Ahlussunnah Wal-Jama’ah Sebagai Kritik Sosial
Oleh: Gus Robith Qoshidi, Lc
Memahami Ahlussunnah Wal-Jama’ah di jaman modern tidak cukup dengan membaca kitab untuk pemula, seperti kitab Aqidatul Awam. Kitab ini hanya berfungsi menjelaskan dasar-dasar keimanan Ahlusunnah Wal Jama’ah. Mengenal sifat Allah swt, nama-nama Nabi¸ dan Malaikat. Sebagaimana arti judul kitab tersebut: Akidah Untuk Orang Awam. Dewasa ini, kita harus membaca kitab-kitab Aswaja lebih banyak lagi, lebih luas lagi. Bahkan sudah waktunya kita membaca kitab-kitab Aswaja tersebut diiringi dengan pemahaman tentang latar belakang sosial munculnya kitab-kitab tersebut, serta perannya dalam dinamika sosial.
(Baca Juga: Falsafah ‘Tongkat Musa’ [Pedoman Politik Warga NU])
Hal itu juga berlaku saat kita mempelajari tokoh-tokoh Ahlussunnah Wal Jama’ah, seperti Imam Asy-Syafi’i¸Imam Al-Asy’ary, Imam Al-Ghozaly. Kita harus memahami peran para tokoh Aswaja tersebut dalam mengembangkan peradaban, menyebarkan paham moderasi, dan membentuk masyarakat rasional yang berakhlaq. Pada gilirannya, kita juga bisa berperan seperti mereka dalam konteks sosial kekinian.
(Baca Juga: Masa Depan Pesantren Salaf)
Kita tidak boleh menjadikan kitab-kitab Aswaja sebagai diktat yang mati. Menjauhkannya dari kehidupan riil masyarakat. Sebab hal itu akan menjadikan kita ikut andil dalam pembentukan masyarakat yang tidak peka sosial. Jika dibiarkan, masyarakat kita akan menjadi masyarakat bisu (silent society) yang tak bisa menyuarakan ketidakadilan sosial, melawan diktatorisme pemerintah, dan eksploitasi kaum kapitalis.
Menjelaskan konteks sosial yang menjadi latar belakang munculnya tokoh dan kitab aswaja akan mendekatkan masyarakat pada realitas sosial. Inilah peran kita dalam proses constientization (penyadaran) masyarakat. Mereka harus tahu problematika sosial, adanya eksploitation de l’homme par l’homme (kesewenang-wenang-an manusia terhadap manusia yang lain), masyarakat harus tahu segala bentuk penindasan terselubung.
Sebenarnya konteks sosial gerakan Ahlussunnah Wal Jama’ah bisa kita pelajari dari definisinya yang sudah maklum. Aswaja adalah golongan yang dalam aqidah mengikuti Imam Al-Asyáry dan Imam Al-Maturidy, dalam fiqh mengikuti salah satu dari madzhab empat; Imam Abu Hanifah, Imam Malik¸ Imam Asy-Syafi’iy, Imam Ahmad bin Hanbal, dalam tasawuf mengikuti Imam Junaid Al-Baghdady dan Imam Al-Ghozaly. Pertanyaan pun bermunculan? Siapa gerangan para tokoh tersebut? Apa peran sosial mereka? Visi dan nilai apa yang menjadi landasan perjuangan mereka?
Definisi aswaja di atas sebenarnya definisi sosio-historis. Sejarah mencatat bahwa para tokoh tersebut memiliki kesamaan karakter yaitu 3 T 1 I; moderat yang berprinsip (Tawassuth dan I’tidal), seimbang (Tawazun) dalam sisi duniawi dan ukhrowy, dan toleran (Tasamuh). Aswaja bukanlah kelompok “fatalis (jabariah)” yang tak memberi peluang bagi manusia untuk memperbaiki diri dan lingkungan sosial. Aswaja bukan kelompok Atheis para penganut kebebasan yang ke-bablasan. Aswaja bukanlah pendukung kebebasan tak bermoral. Aswaja ialah golongan yang mengembangkan rasionalitas dan religiusitas secara seimbang serta berjuang untuk mewujudkan maslahat umat.
Penulis ingin membatasi kajiannya dalam tiga dimensi aswaja saja; Aqidah¸Fiqh¸Tasawuf serta peran sosial apa yang dimainkan dalam tiga dimensi ini. Sebenarnya tiga dimensi ini adalah dimensi pokok keislaman yang disebutkan dalam salah satu hadits Rosulullah Saw yang terkenal tentang Iman, Islam, dan Ihsan. Aqidah adalah manifestasi iman, Fiqh manifestasi Islam¸Tasawuf manifestasi Ihsan dan akhlaq.
