*Penulis: Faradila Mutiar
Penulis adalah salah satu siswa kelas XC SMA Nuris Jember.
“Aku benci Ayah!! Ayah gak mengerti perasaan Kesya! Kesya gak mau dipondokin!! Kesya gak mau!! Apapunn alasannya!!”Aku masih sangat ingat, bagaimana aku membentak Ayah tadi malam. Bagaimana Ayah menangis didalam kamarnya saat aku mengintipnya setelah satu jam kita bertengkar. Aku hanya tidak suka jika harus hidup di dalam pondok. Apapun alasan Ayah, aku masih tidak bisa menerimanya. Setiap malam aku melihat Ayah menangis setiap kami selesai bertengkar. Tapi mungkin malam ini malam yang terakhir aku bertengkar dengan Ayah karena masalah pondok. Karena kini aku sudah berdiri di depan kamar baruku. Menatap setiap jengkal, tidak ada yang terlewat. Wajah-wajah polos berbalut kerudung panjang yang sedang memasukkan baju dan buku-buku ke dalam lemari masing-masing. Hanya tinggal aku yang berdiri mematung di pintu meratapi nasibku harus tinggal bersama 15 perempuan berkerudung yang sedang menatapku aneh, karena hanya aku yang memakai pakaian yang berbeda. Baju kaos pendek berwarna hitam, celana jins, kerudung yang hanya menutupi setengah rambutku yang sudah tidak lagi hitam, tetapi berwarna biru dan ungu.
Aku masuk ke dalam kamar tanpa mengucap salam, karena memang bukan kebiasaanku untuk mengucapkan salam. Aku berjalan kearah lemariku yang berada di tengah-tengah di antara tujuh lemari yang pemiliknya masih saja menatapku aneh seakan aku adalah seorang monster yang siap melahap mereka. Aku duduk di depan lemariku mengeluarkan satu demi satu bajuku yang tertata rapi didalam koper tentunya bukan aku yang menatanya tetapi Ayah. Aku tidak pernah tahu bagaimana caranya menata lemari, karena mulai dulu selalu Ayah yang melakukannya. Jadi aku masukkan saja semuanya ke dalam lemari menjadi sebuah gulungan besar.
“Bukan begitu caranya! Mari saya bantu!” Aku terkejut tiba-tiba di sebelahku sudah ada perempuan yang lemarinya berada di sebelahku, menawarkan diri untuk membantuku dengan wajah polos dan tak lupa senyuman yang menghiasi wajahnya. Tapi aku hanya terdiam menatapnya. Aku takut, aku bahkan belum mengenalnya. Ayah dulu selalu bilang, bahwa jangan terlalu percaya dengan orang baru.
“Tenang jangan takut! Saya bukan orang jahat. Saya hanya ingin membantu kamu. Perkenalkan nama saya Aisyah dari Palembang. Biarakan saya membantu ayuk, kita bisa jadi teman.” Ucapnya dengan senyuman yang selalu terlukis di wajahnya.
Aku hanya terdiam dan dia mulai merapikan lemariku, menata baju- bajuku, dan peralatan kebutuhanku lainnya. Sejak saat itu kami menjadi teman dekat.Aisyah selalu bangun pagi untuk sholat tahajjud , dan dia selalu berusaha untuk membangunkanku dan mengajak untuk sholat bersama. Tapi aku tidak pernah bangun. Bahkan pernah ahh sepertinya bukan pernah lagi, tapi seringkali aku membentaknya. Karena mengganggu tidurku. Tapi Aisyah tidak pernah marah dia hanya akan tersenyum dan kembali melaksanakan sholat malamnya.
Bukan hanya untuk sholat tahajjud. Bahkan untuk sholat subuh pun Aisyah akan membangunkanku lagi, mengingatkan untuk sholat. Sering kali juga aku membentaknya. Namun Aisyah hanya akan tersenyum manis.
Aisyah adalah perempuan berkerudung panjang dengan senyuman manis yang tercetak jelas di wajah cantiknya. Kulitnya putih pucat, hidungnya mancung, menurutku dia termasuk pendek, karena tingginya yanng berada di bawahku. Aisyah perempuan yang sangat sabar, dia selalu membantuku mengerjakan PR baik dari sekolah maupun dari pondok.
Jam istirahat hari ini aku berkeliling mencari Aisyah di seluruh penjuru sekolah. Biasanya dia akan ada di perpustakaan tapi saat aku mencarinya disana, sama sekali tidak ada batang hidungnya. Lelah aku mencari, akhirnya aku putuskan untuk pergi ke taman, mendinginkan diri dengan melihat bunga warna-warni dan rerumputan hijau. Ahh sepertinya ide yang bagus. Aku kembali melangkahkan kakiku menuju taman.
