Falsafah `Tongkat Musa’
[Pedoman Politik Warga NU]
Oleh: Robith Qoshidi Muhyiddin, Lc*
Akhir-akhir ini kelompok `Islam Politik’ kerap kali angkat suara mengkritisi gaya beragama dan gaya berpolitik NU. Di mata Hizb at-Tahrir dan Ikhwan al-Muslimin, organisasi ulama-santri ini dituding tidak tegas, karena tidak terang-terangan mengibarkan bendera Islam dalam berpolitik, serta tidak menganggap politik bagian integral dari agama. Sehingga keislaman NU pun dianggap kurang sempurna.
(Baca Juga: Aswaja Sebagai Kritik Sosial)
Benarkah keislaman seseorang tidak sempurna hanya karena tidak berpolitik? Atau politik tidak sah jika tidak mengatasnamakan Islam? Sepertinya kelompok Islam politik ini adalah segerombolan orang yang baru keluar dari pertapaan di goa atas gunung selama berabad-abad. Sehingga mereka tidak tahu sejarah, bahwa politiklah yang membuat Islam terpecah belah. Mereka juga tidak tahu fakta bahwa politiklah yang membuat umat Islam terjebak dalam fanatisme buta, sehingga persaudaraan dikorbankan, bahkan tak peduli darah mengalir.
Berapa banyak kerajaan Islam klasik yang saling memusuhi karena alasan pribadi tapi dibungkus dengan bahasa agama. Misalnya, permusuhan dinasti Umawiyah dan Abbasiyah di daerah Arab-Persia. Kerajaan Abbasiyah menuduh Kerajaan Umawiyah tidak menjunjung ajaran agama. Sebaliknya, kerajaan Umawiyah menganggap Abbasiyah mengkudeta pemerintahan yang sah. Sungguh sangat ironis, agama dijadikan legitimasi untuk kepentingan pribadi dan golongan.
Lebih dari itu, ketika agama dan politik disatukan, sulit dibedakan antara kepentingan politik dan agama. Kelompok `Islam Politik’ mungkin tidak sadar bahwa kebijakan politik tidak selamanya bersumber dari kepentingan agama, justeru tak jarang yang berdasarkan kepentingan duniawi. Seperti kebijakan untuk memilih anggota DPR, bupati, gubernur, presiden, dan lain sebagainya. Apakah dapat dibenarkan bahwa kebijakan memilih gubenur A merupakan bagian dari kebijakan Islam. Sebaliknya, memilih gubenur B bukan bagian dari Islam. Lalu atas nama Islam atau partai Islam masyarakat digiring untuk memilih A dan tidak memilih B. Alangkah tidak etisnya orang yang “menjual” Islam untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Lebih baik tidak usah mengaku paling Islam, tetapi tetap sejalan dengan ajaran Islam dan maslahat umat.
Apalagi karakteristik politik adalah tidak konsisten dan senatiasa berubah-ubah. Kadang memilih A, di lain waktu memilih B. Awalnya memilih Amin Rais atas nama Islam, namun beberapa waktu kemudian memilih SBY, juga atas nama Islam. Lalu benarkah jika itu diklaim sebagai pilihan Islam? Orang yang berpikiran jernih, tentu mengatakan tidak. Karakteristik politik yang demikian itu, seharusnya membuat kita sadar bahwa politik cenderung selalu berubah. Bukan plin-plan, tapi sebagai bentuk fleksibelitas seraya melihat dan menimbang mana yang lebih maslahat, serta mana yang paling sedikit mudlaratnya (akhaffu adl-dlararain). Atas dasar itu, sikap politik NU bersifat fleksibel dan peka realita.
Karakter NU atau Ahl as-Sunah wa al-Jama’ah yang fleksibel, berpijak kepada pengalaman demi pengalaman. Karena itu, Ahl as-Sunah wa al-Jama’ah dari dulu tahu sisi negatif politik dan sisi buram hubungan agama dan politik. Sehingga
Ahl as-Sunah wa al-Jama’ah lebih waspada dan tak gampang tertipu oleh kelompok yang mengatasnamakan Islam. Sudah banyak fakta yang membuktikan bahwa kelompok yang sebelum berkuasa mengaku memperjuangkan Islam, tapi ketika berada di kursi kekuasaan, hanya memperjuangkan kepentingan pribadi dan kelompoknya. Mereka juga melupakan yel-yel yang dulu pernah diucapkan waktu masih menjadi kelompok pinggiran.