Kajian ini akan membuka mata kita bahwa dalam sejarahnya kitab dan tokoh dalam tiga ranah di atas tidak statis seperti dalam pemahaman dogmatiknya. Ada dinamika, ada dialektika, ada antitesa, ada gerakan untuk membela rakyat, menegakkan keadilan, dan perjuangan mewujudkan maslahat umat.
Tasawuf Sebagai Kritik Terhadap Pemerintah
Sejarawan Islam ternama, Ibnu Kholdun (808 H) sangat tegas memaparkan bahwa kaum sufi memakai baju shuf (baju lusuh berbenang kasar) bukanlah sekedar mode. Bapak sosiologi Islam ini menyadari bahwa tindakan mereka merupakan kritik terhadap hedonisme yang mulai merebak paska berakhirnya pemerintahan Al-Khulafa’ Ar-Rosyidun. Ulama tasawuf mengajak masyarakat untuk hidup sederhana, tidak bermewah-mewahan, serta menolak kehidupan borjuis yang dijalani elite penguasa saat itu.
Hasan Al-Bashry (110 H) tokoh utama dalam tasawuf terang-terangan menasehati penguasa dinasti Umayyah kala itu untuk menghindari hidup foya-foya seraya berkata: “Adapun Nabi Muhammad Saw pernah mengikatkan batu di perut karena lapar”. Kalimat ini mengisyaratkan kritik terhadap budaya elite penguasa Dinasti Umayyah yang sudah melenceng dari budaya Nabi saw dan para Sahabat. Ulama yang pernah bertemu Sahabat Nabi saw (Tabi’in) ini hendak mengajak penguasa kembali pada tradisi Al-Khulafa’ Ar-Rosyidun. Sebuah pemerintahan yang memiliki ciri kesederhanaan, tidak ada sekat antara elite dan rakyat, mendahulukan kepentingan umat, tidak memperkaya diri sendiri. Banyak surat berisi nasehat dan kritik Hasan Al-Bashry pada penguasa yang terekam dalam buku Hilyah Al-Auliya Wa Thabaqat Al-Ashfiya’ karya Al-Ashbihany. Lalu apa yang bisa kita ambil dari Hasan al-Bashry?
Menyuarakan nilai kesederhanaan dan laku prihatin masih relevan pada masa sekarang. Kita melihat hedonisme telah menjangkiti pemerintah, baik ekskutif ataupun DPR. Para elite sibuk untuk memperjuangkan fasilitas bagi diri mereka, seperti mobil mewah, tunjangan. Padahal di saat bersamaan masih banyak rakyat di bawah garis kemiskinan, hutang luar negeri Indonesia masih trilyunan. Kita harus berani seperti Bapak Tasawuf Islam itu untuk mengajak elite penguasa meninggalkan kebiasaan memboroskan uang rakyat saat rakyat kelaparan. Prinsip tasawuf yang seperti ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad Saw: Tidak termasuk golongan orang mukmin seseorang yang kenyang sedangkan tetangganya kelaparan. Jadi, keimanan berkaitan erat dengan kepedulian pada kemiskinan umat dan pembelaan terhadap rakyat kecil.
Kritikan Hasan Al-Bashry tidak berhenti pada masalah hedonisme pemerintah. Ulama yang satu ini kembali menyuarakan keadilan di saat penguasa Umayyah membunuh rakyatnya sendiri secara semena-mena dan memungut pajak yang mencekik wong cilik dengan dalih ‘ini adalah takdir Tuhan’. Rakyat pun mengadukan fenomena tersebut pada Hasan Al-Bashry, di antaranya Ma’bad al-Juhni dan Atha’ bin Yasar. Mereka berdua berkata: Wahai Abu Said (ini nama panggilan Hasan al-Bashry), para penguasa (Bani Umayah), menumpahkan darah umat Islam dan mengambil harta mereka, seraya berkata sesungguhnya apa yang kami lakukan telah ditakdirkan oleh Tuhan. Hasan Al-Bashry menjawab: telah berdusta musuh-musuh Allah itu (Lihat: Thoz Kopruzet: Mihtah As-Sa’adah).
