).
(Baca Juga: Hujjah Aswaja: Bolehkah Mengeraskan Bacaan Dzikir?)