Kalau kita membuka lembaran sejarah, awalnya Abbasiyah merupakan gerakan keagamaan yang mencoba menggulingkan Umawiyah yang dinilai bertangan besi. Tapi saat berkuasa, Abbasiyah lupa diri. Bahkan melakukan teror terhadap ulama, seperti Imam asy-Syafi’i, Abu Hanifah, dan Ibn Hanbal. Begitu juga dinasti Muwahhidin di Andalusia. Awalnya adalah kelompok keagamaan yang dipimpin Mahdi bin Toumert dengan mengusung yel-yel amar ma’ruf nahy munkar untuk menggulingkan dinasti Murabithin. Tapi ketika berada di tampuk kekuasaan, Muwahhidin lupa daratan. Perjuangkan Islam diabaikan. Sisi negatif politik serta citra kelam pelaku politik mengantarkan Ahl as-Sunah wa al-Jama’ah untuk bersikap `independen’ (mandiri). Tidak terikat oleh kelompok politik manapun. Bukan berarti Islam tidak perlu politik. Tapi berpolitik itu tak harus fanatik. Apalagi mempolitisir agama dengan cara mengaku paling Islam.
`Kemandirian relatif” itu akan mengantarkan pada kemandirian NU di dalam menentukan kebenaran dan keadilan, tanpa tergantung oleh kekuatan politik dan kebijakan partai. Sehingga kebenaran bisa ditemukan dan didiskusikan di luar partai. Oleh karena itu, dalam memutuskan persoalan keagamaan, NU mempunyai ruang khusus (bahs al-masail), yang tidak terikat oleh kepentingan partai atau perorangan. Berbeda dengan kelompok Islam politik. Mereka tak bisa mandiri dalam menentukan sikap. Sebab jika pengurus pusat mengatakan A, maka anggota harus mengamini, tanpa kritik. Hal seperti ini jelas menggilas ruang kebebasan umat Islam dalam berpendapat dan mengembangkan kreatifitasnya.
Berbeda dengan Ahl as-Sunah wa al-Jama’ah yang independen dari kekuatan politik. Dari sini kemudian kita bisa memahami kemunculan ushul fiqh yang dipelopori oleh Imam asy-Syafi’i -panutan masyarakat NU- merupakan upaya untuk memandirikan kebijakan agama dari kebijakan politik. Sehingga kebenaran tidak lagi diatur oleh politik, tetapi langsung dari sumber yang bersih dan jernih: dari al-Qur’an, al-Hadits, Ijma’, dan al-Qiyas. Kemandirian ini juga berguna untuk mengkritisi secara objektif perilaku pemerintahan dalam menjalankan tugasnya, dan mampu memberikan masukan objektif demi terbentuknya negara yang ber-akhlaq al-karimah.
Dari situlah kita sadar akan sisi positif NU yang relatif menjaga jarak antara agama dan politik. Sehingga NU bisa lebih realistis dan kritis di dalam berpolitik. Hal ini bukan berarti NU tidak ingin menghubungkan agama dan politik, atau mengaku paling Islam dalam berpolitik. Sebab kenyataannya, tidak semua kelompok politik yang mengaku paling Islam, itu memperjuangkan Islam. Tak jarang ada udang di balik batu. Juga, tidak semua yang mengaku kembali pada al-Qur’an dan al-Hadits adalah kelompok yang paling mengamalkan al-Qur’an dan al-Hadits. Malah banyak yang mengatakan itu karena tidak tahu al-Qur’an dan al-Hadits.
Maka benarlah penegasan sayyidina Ali karamallahu wajhahu dalam kitab Nahj al-Balaghah bahwa Mushaf al-Qur’an adalah tulisan yang dibungkus dua cover. Sebab sesungguhnya al-Qur’an tidak berbicara, tetapi penafsirlah yang menjelaskan makna al-Qur’an. Jadi yang perlu diperhatikan secara ekstra bukanlah bentuk mushafnya, tetapi penafsirnya. Dari itu keadilan dan kebenaran bukanlah terletak pada undang-undang yang tertulis, melainkan pada cara menafsirkan dan bentuk penerapannya dalam dunia nyata. Begitulah logika kaum realis. Sebaik apapun undang-undang yang tertulis, kalau tidak diterapkan dengan baik, akhirnya menjadi kosong tak bermakna. Seperti Arab Saudi yang mengaku menerapkan Islam, tapi hanya pada wong cilik saja. Sedangkan majikan yang memperkosa, menganiaya TKW, selamat dari jeratan hukum. Itu akibat dari konsentrasi pada simbol dan tulisan, bukan pada aplikasi nilai etika, syariat, dan akidah Islam di lapangan. Sebaliknya, walaupun terlihat undang-undangnya tak tertulis, tetapi penerapannya bagus, maka dengan sendirinya akan lebih baik.