Ulama yang satu ini berani mengkategorikan penguasa yang menyengsarakan rakyat sebagai pendusta dan musuh Allah swt. Inilah upaya ‘penyadaran’ masyarakat tentang pentingnya melawan ketidakadilan, baik secara halus ataupun tegas. Apa yang dilakukan beliau adalah sebuah pembelaan yang nyata terhadap rakyat kecil, serta sikap anti penindasan. Beliau tidak rela nilai-nilai keislaman seperti iman pada takdir Tuhan dipahami secara keliru. Percaya pada takdir Allah bukanlah alasan penguasa untuk mendzolimi rakyatnya.
Keberanian Hasan Al-Bahsry mengkritik penguasa menginspirasi ulama setelahnya untuk melawan kedzoliman. Baik di negara Timur Tengah dan Indonesia. Di Indonesia beberapa pemberontakan terhadap kedzoliman penjajah Belanda dan Jepang dilakukan oleh ulama dan penganut tarekat. Salah satu yang terkenal di daerah eks-kerisidenan Besuki adalah KH Machfudz Shiddiq (Jember) dan KH As’ad Syamsul Arifin (Situbondo) yang memimpin pejuang kemerdekaan melawan penjajah Jepang. Ada ulama yang memimpin langsung perjuangan atau hanya mengajarkan ilmu bela diri dan kekebalan pada para pejuang Indonesia. Beberapa buku menuliskan peran pesantren, kyai, tarekat yang menyulitkan kaum penjajah, seperti buku karya Sartono Kartodirdjo: The Peasant’s Revolt of Banten in 1888.
Jika kita mengaitkan nilai tasawuf dengan realita sosial, maka kita ikut andil dalam menggerakkan tasawuf untuk kepentingan sosial. Perilaku bobrok pemerintah tidak boleh dibiarkan. Di sini kita melihat ajaran taubat memiliki signifikansi sosial. Anjuran bertaubat sebenarnya lebih tepat jika diarahkan pada pemerintah. Bahwa Kedzoliman yang dilakukan pemerintah kepada rakyat harus segera dihentikan. Elite penguasa harus segera bertaubat. Itulah yang dilakukan oleh Hasan Al-Bashry saat bertemu dengan Al-Hajjaj Bin Yusuf, salah satu penguasa paling sadis dan paling ditakuti dalam dinasti Umayyah.
Hasan Al-Bashry melempar pertanyaan yang menusuk pada algojo bertangan besi itu. Beliau berkata: berapa banyak leluhurmu sampai Nabi Adam? Hajjaj menjawab: banyak. Beliau berkata: dimana mereka? Hajjaj menjawab: mati. Hajjaj pun sadar dan tertunduk. Bahwa semua manusia termasuk penguasa pada akhirnya akan mati. Sudah selayaknya penguasa bertobat dari kedzolimannya, dan ketidakberpihakannya kepada rakyat. Jangan hanya menganjurkan ‘taubat rakyat’, lebih penting dari itu ‘taubat pemerintah’, ‘taubat para elite’, ‘taubat para penguasa’.
Kritik ulama tasawuf tidak hanya kepada pemerintah, bahkan mereka melakukan autokritik (koreksi diri) untuk para ulama. Imam Al-Ghozaly (505 H) mengkategorikan ulama yang menjilat pada pemerintah sebagai ‘ulama dunia’ dan ‘ulama su’ (jelek)’. Ulama pembela nilai kebenaran dan maslahat umat disebut sebagai ulama akherat. Pembagian seperti ini adalah sebuah koreksi diri untuk ulama agar memperhatikan rakyat dan tidak mendekati penguasa untuk kepentingan pribadi. Ini jauh lebih berguna secara sosial daripada pembagian ulama ala Wahabi yaitu ulama pendukung tradisi dan ulama anti tradisi. Ulama pendukung tradisi adalah aliran sesat. Ulama anti tradisi masuk surga. Tidak ada nilai sosial dalam pembagian seperti ini, kecuali egoisme dan merasa paling benar.
Istilah ulama akherat dan ulama rakyat lebih memiliki signifikansi sosial. Bahwa sebagai panutan masyarakat hendaknya para ulama terus berjalan di atas nilai-nilai yang diajarkan Allah dan Rosulnya, tidak menjual diri pada pemerintah demi kemurnian visi dakwahnya, selalu ada saat umat membutuhkan.
