Oleh: Nabila Fikriya*
Hahahaha..
Suara menakutkan itu pun datang, suara yang meresahkan para warga di sekitar tepian Pantai Selatan. “Dia datang” tutur anak dari salah seorang nelayan.
Nogo Rojo datang… Nogo Rojo datang…..Warga yang berjaga di sekitar tepian pantai membunyikan kentongan, memberi peringatan agar warga bergegas mencari perlindungan. Warga yang berada di sekitar tepian pantai berlarian dan berbondong bondong menyelamatkan hasil tangkapannya, aku dan ayahku berlari secepat mungkin menjauhi tepian pantai.
“Humai lari….” suara serak basa itu berteriak kepadaku, “Bapak tunggu…”dengan cepat aku menyusul ayahku. Tak berapa lama kemudian karna jarak tepian pantai dari rumahku terlalu jauh aku dan ayahku memutuskan untuk bersembunyi di balik batu yang tak jauh dari tepian pantai. Di sela-sela retakan batu aku melihat gelombang air laut yang menerpa kerasnya batu karang dan suara deburan ombak akibat besarnya badan dari Nogo Rojo tersebut. Setelah si Nogo Roro itu pergi, semuanya sirna. Perahu, kapal, serta tangkapan ikan hasil para nelayan lenyap.
Nogo Rojo adalah sebutan bagi naga besar yang menghuni pantai selatan. Raksasa itu memakan ikan serta hewan laut yang ada di sekitar pantai. Tidak cukup dari itu, Nogo Rojo itu memporak porandakan perahu serta kapal milik para nelayan yang ada sekitar tepian pantai.
“Sudahlah nak ini memang takdir”dengan nada yang menunjukan keputus asaan, “Apa? Bapak bilang takdir? ini bukan takdir pak ini bencana, bapak liat prahu yang Bapak buat dengan susah payah hancur begitu saja,lalu bagaimana nanti kita mencari ikan pak! Hidup kita sudah susah di tambah lagi dengan prahu kita yang hancur, itu menambah beban hidup kita pak!”.
(baca juga: Memeluk Hujan)
Aku tak sanggup menahan luapan emosi karena ulah si Nogo Rojo itu,spontan air mataku mengalir melewati raturan pori-pori yang ada pipi. “Kapal kita hancur pak!.. “seorang warga yang menangisi kapalnya yang hancur. Aku melihat deraian air mata para warga yang meratapi sisa dari puing-puing kapal sebagai sumber penghasilanya setiap hari.
Mataharipun mulai menyembunyikan dirinya di ufuk barat, menandakan sang malam mulai tiba, aku dan Bapak serta para warga meninggalkan tepian pantai, membiarkan sisa puing –puing dari kapal yang sudah tidak di pakai hanyut di telan ombak, biarlah puing-puing itu menjadi saksi bisu dari kejadian ini.Sesampainya dirumah, aku membuatkan teh melati kesukaan Bapak lalu duduk di kursi bambu buatan kakek.
“Pak kenapa Nogo Rojo itu menyerang pemukiman kita apa salah kita?” “Humai..Nogo Rojo itu dulunya adalah manusia sama seperti kita” sambil menyruput teh melati buatanku. “lalu kenapa dia bisa buerubah menjadi Naga besar?” Bapak akhirya bercerita asal usul dari Naga besar itu “Dulu saat kamu kecil pemukiman di sekitar pantai selatan sangat makmur,ikan,udang dan kehidupan yang ada di pantai selatan sangat melimpah dan suatu ketika.
Cetaaarrr………….. Cerita Bapak terhenti ketika mendengar suara benda jatuh dari dapur “humai suara apa itu,coba kamu lihat di dapur” “Ahh………….itu munkin tikus pak, “aku menghiraukan suara itu dan tak sabar mendengar lanjutan cerita dari Bapak. “Dan suatu ketika, ada pemuda bernama Rojo Prasetyo yang memancing di sekitar tepian Pantai Selatan, ia memancing dekat dengan bebatuan dimana disana terdapat telur Naga laut penjaga Pantai Selatan, setelah beberapa saat Rojo Prasetyo tak kunjung mendapatkan ikan, karna sudah putus asa, tanpa berfikir panjang Rojo Prasetyo mengambil telur tersebut untuk dijadikan makan malamnya. Akhirnya naga penjaga pantai selatan marah dan sebagai hukuman, Naga tersebut memasukan raga Rojo Prasetyo kedalam raganya.
Setelah beberapa hari kejadian itu terjadi, ikan, udang dan hewan laut yang ada di Pantai Selatan mulai menyusut, para nelayan yang biasanya sering mendapatkan hasil melimpah kini tidak sebanyak saat itu bahkan terkadang tidak sama ssekali. Hal ini yang membuat kemiskinan di pemukiman sekitar penduduk Pantai Selatan merajalela.” Sambil menyruput kembali teh melati yamg aku buat, “lalu kenapa warga tidak mengambil tindakan agar Naga itu pergi?” di pikiranku penuh dengan teka teki tentang asal usul Naga laut itu.
