Hasil kajian bedah buku “ARGUMEN AMALIAH DI BULAN SYA’BAN DAN RAMADHAN” pada saat Konferensi Wilayah NU di SMP Progresif PP. Bumi shalawat Sidoarjo dengan pemateri KH. Muhyiddin Abdusshomad.
Maha suci Allah yang telah menjadikan bangsa di nusantara ini beragama Islam, yang tumbuh kembangnya dibangun oleh para ulama dan juru dakwah terdahulu, melalui strategi akomodasi terhadap budaya local yang sudah berurat berakar di tengah-tengah masyarakat. Cara yang mereka lakukan adalah, jika suatu tradisi masih bisa dicari benang merahnya dengan syari’ah baik secara utuh atau secara global, maka ditolerir. Sedangkan tradisi yang bertentangan dengansyari’ah itu ditinggalkan. Kearifan seperti inilah yang menjadikan umat Islam di Indonesia sebagai mayoritas dan gidup berhiaskan kedamaian yang ditopang dengan keimanan yang tak tergoyahkan. Walaupun dijajah selama 350 hahun, iman dan Islam mereka tetap terpatri di dada “laksana karang di tengah lautan yang tak goyah oleh deburan ombak yang dahsyat sekalipun”.
Memang, idealnya setiap amaliah yang berbentuk ibadah mahdlah itu harus ada nash (teks) dari al-Qur’an atau al-Hadits, bukan tafsir, ta’wil, atau qiyas. Namun karena keterbatasan nash, sementara kasus dalam ibadah maupun muamalah it uterus berkembang sepanjang zaman, maka akhirnya tidak dapat dihindari untuk menggunakan tafsir, ta’wil, atau qiyas. Kata al-Syahrastani:
وبالجملة: نعلم- قطعا ويقينا- أن الحوادث والوقائع فى العبادات والتصرفات: مما لا يقبل الحصر والعد: ونعلم –قطعا ايضا- أنه لم يرد في كل حادثة نص, ولا يتصور ذلك أيضا: والنصوص اذا كانت متناهية, والوقائع غير متناهية وما لا يتناهي لا يضبطه ما يتناهى … علم قطعا أن الاجتهاد والقياس واجب الاعتبار حتي يكون بصدد كل حادثة اجتهاد
(الشهرستانى, الملل والنحل, جز 1: 164)
Secara umum, kita dapat mengetahi dengan pasti dan yakin, bahwasannya peristiwa-peristiwa dan kasus-kasus dalam bidang ibadah atau muamalah, tidak terhitung dan tidak terbatas. Kita juga tahu secara pasti bahwa tidak semua kasus ada teksnya bahkan ini tak terpikirkan. Ketika teks-teks itu merupakan sesuatu yang terbatas, sementara fenomena social tidak terbatas, maka sesuatu yang tidak terbatas itu tidak bisa tercakup semua oleh yang terbatas. Tentu sudah menjadi keharusan untuk melakukan ijtihad dan qiyas. Sehingga dapat dipastikan ak an ada ijtihad dalam setiap persoalan (dari para ahlinya)
(al-Milal wan Nihal, juz I: hal 164)
Sangat sulit menghadapi kondisi yang terus berubah serta situasi masyarakat yang tidak sepenuhnya sama dengan keadaan para sahabat di masa Nabi, apabila kita mengamalkan agama secara sempit, dengan hanya melakukan bentuk ibadah yang ada teksnya secara jelas dan terperinci dalam data yang tertulis, maka akan terjadi stagnasi dalam kehidupan beragama. Akibatnya, agama akan ditinggalkan dan hanya akan menjadi hiasan kecil di pojok-pojok sempit kehidupan social.
Celah yang dapat dimasuki addalah menggunakan dalil-dalil al-Qur’an dan al-Hadits yang bersifat umum, sedangkan bentuk amaliahnya menyesuaikan dengan kondisi masyarakat. Dengan pendekatana seperti ini, umat Islam dapat “berkreasi” untuk menancapkan ajaran Islam di tengah masyarakat semberi memperhatikan kondisi social setempat. Dengan catatan, bebagai macam tradisi khususnya dalam ibadah dapat dibenarkan selama masih memiliki sandaran hokum dari dalil-dalil agama. Inilah yang kemudian disebut dengan bid’ah hasanah.
Contoh ya g paling sederhana ialah pelaksanan shalat tarawih di Masjidil Haram pada setiap bulan Ramadlan yang dipancarkan ke seluruh dunia melalui chnnel televisi. Bila ditelusuri secara mendetrail, dalam beberapa poin pelaksanaannya itu tidak ada tuntunan langsung dari Rasulullah (al-Hadits). Di antara point-point itu adalah:
- Pelaksanaan shalat tarawih setiap malam sebulan penuh di bulan Ramadlan, padahal Rasulullah hanya melaksanakan dua malam, sebagaimana riwayat al-Bukhari juz I, hal 180 [1077].