Fiqh Sebagai Kritik Terhadap Diskriminasi
Menyuarakan keadilan sebenarnya bukan monopoli ilmu tasawuf. Fiqh juga memperjuangkan nilai tersebut. Fiqh mengajarkan bahwa dalam memutuskan sebuah perkara tidak boleh memandang apakah tersangka adalah rakyat atau penguasa. Baik wong cilik ataupun penguasa sama saja di mata hukum. Semua warga berhak memperoleh keadilan. Ini tersirat dalam salah satu sejarah kasus peradilan Islam yang terkenal; yaitu sengketa Sang Kholifah Sayyidina Ali ra dan seorang rakyat beragama Yahudi.
Salah satu Al-Khulafa’ Ar-Rosyidun ini adalah penguasa yang adil. Meskipun beliau adalah presiden tapi saat berselisih dalam sebuah masalah, ia memposisikan sejajar dengan rakyat. Suatu ketika dia dan seorang Yahudi duduk di hadapan hakim Syuraikh meminta keadilan atas baju besi-nya yang dicuri si Yahudi. Hakim meminta saksi. Sayyidina Ali ra mendatangkan saksi yaitu putranya, Hasan dan Husein. Dalam fiqh, kesaksian seseorang yang bertalian darah tidak memiliki kekuatan dalam hukum acara pidana. Palu hakim memutuskan bahwa baju besi milik si Yahudi. Kholifah pun menerima. Tapi, belakangan si Yahudi mengakui bahwasanya baju besi itu memang milik sang kholifah. Ia pun masuk Islam karena sikap mulia sang kholifah yang menjunjung tinggi persamaan derajat manusia dan teguhnya ajaran penegakan keadilan dalam hukum Islam.
Kisah ini memiliki hikmah yang sangat bernilai. Pertama, dalam hukum fiqh tidak ada perbedaan antara muslim dan non muslim. Kedua, tidak ada perbedaan antara rakyat dan penguasa. Pemerintah dan wong cilik sama saja di hadapan Allah. Dalam hukum Islam, masyarakat tidak dibedakan karena perbedaan identitas ideologis, tapi dianggap sama atas nama citizen (rakyat) dan manusia. Fenomena ini adalah gambaran kuat bahwa Nabi dan para sahabat menciptakan masyarakat egaliter; yang menjunjung persamaan hak dan kewajiban tanpa melihat latar belakang ideologi, jabatan dan keturunan. Sebuah masyarakat yang tak mengenal istilah diskriminasi.
Ajaran anti diskriminasi masih relevan untuk diteriakkan zaman sekarang. Sebab hukum di Indonesia bisa dibeli. Rakyat kecil diperlakukan secara diskriminatif. Koruptor uang negara yang bernilai milyaran banyak yang dibebaskan. Sedangkan Nenek Minah dari Banyumas mengambil buah kakao seharga kurang dari Rp 10.000 dijebloskan dalam penjara. Sungguh ironis. Ini sangat tidak sesuai dengan ajaran fiqh Islam. Padahal Sayyidina Umar ra pernah membebaskan seorang miskin yang mencuri harta majikannya karena kelaparan, bahkan menghukum si kaya untuk memberi sejumlah uang pada si miskin.
Kedzoliman terhadap rakyat bukan hanya merugikan rakyat secara pribadi. Ibnu Khaldun dalam kitab al-muqaddimah mengatakan bahwa, ‘kedzoliman adalah penyebab kehancuran sebuah peradaban’. Saat pemerintah berlaku tidak adil dan dzolim maka akan timbul rasa pesimisme dan melemahnya daya kreatif masyarakat. Gerak ekonomi akan lesu. Pasar menjadi malas bergerak karena dibayang-bayangi ketakutan terhadap diktatorisme penguasa. Inilah salah satu rahasia mengapa ada kaedah fiqh yang berbunyi, “kebijakan pemerintah haruslah mewujudkan maslahat umat”. Sebab, kaedah fiqh pro maslahat umat ini adalah pintu masuk majunya peradaban bangsa.
Namun bukan berarti pemerintah memutuskan sendiri apa yang disebut maslahat umat. Islam mengajarkan prinsip ‘musyawarah’ dalam memutuskan kebijakan publik. Pentingnya konsep musyawarah ini sampai Allah swt menjadikan nama salah satu surat al-Qur’an: Asy-Syuro (Musyawarah). Allah swt berfirman: wa amruhum syuro bainahum (QS: Asy-Syuro:38). Yang artinya: “urusan mereka diputuskan dengan musyawarah antara mereka”. Musyawarah di sini bukanlah musyawarah yang menguntungkan segelintir atau sekelompok orang saja. Bukanlah musyawarah yang mengandung diskriminasi. Namun musyawarah yang dimaksud adalah musyawarah yang berlandaskan maslahat umat.