“Naga itu awalnya jarang sekali muncul ke permukaan, kata nenek moyang kita, dulu Naga itu adalah titisan dari Ratu Pantai Selatan Nyi Roro Kidul, ia di utus untuk menjaga Pantai Selatan. Tapi karna kejadian Rojo Prasetyo yang mengambil telur itu, Naga itupun berulah rakus seperti hewan yang tidak makan beberapa ratus tahun.Warga mengira Naga laut itu berulah karna Naga itu telah memasukan raga Rojo Prasetyo yang rakus ke dalam raganya, sehingga di dalam Naga itu terdapat dua raga yang menjadi satu mangkanya warga menjuluki Naga itu dangan julukan Nogo Rojo.
Konon kutukan itu bisa hilang jika ada seorang perempuan yang bisa merubah keganasan dari Nogo Rojo itu. “Humai sudah malam nak tidur” suara Ibu terdengar dari celah jendela kamarnya. “Iya bu ini sudah mau tidur” “Pak…pak………” ibu memanggil bapak dari kamarnya, “Opo tho buk” dengan logat jawa khas bapak. “Wes Pak Humainya jangan di ajak cerita terus sudah malam ini”
“Lahdalah……… enggeh buk ini sudah mau tidur” sambil membereskan gelas dari teh melati yang aku buat “Wez sekarang kamu tidur besok kita lanjutkan mencari ikanya” “Siap pak” lalu aku beranjak dari kursi bambu buatan kakek dan melangkahkan kakiku ke tempat di mana badan ini bisa meluapkan keletihanya. Di sisi lain fikiran ini masih memikirkan tentang cerita yang bapak ceritakan tadi,tentang kutukan yang bisa hilang jika ada seorang wanita yang bisa merubah keganasan dari Nogo Rojo. Kalau seandainya aku yang jadi wanita itu gimana ya… sambil membayangkan cerita yang di ceritakan ayahnya tadi. Ahh…. apa sih Humai, gak mungkin aku bisa menjinakkan Naga sebesar itu, mungkin belum apa-apa sudah di makan duluan sama Naganya, sahutnya dalam hati. Tak terasa fikiran itu membuatku terlelap dalam keheningan malam yang sunyi.
Kok….kok…kok.. suara ayam membangunkanku dari tidur malamku yang lelap, dengan rambut acak acakan aku melangkahkan kakiku ke arah jendela dan membukanya. Pancaran mentari pagi, serta tetesan dari butiran embun membasahi dedaunan dan bunga di sekitar halaman rumahku. Membuatku siap menjalani hariku dengan mengais secuil rezeki yang di anugrahkan Tuhan kepada semesta alam. “Humai…..ayo makan nak” Ibu sudah meneriakiku dari jauh.
“Iya bu bentar” bergegas aku pergi ke dapur dan menyusul mereka sarapan pagi. Hati ku tersentak setelah melihat sarapan yang di hidangkan oleh ibuku. Betapa tidak! Hanya sepiring nasi dan ikan kering untuk satu keluarga yang ada diruamah. “Bu kenapa hanya ini yang ada di meja makan? Aku bertanya tanya mengapa Ibu tidak masak seperti biasa.
“Nak sekarang ikan di sekitar pantai selatan sangat sulit dicari” pasti karna Naga Raja itu yang memakan semua ikan yang ada di laut. Sahutku dalam hati. Setelah makan aku dan ayahku bergegas mencari hewan laut yang ada di sekitar pantai, awalnya kami hanya mencari ikan, tapi karena keadaan yang terjadi di pemukiman kami, menuntut kami untuk mencari hewan laut apapun yang bisa kami makan.
Setelah sampai di tepian pantai Bapak menyuruhku untuk mencari hewan laut yang ada di selah- selah batu sekitar pantai. Sedangkan ayahku pergi mencari ranting kecil untuk membuat pancing ikan, saat aku sedang mencari hewan laut yang ada di pantai, tiba-tiba angin kencang berhembus dari arah utara. Burung-burung seakan berlarian untuk menyelamatkan dirinya. Ada apa ini!, gelombang laut tiba-tiba mengeluarkan hempasan airnya yang dasyat. Sepertinya…….firasat ini menandakan akan kedatangan Nogo Rojo.
“Humai…….lari Humai….”suara Bapak sangat lantang dari kejauhan memberi peringatan agar aku cepat menghindar dari tepian pantai. Dan firasat ini benar, tak lama setelah aku berlari munculah Nogo Rojo tepat di depanku. Sedangkan aku melihat Bapak bersembunyi di balik batu di sekitar tepian pantai, akupun tidak bisa berlari dan hanya bisa mengharap belas kasih dari Nogo Rojo itu agar membiarkan aku tetap hidup. “Aku mohon jangan bunuh aku.
Aku masih ingin bersama Bapak. Aku masih ingin membahagiakan keluargaku, nanti siapa yang merawat ayah ibuku jika aku mati! sambil mengangkat tanganku dan memejamkan mata. Saat di dalam ketegangan seperti ini, entah kenapa hati ini tidak merasakan adanya ketakutan, lantas aku mencoba memberanikan diri membuka mata dan sepintas aku melihat matanya memandangiku.