“Aisyah!” pikirku. Aku melihat Aisyah sedang berduaan dengan seorang laki-laki tampan yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Tapi bukan berduaan dalam artian negatif, tidak mungkin Aisyah melakukan hal seperti itu. Mereka hanya berbincang-bincang dengan jarak dua meter. Laki-laki itu sangat tampan dengan sarung hitam polosnya, baju koko yang sangat profosional di tubuh atletisnya dan ditambah kopyah hitam legam yang terlihat pas di wajah putih pucatnya. Ditangannya terdapat tasbih berwarna hitam yang selalu berputar mengikuti gerakan tangannya.
Tidak lama laki- laki itu berpamitan dan pergi dari sana. Aku langsung berlari menghampiri Aisyah untuk menanyakan tentang laki – laki itu. Jujur aku jatuh cinta pandangan pertama.
“ Aisyah!! Aisyah!!” ucapku sambil berlari ditengah taman.
“ Jangan lari Kesya nanti jatuh!”
Aku hanya nyegir kuda saat sudah ada didepannya.
“ Aku gak bakal jatuh!! Kan aku pakai celana gak kayak kamu yang pakai rok lebar kayak taplak meja!! Wleee!!” aku hanya memeletkan lidah padanya dan seperti biasa Aisyah hanya akan tersenyum manis.
“Oh ya Aisyah itu tadi siapa? Yang bicara sama kamu barusan itu lohh? Mas – mas yang barusan!! Kok kayakknya aku gak pernah liat sihh?? Anak kelas mana? Namanya siapa? Kok kamu bisa kenal? Ganteng banget lagi ehh gak ding gak salah bicara aku.”
“Aduh mulut kok gak bisa direm sihh. Main ceplos aja! Pake bilang ganteng segala lagi!! Mending pergi aja dehh!!”
“ Ehh Kesya. Jangan pergi!! Emang gak mau tahu tentang mas- mas ganteng itu yaaa?”
“ Apa sihh Ai?” ucapku dan langsung pergi begitu saja.
Karena aku terlalu kepo tentang mas-mas ganteng itu, sedangkan aku sudah terlanjur malu untuk bertanya pada Aisyah. Jadi aku putuskan untuk mencari tahu sendiri. Dari pencarianku selama satu bulan aku tahu bahwa ternyata dia pengurus di organisasi remaja masjid di pesantren. Karena waktu itu aku melihatnya memimpin debat. Dari situ juga aku tahu bahwa dia bernama Fairuz, berasal dari Palembang sama seperti Aisyah. Ternyata dia kakak kelas dua belas, pantas saja aku tidak pernah melihatnya karena aku jarang berinteraksi dengan kakak kelas.
Sudah satu bulan berlalu setelah aku tahu namanya dan aku hanya bisa melihatnya dari kejahuan. Bahkan aku seringkali mengikutinya memimpin organisasi di masjid seperti pada sore ini. Aku sedang berada di balik tirai putih yang membatasi antara laki-laki dan perempuan. Beruntungnya masjid sedang dalam keadaan sepi sehingga tidak ada yang curiga. Telinga kubuka lebar-lebar. Ada seorang laki-laki yang aku tahu merupakan teman seangkatanku bertanya pada Kak Fairuz.
“Kak saya mau nanya? Kakak suka wanita yang seperti apa?”
“ Saya suka wanita yang apa adanya, yang mau berubah menjadi lebih baik, dan bisa menjaga kemaluannya!!”
“ Apa Kak Fairuz sudah punya calon?”
“ Alhamdulillah sudah!!”
Langsung mencelos rasanya hatiku saat kata demi kata meluncur manis dari bibir ranumnya. Bagaimana aku bisa berharap dia bisa menyukaiku jika pada kenyataannya kriteria wanitanya sangat jauh dariku, apalagi sekarang dia sudah punya calon.
Aku jadi ingat ustadzah pernah bilang bahwa ‘ Jodohmu cerminan dirimu’. Jadi sejak saat itu aku berubah. Memperbaiki diriku dan memantapkan hati untuk menutup aurat. Beruntung sekali minggu itu Ayah menjengukku dengan membawa baju- baju syar’i yang selalu dibawanya untuk berjaga- jaga jika sewaktu- waktu aku mau memakainya.
Dan inilah saatnya aku berubah. Awalnya Ayah bertanya apakah aku yakin dan aku menjawab dengan tegas bahwa aku yakin. Begitu pula Aisyah dia mengajariku menutup aurat dengan benar.
Tapi setelah beberapa minggu aku memakai hijab syar’i. Aku mendengar dengan telingaku sendiri bahwa Kak Fairuz sudan bertunangan dengan perempuan yang seangkatan dengannya. Sungguh sakit hatiku yang kedua kalinya ini tidak mampu aku tahan lagi. Akhirnya karena memang dari awal niatnya pakai hijab hanya untuk mendapatkan Kak Fairuz maka aku lepas hijabku dan kembali menjadi aku yang dulu.
Aisyah hanya tersenyum seraya berkata, “ Mungkin kamu harus lebih yakin lagi, belajar lagi ok!!”