Dewasa ini musyawarah dan demokrasi telah mengalami penyempitan makna. Pada tahun 2014, DPR RI pernah ngotot untuk mengesahkan UU Pilkada yang salah satu isinya mengatakan pemilihan kepala daerah tidak dipilih rakyat lagi. Tapi hanya dipilih DPR atau DPRD yang sering meninggalkan musyawarah dan selalu mendahulukan voting suara terbanyak. Tidak hanya itu, praktek money politik masih merajalela di gedung dewan terhormat. Fenomena ini adalah upaya diskriminasi terhadap kepentingan umum dan suara rakyat. Padalah ayat al-Qur’an menjelaskan ‘musyawarah di antara mereka’. Yang dimaksud ‘di antara mereka’ di sini tidak membedakan suara rakyat dan suara elite. Tak ada diskriminasi dalam musyawarah yang diajarkan Al-Qur’an.
Upaya diskriminasi terhadap suara rakyat sungguh menggelisahkan para intelektual. Bukan hanya di Indonesia, salah satu filsuf ternama dari Jerman, Jurgen Habermas juga pernah mengkritisi hal ini. Penulis ‘The Theory of Communicative Action’ ini menolak penyempitan makna demokrasi menjadi persetujuan segelintir orang di gedung parlemen. Baginya, sebuah kebijakan harus diuji lebih dahulu melalui konsultasi publik. Sehingga rakyat umum juga bisa ikut berpartisipasi dalam ‘diskursus publik’. Kebijakan pemerintah harus menimbang opini masyarakat dan kepentingan umum.
Publik memiliki peran penting dalam memutuskan sebuah kebijakan. Hal itu tersirat dalam konsep Ijma’ (kesepakatan bersama) yang menjadi pijakan menentukan hukum fiqh. Tapi konsep yang dikenalkan Imam asy-Syafi’i (204 H) ini memiliki makna yang lebih luas dari sekedar kesepakatan segelintir politikus di parlemen. Dalam kitab ar-Risalah, ulama panutan kaum Nahdliyyin ini menggunakan istilah jama’ah al-muslimin (seluruh umat Islam). Jadi, pengambilan kebijakan publik haruslah melibatkan umat.
Namun umat di sini bukanlah jumlah individu. Umat yang dimaksud adalah komitmen bersama yang dilandasi nilai-nilai Al-Qur’an dan As-Sunnah. Al-Juwaini (478 H), salah satu tokoh fiqh madzhab Syafi’i terkemuka memaparkan bahwa yang mengerti komitmen dan nilai-nilai ajaran Islam adalah para ulama (intelektual). Jadi memutuskan kebijakan publik dan menentukan sebuah hukum haruslah melibatkan para ulama. Hal ini selaras dengan pendapat Antonio Gramsci. Pemikir asal Italia ini berpendapat, dalam demokrasi, kaum intelektual lebih mampu merumuskan masalah dan berjuang untuk kepentingan publik. Orang awam gampang dibodohi oleh penguasa.
Jadi ulama (intelektual) menurut madzhab Asy-Syafi’i bukanlah tokoh yang tidak mau tahu problematika umat. Ulama harus mengambil peran dalam memperjuangkan kepentingan umat dan membina mereka sesuai dengan ajaran Islam. Selama umat dan ulama berpegang teguh pada ajaran Islam, pasti kepentingan masyarakat tak akan diabaikan. Sebab menurut Imam Izzuddin bin Abdissalam (606 H): syariat Islam itu mengandung kemaslahatan dan menolak kemudlorotan bagi manusia di dunia dan akherat. Tokoh yang dikenal sebagai ‘Sulthon Ulama’ ini menjamin bahwa ajaran Islam tak akan merugikan umat. Maka segala bentuk diskriminasi yang merugikan rakyat dan kepentingan umum tak mungkin berasal dari Al-Qur’an dan As-Sunnah .
Ilmu Kalam (Aqidah) Sebagai Kritik Terhadap Budaya Asing
Ilmu Kalam dalam ranah sosial budaya memiliki peran yang lebih besar dari sekedar menjelaskan pokok-pokok keimanan kaum muslimin. Ilmu yang lebih dikenal dengan nama ‘ilmu aqidah’ ini memiliki peran pertahanan diri (self of defence) dari pengaruh buruk budaya asing. Ilmu ini menjadi benteng dalam pertarungan budaya jaman globalisasi. Kalau tasawuf dan fiqh berperan secara internal membangun karakter umat, maka ilmu kalam berada di garis depan untuk membentengi umat dari penjajahan budaya asing.