- Pelaksanaan shalat trawih di belakang seorang imam, sementara dalam riwayat al-Bukhari juz II, hal 707 [1906] pelaksanaan shalat tarawih ada yang shalat sendiri-sendiri dan ada yang berjama’ah.
- Usai membaca al-Fatihah, Imam tarawih membaca satu juz al-Qur’an dibagi 20 rakaat dan dilantunkan denganirama yang melankolis, dalam satu bulan genap 30 juz. Hal ini tidak pernah diamalkan oleh Rasulullah maupun para shabat RA.
- Membaca doa khatmil Qur’an dalam qunut pada tanggal 27 atau 29 Ramadlan secara tetap dan lebih panjang darpada yang dibaca Nabi, bahkan lebih lama dari pada durasi ruku’ dan qiyam dalam satu rakaat. Masalh ini juga tidak pernah dicontohkan oleh Nabi dan para sahabanya RA.
Berbagai macam amaliah tersebut tidak satupun memiliki dalil yang jelas dari al-Qur’an dan al-Hadits. Apakah kemudian menjadi haram? Jawabannya tentu tidak. Dalam keyakinan kaum ASWAJA, amaliah tersebut tidak bisa disalahkan, karena masih ada rujukan dari dalil-dalil yang bersifat umum. Dalam contoh membaca doa khatmil Qur’an misahnya, pelaksanan dengan menentukan waktu di dalam shalat tarawih pada tanggal tertentu itu tidak ada tuntunannya, namun ada dalil yang bersifat umum yang mensunnahkan untuk membaca doa setiap khtmil Qur’an. Sehingga hal tersebut bukan termasuk bid’ah yang dilarang, karena masih dalam kategori bid’ah hasanah (Manhaj al-Salaf fi Fahmi al-Nushush, hal. 379). Jika sebagian kelompok ada yang tidak mengakui adanya bid’ah hasanah, maka mereka harus berani mengatakan bahwa bentuk pelaksanaan shalat tarawih I Masjid al-Haram, itu haram dan termasuk bid’ah yang sesat dan masuk neraka karena tidak pernah diajarkan secara langsung oleh Nabi.
Maka demikian pula dengan beberapa tradisis yang telah diamalkan secara turun-temurun di tengah masyarakat, yang kemudian menjadi cirri khas dan pembeda antara Islam Nusantara dan Islam lainnya. Berikut ini uraian argunen beberapa tradisi dan ibadah di bulan Sya’ban dan bulan yang diamalkan oleh mayoritas masyarakat Indonesa.
Tradisi Masyarakat di bulan Sya’ban;
- 1. Shalat pada Nishfu Sya’ban (pertengahan bulan Sya’ban)
Salah satu tradisi yang diamalkan oleh masyarakan adalah shalat pada malam nishfu Sya’ban dan dilanjutkan dengan doa bersama. Tradisi ini berkembang sejak generasi salaf, kalangan tabi’in. dalam hal ini al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali berkata:
وقال الشافعي: بلغنا أن الدعاء يستجاب في خمس ليال, ليلة الجمعة والعيدين وأول رجب ونصف شعبان. قال وأستحب كل ما حكيت في هذه الليالي ولا يعرف للامام أحمد كلام في ليلة نصف شعبان ويتخرج في استحباب قيامها عنه روايتان من الروايتين عنه في قيام ليلتي العيد فانه في رواية لم يستحب قيامها جماعة لأنه لم ينقل عن النبي وأصحابه واستحبها في رواية لفعل عبد الرحمن بن الأسةد وهو من التابعين فكذلك قيام ليلة النصف لم يثبت فيها شيء عن اليبي ولا عن أصحابه وثبت فيها عن طائفة من التابعين من أعيان فقهاء أهل الشام.