Seperti ada rahasia besar yang tersembunyi di dalam matanya. Tak berapa lama kemuadian, Nogo Rojo itu pergi begitu saja. Tak seperti biasa Nogo Rojo itu tidak membikin ulah. Bergegas aku menjauhi tepian pantai dan menemui Bapak. “Humai kamu baik-baik saja nak?” sambil mengelus rambutku memastikanku apakah aku bai-baik saja. “iya pak aku tidak papa” aku dan Bapakpun bergegas pulang.Sesampainya di rumah ibu menyuruhku untuk beristirahat “Humai….besok biar Bapakmu saja yang mencari ikan, kamu disini bersama ibu”
“Lho kenapa begitu, aku ingin menemani ayah mencari ikan” “tapi itu berbahaya nak!” aku bosan jika aku harus dirumah dan menunggu di rumah, aku ingin mencari petualangan dan hal-hal yang baru, tuturku dalam hati. “sudah sekarang kamu istirahat ke dalam kamar” “iya buk” karena kejadian yang aku alami seharian ini membuat seluruh badanku merasa letih.segera aku melangkahkan kakiku ke kamar. Fikiran ini masih dengan kejadian yang aku alami tadi.
Aku merasa, tidak asing dengan tatapan mata dari Nogo Rojo penjaga pantai selatan itu.Sepertinya mata itu sudah aku kenal sejak lama.Tapi siapa? Aku berusaha mengingatnya kembali, satu persatu aku mencoba mengingat mata dari sekian orang yang pernah aku kenal.Dan tak lama kemudian bayangan teman kecilku muncul dari benakku.Apa jangan-jangan raga yang ada dalam Naga laut itu adalah Nafi!.Jika benar aku ingin menolongnya! Bergegas aku beranjak dari tempat tidurku, dan menyakan kabar Nafi ke pada ibuku “Ibu masih ingat ke teman kecilku Nafi?”
“iya Ibu masih ingat, yang pernah memberimu kalung mutiara itu kan nak?” “iya bu benar, lalu sekarang dia ada dimana bu?” “terakhir Nafi memberi tahu ibu kalau iya akan datang di bulan akhir sya,ban dan membakanmu ikan Mina” aku terperanjat mendengar salam yang di sampaikan ibu kepadaku. Memang, saat aku kecil. Nafi pernah berkata seperti yang di sampaikan ibu kepadaku .Saat aku kecil aku sangat menginginkan ikan Mina yang ada di tepian Pantai Selatan .Dan Nafi sempat berjanji akan membakanku Ikan Mina setelah ia datang dari kota. tapi yang aku takutkan kejadian kutukan Naga Raja itu bertepatan pada janji Nafi yang akan membawakanku ikan Mina. Langsung aku berlari menemui bapakku Di ruang depan.
Aku melihat dua orang yang sedang berbincang-bincang dengan Bapak, “Bapak aku ingin menanyakan sesuatu?” sambil duduk di kursi dekat bapakku duduk. “sebelum menyakan pertanyaan bapak mempunyai kabar gembira untuk Humai dan seluruh penduduk di sekitar pemukiman Pantai Selatan, Bapak ingin ngasih tau kamu kalau Nogo Rojo itu sudah dibelah menjadi tiga oleh Raden said dan Raden Murdoso. Sambil menunjuk ke arah dua orang yang sedang duduk berhadapan dengan Bapak. “Apa….. tapi kenapa pak!” Serasa hati ini hancur seperti pecahan piring. “oh…iya tadi Humai mau tanya apa?” rasa keputus asaan mulai muncul dalam diriku “pak kejadian kutukan Naga laut itu terjadi di bulan apa?”
“Ohhhh……..kejadian itu terjadi di akhir bulan Sya,ban” mendengar ucapan yang terlontar dari bapak, hatiku serasa hancur tak berdaya. Penantian seseorang yang sangat aku cinta kini hilang karna sebuah keinginan kecil yang menjadi bencana. Tak kuasa mata ini membendung air mata yang ingin mengalir keluar. Aku menceritakan semua kejadian ini ke bapak dan Ibuku bahkan kepada dua orang yang telah berhasil membunuh Nogo Rojo itu.
Mereka hanya menyampaikan kepadaku bahwa tak semua yang kita cintai harus selalu kita miliki. Aku hanya bisa bersabar dan menerima apa yang telah terjadi. Setelah itu aku ingin melihat potongan dari Nogo Rojo. Ayahku dan dua orang tersebut mengantarkanku ke tepian pantai melihat potongan tubuh dari Nogo Rojo. Sesampainya disana ternyata potongan tubuh Nogo Rojo tersebut berubah menjadi batu. Dan akhirnya warga menjuluki Potongan Nogo itu dengan julukan Watu Ulo. Tetapi di dalam hati kecilku tetap tersimpan erat nama aslimu Rojo Nafi Prasetyo. Dan kini aku sadar tak semua ramalan berakhir dengan nyata, meskipun aku bisa menghilangkan keganasan dalam dirimu tapi tetaplah pada akhirnya kamu akan menjadi batu.[]
*penulis merupakan alumni MA Unggulan Nuris Jember