Jaman perdagangan bebas saat ini tidak hanya membawa komoditas ekonomi namun juga membawa budaya baru dan pemikiran baru. Jika kita tak memiliki pertahanan budaya maka jati diri bangsa akan musnah. Ilmu kalam berperan mem-filter budaya mana yang sesuai dengan ajaran Islam dan mana yang berdampak buruk bagi umat.
Pada masa lalu, saat budaya Yunani, India, dan Persia masuk ke dalam peradaban Islam, ilmu kalam melakukan dua peran penting. Pertama, peran ‘filterisasi’ dari budaya asing yang buruk. Kedua, peran melestarikan budaya Islam. Ulama pakar aqidah tidak serta merta menerima budaya asing tanpa seleksi. Pun tidak langsung menolak tanpa argumentasi. Apa yang baik dan memberi maslahat pada umat bisa diambil, tapi yang merusak budaya umat tentu akan ditolak mentah-mentah. Inilah moderasi Ahlussunnah Wal Jama’ah yang tersirat dalam prinsip sosial budayanya, “almuhafadzoh ala al-qodim ash-sholih wal akhdu bil jadidi al-ashlah”. Artinya: Mempertahankan (budaya) lama yang baik dan mengambil (budaya) baru yang lebih baik.
Ulama Aswaja tidak silau dengan rasionalitas Barat. Tapi tidak antipati pada pemikiran asing. Dasar inilah kemudian yang menjadi pijakan Imam Al-Ghozali di dalam menerima Mantiq (Logika) Yunani, tapi menolak beberapa tesis para filsuf. Dalam kitab ushul fiqihnya al-Ghazali mengatakan “barangsiapa yang tidak mengetahui (logika) maka keilmuannya tidak dapat dipercaya”. Ia juga mengatakan, “logika berguna untuk menjaga seorang ahli fiqh dari kesalahan dalam berfatwa”. Di sisi lain, tokoh yang dikenal dengan julukan Hujjatul Islam ini menulis kitab Tahafut Al-Falasifah (Kerancuan Para Filsuf). Jadi, logika murni ia terima sebagai pondasi pengembangan pemikiran dan peradaban. Tapi tesis-tesis filsuf yang merusak akidah ia tolak. Inilah wajah moderasi cerdas dan bertanggung jawab.
Menerima pemikiran Barat tanpa memperhatikan budaya bangsa bisa menjadi pintu kerusakan bangsa dan musnahnya budaya ketimuran. Kita harus kritis saat ditawari sebuah pemikiran asing. Apakah rasionalitas Barat sepenuhnya maslahat bagi umat. Lalu mengapa perkembangan rasionalitas di Barat bersamaan dengan munculnya penjajahan? Mengapa rasionalitas Barat menciptakan bom nuklir yang merugikan umat manusia? Mengapa atas nama demokrasi muncul kolonialisme gaya baru, hegemoni negara ‘maju’, penjajahan atas nama kemanusiaan? Kemanusiaan macam apa yang mereka bela?
Penutup
Paparan di atas menjelaskan bahwa semua tokoh aswaja memiliki peran sosial yang signifikan di tengah-tengah umat. Sudah selayaknya para pengikut aswaja (Ahlussunnah Wal Jama’ah) bisa berkontribusi untuk kepentingan umat seperti para pendahulunya. Mempelajari fungsi dan peran sosial aswaja lebih berguna daripada kajian orientalis klasik yang hanya berupaya untuk menggambarkan seolah-olah disiplin ilmu aswaja berakar dari budaya luar. Salah satunya Ignaz Goldziher yang menganggap fiqh Islam menjiplak hukum Yahudi, Kristen, Yunani, Persia, dan India. Sungguh ini merupakan tesis yang dipaksakan. Telah banyak karya para intelektual yang mengkritik tesis tersebut.
Membaca aswaja ala Ignaz Goldziher sama saja dengan orang awam yang tak bisa mengambil manfaat dari pelajaran ilmu aswaja dalam kehidupan sosial. Memfungsikan aswaja secara sosial berarti melakukan pembacaan teks kitab aswaja, kemudian memahami prinsip-prinsip sosialnya, lalu merumuskan langkah apa yang akan diambil untuk membela rakyat. Berawal dari kitab kuning menuju upaya mewujudkan kemaslahatan umat. Inilah aswaja yang dinamis, bergerak, dan memberikan konstribusi nyata kepada umat.