(ابن رجب الحنبلي, لطائف المعارف, ص: 264)
“al-Syafi’I berkata: “telah sampai kepada kami bahwa doa akan mudah dikabulkan pada lima malam, yaitu malam Jum’at, malam dua hari raya, malam tanggal satu Rajab dan malam nishfu sya’ban.” Al-Syafi’I berkata, “aku menganjurkan semua yang diriwayatkan pada kelima mala mini.”. sementara tidak ditemukan pernyataan dari Imam Ahmad mengenai malam nishfu sya’ban. Tetapi kesunnahan ibadah (shalata dan semacamnya) pada malam itu dapat dianalogikan dengan dia riwayat dari Imam Ahmad mengenai ibadah pada malam hari raya. Dalam satu riwayat, Imam Ahmad tidak menganurkan ibadah (shalat) berjamaah pada malam hari raya karena tidak ada riwayat dari Nabi dan para sahabatnya, tetapi ada riwayat lain dari Imam Ahmad yang mensunahkan shalat berjama’ah pada malam hari raya karena Abdurrahman bin al-Aswad – ulama dari kalangan tabi’in; – telah melakukannya. Demikian pula, shalat nishfu sya’ban tidak ada riwayat dari Nabi dan para sahabat, tetapi ada riwayat dari sekelompok tabi’in dari tokoh-tokoh fuqaha penduduk Syam yang melakukan shalat sunnah secara berjamaah.” (Ibn Rajab, Lathif al-Ma’arif; hal. 264)
- 2. Doa Nishfu Sya’ban
Tradisis yang biasa diamalkan oleh masyarakat pada malam nishfu sya’ban ialah membaca surah yasin tiga kali diiringi dengan doa.
Menurut Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki, sebagian besar redaksi doa tersebut berasal dari sahabat Ibnu Mas’ud sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam kitab al-Mushannaf dan Ibnu Abi al-Dunya di dalam kitab al-Du’a (Madza fi Sya’ban, hal 100-101).
- 3. Ziarah Kubur
Secara umum, budaya menyekar atau ziarah kubur baik di akhir bulan sya’ban ataupun di akhir bulan Ramadlan itu termasuk dari pelaksanaan terhadap anjuran umum untuk ziarah kubur sebagaimana tersebut dalam hadits:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: نهيتكم عن زيارة القبور فزوروها (رواه مسلم , رقم 594)
“Rasulullah bersabda: aku pernah melarang kalian berziarah kubur, maka sekarang berziarahlah”. (HR. Muslim [594]).
Anjuran berziarah kubur dalam hadits ini bersifat umum, tanpa ada pengkhususan subyek, obyek dan waktu. Pada hadits ini Nabi tidak menuebutkan kepada siapa perintah itu dituju, kepada kuburan siapa dianjurkan berziarah, dan kapan waktu ziarah yang dianjurkan. Juga tidak ada larangan dari Nabi untuk menyebutkan istilah ziarah kubur itu dengan bahasa local semisal menyekar atau dengan istilah yang keren wisata ziarah dan lain sebagainya.
Menurut Imam al-Nawawi, hokum ziarah kubur itu sunah bagi laki-laki. (al-Majmu’ li al-Nawawi, juz 5, hal. 281). Dan kata al-Tirmidzi, perempuan juga diperkenankan untuk ziarah kubur. (al-Tirmidzi [976]). Ada pendapat yang lebih ekstrem yaitu pendapat dari Ibnu Hazm sebagai berikut:
قال ابن حزم ان زيارة القبور واجبة ولو مرة واحدة في العمر لورود الامر به (العسقلانى, فتح الباري, ج 3. ص. 188)
Kata Ibnu Hazm wajib ziarah kubur walaupun sekali seumu hidup, karena adanya peerintah tentang hal itu. (Fathu al-Bari juz 3, hal: 188)
Pada kuburan siapa saja kita dianjutkan untuk menciarahinya karena hal itu dapat mengingatkan kita pda kematian. Khususnya makan orang tua atau leluhur, dan keluarga kita. Di dalamnya ada nilai ganda selain untuk mengingatkan kematian, juga untuk mendoakan dan mengenang mereka, sehingga kita tidak menjadi “kacang yang lupa akan kulitnya”.
Nabi telah memberikan contoh berziarah ke makam ibundanya, sebagaimana dalam hadits berikut ini:
عن أبى هريرة قال زار النبي قبر أمه فبكى وأبكي من حولو (رواه مسلم رقم 2304)
“dadri Abi Hurairah, berkata bahwa Rasulullah berziarah ke kuburan ibundanya dan beliau menangis serta membuat orang di sekitarnya menangis” (HR. Muslim.[2304]).
