Ketujuh: Susah dan Senang Ditanggung Bersama
وَافْرَحْ أَخِى لِــــــفَرَحِ الْعَشِيْرِ وَاحْزَنْ لِحُزْنِهِ بِــاْلاِسْتِبْشَـــارِ
Ikut senang jika teman bahagia
jangan senang bila teman menderita
لاَتَرْضَ أَنْ يَـــفْعَلَ مَـــا يَضُرُّهُ دِيْنًـــا وَدُنْيَــــــا هٰكَذَا رَحِمْتَهُ
Pekerjaan teman yang membahayakan
dunia akhirat jangan dibiarkan
Syarah:
Nabi Muhammad Saw bersabda:
عَنْ أَبِي مُوسَى، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا» (رواه مسلم)
Dari Abi Musa, ia berkata, “Rasulullah Saw bersabda, “Seorang mukmin kepada mukmin yang lain seperti satu bangunan. Satu dengan yang lainnya saling menguatkan” (HR. Muslim)
Hadits ini menegaskan bahwa semua umat Islam berada dalam satu kesatuan. Semuanya diikat oleh persaudaraan antar sesama umat Islam (ukhuwah islamiyyah). Oleh karena itu, mereka harus merasa sebagai bagian yang tidak terpisahkan antara satu dengan yang lainnya. Berbahagia ketika ada saudara yang mendapatkan kebahagiaan, dan ikut susah pada saat yang lain mengalami kesulitan hidup kemudian hatinya tergerak untuk memberikan bantuan dengan ikhlas sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Inilah yang dicontohkan kaum Anshar ketika menolong kaum Muhajirin saat mereka hijrah ke Madinah. Di dalam Al Qur’an diceritakan:
وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (الحشر، 9)
Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang terhindar dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung (QS. Al Hasyr, 9)
(baca juga: Mengenal Madzhab Imam Al Syafi’i)
Dalam hal kebahagiaan dan penderitaan setiap orang butuh berbagi. Orang Islam hendaknya satu rasa satu kata. Jangan sampai kita rela melihat sahabat kita melakukan sesuatu yang membahayakan dirinya, lebih-lebih membahayakan orang banyak. Karena, sabda Nabi Muhammad Saw:
مَثَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ فِى تَوَآدِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ كَمَثَلِ الْجَسَدِ: إِذَا اشْتَكَى عَضْوٌ، تَدَاعَى لَهُ سَآئِرُ الْجَسَدِ باِلسَّهَرِ وَالْحُمَّى_رواه البخاري ومسلم
Perumpamaan orang-orang mukmin dalam cinta, kasih, dan sayang di antara mereka, ialah seperti satu badan; jika satu anggota badan mengadu kesakitan, maka untuknya anggota badan yang lain pun saling merasakan tak dapat tidur dan demam bersama_HR. al-Bukhâri dan Muslim.
Rasulullah Saw mengajarkan kepada umat Islam agar peduli pada sesama, ketika ada teman, tetangga atau siapa saja yang menghadapi kesulitan atau tertimpa musibah. Kita berkewajiban untuk membantu dan meringankan beban mereka dengan segala kemampuan yang kita miliki. Perbuatan tersebut merupakan salah satu bukti kemantapan iman kita dalam beragama.
Imam Ghazâlîy memberikan tuntunan yang indah dalam etika bergaul. Di antaranya ialah:
الْإِيْثَارُ بِالْمَالِ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ هَذَا فَبَذْلُ الْفَضْلِ بِالْمَالِ عِنْدَ الْحَاجَةِ وَالْإِعَانَةُ بِالنَّفْسِ فِي الْحَاجَاتِ عَلَى سَبِيْلِ الْمُبَادَرَةِ مِنْ غَيْرِ إِحْوَاجٍ إِلَى الْتِمَاسٍ وَكِتْمَانُ السِّرِّ وَسِتْرُ الْعُيُوْبِ عَلَى تَبْلِيْغِ مَا يَسُوْءُهُ مِنْ مَذَمَّةِ النَّاسِ إِيَّاهُ وَإِبْلَاغُ مَا يَسُرُّهُ مِنْ ثَنَاءِ النَّاسِ عَلَيْهِ. وَحُسْنُ اْلإِصْغَاءِ عِنْدَ الْحَدِيْثِ وَتَرْكُ الْمُمَارَاةِ فِيْهِ وَأَنْ يَدْعُوَهُ بِأَحَبِّ أَسْمَائِهِ إِلَيْهِ وَأَنْ يُثْنِيَ عَلَيْهِ بِمَا يُعْرَفُ مِنْ مَحَاسِنِهِ وَأَنْ يَشْكُرَهُ عَلَى صَنِيْعِهِ فِي حَقِّهِ وَأَنْ يَذُبَّ عَنْهُ فِي غَيْبَتِهِ إِذَا تَعَرَّضَ لِعَرْضِهِ كَمَا يَذُبُّ عَنْ نَفْسِهِ وَأَنْ يَنْصَحَهُ بِاللُّطْفِ وَالتَّعْرِيْضِ إِذَا احْتَاجَ إِلَيْهِ وَلَا يَعْتُبَ عَلَيْهِ وَأَنْ يَدْعُوَ لَهُ فِي خَلْوَتِهِ فِي حَيَاتِهِ وَبَعْدَ مَمَاتِهِ وَأَنْ يَخْرُجَ لَهُ مِنْ مَكَانِهِ وَأَنْ يُشَيِّعَهُ عِنْدَ قِيَامِهِ (شرح بداية الهداية, 93)
“Lebih mengutamakan teman dalam urusan harta. Jika tidak bisa, maka hendaknya memberikan kelebihan harta yang dimiliki ketika dibutuhkan. Segera membantu secara pribadi terhadap kebutuhan teman tanpa perlu diminta. Menyimpan rahasia. Tidak menyampaikan gunjingan orang, tetapi menyampaikan pujian dan sanjungan orang kepada yang bersangkutan. Menjadi pendengar yang baik. Tidak berdebat. Memanggil dengan nama yang paling disenangi. Memuji kebaikannya. Berterima kasih terhadap apa yang telah diperbuat untuk kita. Selalu menjaga kehormatan teman ketika ia tidak ada seperti ia menjaga kehormatan dirinya sendiri. Menasihati dengan lemah lembut dan dengan sindiran jika memang dibutuhkan. Jangan mencerca. Selalu mendoakan baik kepada teman, baik ketika ia masih hidup ataupun setelah meninggal dunia. Mengantarkan teman ketika keluar dari rumah (sampai di halaman) .” (Syarah Bidayatul Hidayah, 93)[AF.Editor]
*Terjemahan Kitab Tarbiyatus Shibyan oleh KH. Muhyiddin Abdusshomad