Faham ini merupakan falsafah politik kaum realis, termasuk NU. Ini bukan sikap oportunis seperti tuduhan beberapa pemikir, misalnya Daniel Lev dan Ernst Utrecht (Greg Fealy: 2003), tetapi sebuah kontrol pada pelaku dan penerapan di lapangan. Faham realis senantiasa menilai keberhasilan dari realitas di lapangan. Jadi, keadilan tidak terletak pada teks undang-undang tetapi ada pada pelaksanaannya. Hal ini sesuai dengan pendapat seorang filosof Barat, Jacques Derrida. Menurutnya, keadilan adalah sebuah ruang yang terletak di antara yang tertulis dan tidak tertulis. Ruang itu adalah penerapan adil di dunia nyata, bukan sekedar undang-undang keadilan yang hanya tertulis di tumpukan kertas.
Oleh karenanya Derrida mengatakan bahwa keadilan adalah proses “menunda” (differance) (Derrida:1996). Dalam arti sebuah proses kritis yang terus-menerus dengan mempertimbangkan maslahat yang nyata dalam realita. Sebab realita itu bukanlah tulisan. Tapi realita berada dalam relasi antara tulisan dan penafsirnya. Sehingga kontrol terhadap penafsir dan pelaksanaannya merupakan sesuatu yang harus dilakukan terus-menerus.
Dengan sikap menunda (differance) itu, NU melakukan aktifitas sosial-politiknya. Sekali lagi ini tidak menandakan NU plin-plan, melainkan bentuk konsistensi NU menegakkan keadilan dan maslahat umat dengan cara yang substansial. Maka dalam perjalanannya NU sempat menjadi partai politik yang menyambungkan lidah rakyat (1952). Di saat yang lain NU mundur dari organisasi politik, dan memilih menjadi organisasi kultural (1984). Sebab, NU menganggap politik bukanlah agama, sehingga tak perlu fanatik. Tapi maslahat umat dan memilih yang lebih sedikit mudlaratnya (akhaffu adl-dlararain) merupakan hal yang harus kita pegang secara konsisten. Inilah falsafah politik NU.
Tepat kiranya jika Syaikhona KH. Kholil Bangkalan menyimbolkan NU sebagai tongkat Musa. Tongkat dan surat Thaha ayat 17-23 yang diantarkan KHR. As’ad Syamsul Arifin kepada Hadratussyekh KH. Hasyim Asy’ary merupakan falsafah
sosial-politik NU. Ayat itu berbunyi yang artinya: “Allah swt berfirman: Apa yang ada di tangan kananmu itu, wahai Musa? Jawab Musa: Ini adalah tongkatku, untuk berpegangan, dan untuk menghalau kambingku dan bagiku ada keperluan lain. Allah swt berfirman: Lemparkanlah, wahai Musa! Maka dilemparkanlah tongkat itu, tiba-tiba menjadi ular yang merayap dengan cepat. Allah swt berfirman: peganglah ia, jangan takut! Aku akan mengembalikannya pada keadaannya yang semula…”
Kalau kita mencoba menafsirkan ayat itu sebagai simbol dan falsafah sosial-politik NU, maka NU ibaratnya tongkat Musa. Dalam keadaan damai, NU menjadi tongkat pegangan hidup (atawakkau alaiha), karena senantiasa menjadi
referensi umat dalam segala aspek kehidupan. Tetapi dalam situasi genting, maka NU dapat menjelma ular yang menghancurkan segala musuhnya. Misalnya, keputusan resolusi jihad (1945), penumpasan kaum atheis (1965), dan perjuangan membela rakyat kecil. Tapi jika situasi damai kembali, NU akan kembali lagi menjadi tongkat sebagai pegangan hidup, serta pembimbing masyarakat.
(Baca Juga: Masa Depan Pesantren Salaf)
*Alumnus al-Azhar Mesir, Wakil Ketua LP Ma’arif PCNU Jember