Untuk ziarah kubur juga tidak terbatas. Setiap saat anjuran itu tetap berlaku, siang atau malam hari. Tidak ada waktu haram untuk ziarah kubur. Di sisi lain, menentukan waktu-waktu tertentu yang dianggap sebagai moment yang tepat untuk berziarah kubur juga tidak dilarang. Hal ini penah dicontohkan oleh Nabi ketika berziarah ke makam baqi’ pada malam nishfu sya’ban karena malam itu adalah waktu yang mulia. Al-Hafidz Ibn Rajab al-Hanbali menyatakan:
وفي فضل ليلة نصف شعبان أحاديث أخر متعددة وقد اختلف فيها الأكثرون وصحح ابن حبان بعضها وخرجه في صحيحه ومن أمثلها (حديث عائشة قالت: فقدت النبي صلى الله عليه وسلم فخرجت فاذا هو بالبقيع رافعا رأسه الى السماء فقال: أكنت تخافين أن يخيف الله عليك ورسوله فقلت يارسول الله ظننت انك أتيت بعض نسائك فقال: ان الله تبارك وتعلى ينزل ليلة النصف من شعبان الى السماء الدنيافيغفر لأكثر من عدد شعر غنم كلب) خرجة الامام أحمد والترمذي وابن ماجه. (ابن رجب الحنبلي, لطائف المعارف. ص: 261)
“mengenai kautamaan malam nishfu sya’ban, ada sejumlah hadits yang diperselisihkan oleh para ulama. Mayoritas ulama menilanya dla’if. Sebagian hadits-hadits itu dishahihkan oleh Ibn Hibban dan diriwayatkan dalam shahih-nya. Hadits terbaik di antara hadits-hadits tersebut adalah hadits ‘Aisyah yang berkata, “suatu ketika pada waktu giliranku Nabi tidak berada di sisiku, lalu aku keluar mencarinya, ternyata belau ada di makam Baqi’, sedang menengadah ke langit. Beliau berkata: ‘apakah kamu khawatir Allah dan Rasul-Nya berbuat sewenang-wenang kepadamu?” aku menjawab: ‘wahai Rasulullah, aku mengira engkau mendatangi sebagian isteri-isterimu. Lalu Nabi bersabda, “sesungguhnya anugerah Allah turun pada malam nishfu sya’ban ke langit dunia, dan Allah mengampuni orang-orang yang jumlahnya melebihi jumlah bulu-bulu kambing suku Kalb (banyak sekali),” hadits ini diriwayatkan oleh Imam al-Ahmad, al-Tirmidzi dan Ibn Majah,” (al-Hafidz Ibn Rajab al-Hanbali, Latha’if al-Ma’arif, hal. 261)
- 4. Puasa Sya’ban
Sebagai bulan persiapan untuk menghadapi bulan Ramadlan, pada bulan sya’ban dianjurkan unguk berpuasa. Rasulullah sangat memprhatikan puasa bulan sya’ban, melebihi perhatian beliau pada puasa di bulan yang lain. Di dalam hadits diceritakan :
عن عائشة رضي الله عنها أنها قالت كان رسول الله صلى الله عليه وسلم ما رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم استكمل صيام شهر قط الا رمضان وما رأيته في شهر أكثر منه صياما في شعبان (صحيح مسلم, 2777)
Dari Aisyah, sesungguhnya ia berkata, “aku tidak pernah melihat Rasulullah menyempurnakan puasa satu bulan penuh kecuali pada bulan ramadlan. Sedangkan bulan sya’ban adalah bulan yang paling banyak belau gunakan untuk puasa. (Shahih Muslim, 2777).
عن أبي هريرة عن أسامة بن زيد قال: قلت يارسول الله اني أراك تصوم في شهر ما لا أراك تصوم في شهر ما تصوم فيه. قال أي شهر؟ قبت شعبان. قال: شعبان بين رجب وشهر رمضان يغفل الناس عنه يرفع فيه أعمال العباد فأحب أن لا يرفع عملي الا وأنا صائم. قلت: أراك تصوم يوم الاثنين والخميس فلا تدعهما؟ قال: ان أعمال العباد ترفع فأحب أن لا يرفع عملي الاوانا صائم (رواه البيهقي)
Dari Abi Hurairah, dari Usamah bin Zaid, ia berkata, “saya bertanya, “wahai Rasulullah aku melihatmu berpuasa pada satu bualn yang tidak sama dengan puasamu pada bulan-bulan yang lain. Rasulullah bertanya, “bulan apa yang engkau maksudkan itu?” saya menjawab, “bulan sya’ban”. Rasulullah bersabda, “sya’ban itu bulan di antara rajab dan ramadlan yang banyak dilupakan oleh manusia. Padahal waktu itu semua amal hamba diangkat, dan senang ketika amalku diangkat ketika aku sedang berpuasa. Aku bertanya lagi, “aku juga melihatmu melaksanakan puasa senin kamis, dan engkau juga tidak pernah meniggalkannya”. Nabi menjawab, “pada hari itu amal semua hamba diangkat dan aku senang ketika amalku diangkat ketika aku sedang berpuasa”. (HR. Baihaqi)
Berdasarkan hadits ini para ulama menyatakan kesunahan puasa pada bulan sya’ban. Imam al-Nawawi menjelaskan:
ومن المسنون صوم شعبان (النواوى, المجموع شرح المهذب. ج. 3, ص: 386)
Di antara puasa yang disunahkan adalah puasa di bulan sya’ban. (al-Majmu’, juz III, hal: 386)