Aku hanya mengangguk. Sudah dua bulan aku galau, karena memikirkan Kak Fairuz. Hingga sewaktu ketika aku membaca sebuah artikel, tentang menutup aurat. Kenapa setiap muslimah wajib menutup auratnya? Salah satu alasannya karena aku mencintai Ayahku. Aku hanya tidak ingin beliau masuk neraka hanya karena aku. Dengan cara inilah aku buktikan bahwa aku mencintai Ayahku.
Ternyata pikiranku salah kalau aku menutup aurat untuk ikhwan di sana. Seharusnya niatku dari awal adalah untuk menaati Penciptaku. Untuk lebih dekat denganNya dan lebih dikenal oleh-Nya. Sejak saat itu aku bertaubat, memohon ampun atas dosa selama ini. Aku ingin menunjukkan pada Ayah bahwa beliau berhasil mendidikku, tapi sudah sekitar tiga bulan Ayah tidak menjengukku. Aku khawatir ada apa dengan Ayah. Perasaanku sudah tidak karuan. Aisyah mencoba menenangkanku dan memberikan masukan-masukan yang sangat berguna bagiku, akhirnya aku bisa tenang kembali, aku meneruskan kembali hafalan kitabku.
Namun satu minggu kemudian aku mendapat surat dari paman di kampung bahwa Ayah telah meninggal dari empat bulan yang lalu karena terlalu capek bekerja. Aku seketika itu juga menangis. Perasaan bersalah atas sikapku pada Ayah menambah rasa sesak di dadaku.
Saat aku pulang Paman memberiku sebuah surat yang di amplopnya terdapat tulisan ‘ Untuk anakku tercinta’. Aku membawanya ke dalam kamar Ayah dan mulai membacanya perlahan.
Maaf telah membuatmu menderita karena keputusan Ayah.
Maaf telah membuatmu membenci Ayah.
Meskipun dalam hati Ayah merasakan sakit karena harus melepaskan putri satu – satunya yang Ayah punya. Tapi Ayah harus menahannya demi masa depanmu di dunia dan di akhirat nanti. Ayah tidak peduli kau mau menyumbang kayu bakar sebanyak apapun untuk Ayah, tapi Ayah tidak mau kau menyumbang kayu bakar untuk dirimu sendiri. Ayah tidak mau nantinya kau disiksa di akhirat, karena disini hidupmu sudah susah. Susah karena Ayah. Ayah tahu kehidupanmu semua adalah salah Ayah. Salah Ayah yang tidak bisa memberikan kasih sayang yang sama seperti Ibu dulu.
Maafkan Ayah yang tidak bisa memenuhi semua kebutuhanmu, sehingga kamu marah kepada Ayah. Mungkin saat kamu membaca surat ini, Ayah sudah tidak lagi bisa menemanimu. Maafkan Ayah meninggalkanmu sendiri. Maafkan Ayah tidak bisa melihatmu sukses. Maafkan Ayah tidak bisa mewarisi apapun, hanya kaleng – kaleng kue kesukaanmu yang telah Ayah simpan di bawah ranjang. Maafkan Ayah dan Ibu yang sudah meninggalkanmu.
Ayahmu Yang Bersalah
(Baca juga: Cerpen Ini Ada Karena Dihukum )
Air mata tidak hentinya mengalir membentuk anak sungai di pipi tembamku. Aku mencoba melihat ke bawah ranjang, terdapat 15 kaleng kue yang dulu setiap bulan Ayah belikan menggunakan uang hasil berkerjanya menjadi kuli pasir. Aku tarik satu kaleng, sungguh berat. Apa isinya? Aku buka tutup kaleng yang sudah mulai berkarat dan sungguh terkejut aku ternyata isi dari kaleng tersebut adalah uang Rp. 500 sampai Rp.5000 yang memenuhi kaleng.
“ Itu yang selama ini Ayah kamu kumpulkan dari sisa – sisa dia bekerja menjadi kuli pasir, kuli batu, dan pekerja bangunan. Apa lagi saat kamu berada di pesantren. Ayahmu selalu membanggakanmu dan dia bekerja lebih keras agar bisa menyekolahkanmu, dan dia bilang uang itu bisa kau buat untukkuliah dan melanjutkan hidupmu. Mungkin akan kurang, tapi itulah pengorbanan terbesar seorang Ayah!!” ucap Paman yang tiba – tiba ada di belakangku.
“Apa penyebab Ayah sakit Paman?”
“Ayahmu dia dehidrasi , kelaparan, dan kecapekan. Dia selalu bekerja hingga melupakan makan. Karena uang makannya dia masukkan ke dalam kaleng itu.”
Sejak saat itu aku berjanji menggunakan uang Ayah untuk meneruskan pondokku dan untuk biaya kuliah. Sesuai dengan keinginannya. Setiap kali aku membuka satu kaleng untuk membayar sekolah aku akan menangis dan mengingat pengorbanan Ayah untukku.
Maafkan aku Ayah yang telah membencimu. Maafkan aku yang sering membentakmu. Maafkan aku yang sering menyusahkanmu. Maafkan aku yang telah menabung kayu bakar untukmu. Ayah adalah yang terhebat. Ayah sudah berhasil mendidikku. Terima kasih Ayah.