Menjaga Kesucian dan Kesederhanaan: Hukum Menggunakan Wadah dari Emas dan Perak dalam Islam

Penulis : Lilis Agoestin, S.S.

Pesantren Nuris — Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering kali berhadapan dengan berbagai macam peralatan rumah tangga—khususnya wadah untuk makan dan minum. Dari bahan plastik, kayu, kaca, keramik, hingga logam mulia seperti emas dan perak. Namun, tahukah kita bahwa Islam memiliki panduan tersendiri mengenai wadah yang boleh dan tidak boleh digunakan, terutama dalam konteks ibadah maupun kehidupan sehari-hari?

Pembahasan ini merupakan bagian dari kajian fikih klasik yang dijelaskan dalam berbagai kitab, salah satunya dalam kitab Taqrib karya Imam Abu Syuja’, yang banyak diajarkan di pesantren-pesantren Ahlussunnah wal Jamaah, termasuk di Pesantren Nurul Islam.

Dasar Pembahasan: Wadah dan Fungsinya dalam Islam

Wadah, atau dalam istilah Arab disebut “ina’”, merupakan benda yang sangat sering kita gunakan: sebagai tempat makan, minum, menyimpan, atau bahkan sekadar wadah estetika. Dalam Islam, setiap aspek kehidupan termasuk hal-hal kecil seperti ini diatur agar tidak menyimpang dari prinsip kesucian, kesederhanaan, dan kemaslahatan.

Maka, penting untuk memahami bahwa tidak semua jenis wadah boleh digunakan, terlebih bila menyangkut bahan pembuatannya.

Hukum Menggunakan Wadah dari Emas dan Perak

Dalam kitab-kitab fikih, dijelaskan bahwa haram hukumnya bagi laki-laki maupun perempuan menggunakan wadah yang terbuat dari emas dan perak untuk makan dan minum. Larangan ini bersifat tegas (haram) berdasarkan hadis Nabi Muhammad saw.:

“Janganlah kalian minum dengan bejana dari emas dan perak, dan jangan pula makan dari piring yang terbuat dari keduanya. Karena sesungguhnya benda-benda itu untuk mereka (orang kafir) di dunia, dan untuk kalian di akhirat.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini menjadi landasan utama dalam melarang penggunaan emas dan perak sebagai wadah konsumsi. Dalam konteks ini, para ulama sepakat bahwa menggunakan wadah dari logam mulia tersebut tidak dibenarkan, apapun alasannya, selama digunakan untuk makan dan minum.

Apakah Boleh Menggunakan untuk Fungsi Selain Makan dan Minum?

Menariknya, dalam pembahasan lanjutan para ulama, termasuk yang disebutkan dalam kajian di Pesantren Nurul Islam, dijelaskan bahwa penggunaan wadah emas atau perak untuk selain makan dan minum diperbolehkan.

Misalnya, jika digunakan sebagai hiasan, tempat menyimpan wewangian, atau bahkan untuk keperluan non-konsumsi lainnya seperti tempat menyimpan benda kecil yang tidak berkaitan langsung dengan makan atau minum, maka hukumnya tidak haram, meskipun tetap makruh menurut sebagian pendapat karena mencerminkan sikap berlebih-lebihan (israf).

Wadah Selain Emas dan Perak: Boleh dan Bahkan Dianjurkan

Islam tidak melarang keindahan, selama masih dalam batas kewajaran. Maka, penggunaan wadah-wadah estetis dan indah yang terbuat dari bahan selain emas dan perak seperti batu mulia yaqut (ruby), kaca ukir, keramik mewah, atau logam biasa yang dilapisi emas secara tipis dan tidak mengandung nilai emas sesungguhnya, diperbolehkan.

Ini menunjukkan bahwa Islam menghargai keindahan, tetapi juga menegaskan agar umatnya tidak terjerumus dalam kemewahan yang berlebihan dan mengarah pada kesombongan.

Mengapa Dilarang Menggunakan Wadah Emas dan Perak?

Terdapat beberapa hikmah di balik larangan ini:

  1. Menjaga kesederhanaan dan menjauhkan umat dari sikap berlebih-lebihan (israf).
  2. Menumbuhkan sikap rendah hati dan tidak menonjolkan kemewahan dalam hal yang tidak perlu.
  3. Membedakan gaya hidup muslim dengan orang-orang yang lebih mengutamakan dunia.
  4. Melindungi jiwa dari kesombongan dan penyakit hati akibat pamer harta.

Penutup: Sederhana Itu Indah dalam Islam

Pembahasan tentang wadah mungkin terlihat sepele, namun sebenarnya menyimpan nilai edukatif dan spiritual yang mendalam. Islam menanamkan nilai-nilai kesucian, kesederhanaan, dan akhlak mulia dalam hal sekecil apapun. Bahkan dalam urusan memilih wadah makan dan minum, kita diajarkan untuk bijak, tidak berlebihan, dan senantiasa menjaga adab.

Semoga kita termasuk golongan yang mampu meneladani kesederhanaan Rasulullah ﷺ dalam seluruh aspek kehidupan. Karena dari kesederhanaan itulah, keluhuran akhlak akan tumbuh dan mengakar dalam diri kita.

Wallahu a’lam bish-shawab.

“Kekayaan bukanlah dengan banyaknya harta benda, tetapi kekayaan sejati adalah kekayaan jiwa.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Related Post