Oleh : Ibti Ulatari Da’iyah, S.Pd*
Kisah nyata dan bersejarah emas terjadi enam abad lalu, perjalanan anak manusia yang dahsyat mencetak kharakter seorang anak. Mendidik seorang anak, apalagi anak seorang Sultan sebuah negara Khilafah tentu bukanlah pekerjaan mudah bagi seorang guru. Anak emas Sultan ini, tak pernah merasakan getirnya kehidupan, selalu bergelimang harta dan hiburan, tak pernah sekalipun merasakan kerasnya pendidikan. Guru-guru yang pernah dihadirkannya pun, tak pernah luput dari pelecehan sang anak Sultan, ditertawakan, dicemooh menjadi santapan sehari-hari guru-gurunya. Namun, Sultan Murad II, ayahnya, tak kurang akal, dia mencarikan guru yang paling cakap membentuk kharakter, akhirnya dia memanggil Syeikh Ahmad bin Ismail Al Qurani dan Syeikh Aaq Syamsudin. Berkat pendidikan kharakter dan pendidikan Islami, kelak Sang Anak itulah yang bergelar Sultan Muhammad Al Fatih (Sang Penakluk). Sultan yang mampu menaklukkan sebuah benteng paling kuat dalam sejarah, 1000 tahun lebih tak tergoyahkan dan selama 825 tahun penantian atas kebenaran Sabda Nabi akan takluknya benteng Konstantinopel oleh Sultan terbaik.
Pukulan Guru, Membentuk Karakter Pemimpin
Menjadi anak manja, bandel, dan susah diatur merupakan hal yang wajar dan umum terjadi, apalagi jika si anak tersebut selalu dilindungi orang tuanya ketika mendapatkan masalah. Nampaknya hal ini juga terjadi pada Muhammad II atau Mehmed II, putra dari sang Khalifah Sultan Murad II, dari Khilafah Utsmani yang berpusat di Edirne. Kebesaran nama sang ayah menjadi alasan bagi si anak untuk berperilaku manja dan bandel, sehingga menyulitkan setiap guru yang mengajarnya untuk taat pada perintah guru.
Sultan Murad II ketika bertemu dengan Syeikh Ahmad bin Ismail Al Qurani menitip pesan agar mendidik anaknya dengan baik dan sekaligus memberikan kewenangan penuh untuk memukulnya jika si anak tak patuh. Hal tersebut disampaikan di depan si anak sambil Sang Khalifah menyerahkan sebuah cemeti kepada sang guru. Tentu saja, amanah orang tua yang sepenuh hati, tak tanggung-tanggung kepada sang guru merupakan modal penting bagi guru manapun untuk mendidik muridnya. Apalagi sang guru tahu dan mengerti cara mendidik yang baik, menegur hingga memukul murid yang bersalah dengan pukulan yang sesuai aturan dan terukur.
Tak ayal, Mehmed II mendapat pukulan pertama kalinya dari sang Guru, yang mana pukulan itu belum pernah dia rasakan dari guru-guru sebelumnya. Tentu saja si anak kaget dan terperanjat dengan kejadian yang baru dialaminya itu, namun dia tak bisa melawan, sang guru mendapat legitimasi penuh dari ayahnya untuk memukul jika bersalah. Saat itulah, momen titik balik dari si anak bandel menjadi murid yang patuh dan taat pada guru. Mehmed II berubah menjadi anak yang sholeh, hafidz Qur’an di usia emas, 8 tahun, selanjutnya menguasai 7 bahasa asing dan menguasai ilmu-ilmu politik, ekonomi, strategi perang, dsb. Legitimasi guru untuk memukul disandarkan pada Sabda Nabi shallallahu’alaihi wasallam, “Perintahkanlah anakmu shalat pada usia tujuh tahun dan pukullah dia karena (meninggalkan)nya pada usia 10 tahun dan pisahkan tempat tidur mereka.”(HR. Abu Daud no 495 dengan sanad hasan).
Pukulan mendidik bukanlah pukulan telak yang mematikan saraf, penuh emosi dan kebencian serta pukulan bertubi-tubi hingga menimbulkan trauma bagi si anak didik. Pukulan tersebut hanya bertujuan menimbulkan ‘shock terapy’ bagi si anak, membuat anak berfikir untuk tidak melakukan pembangkangan terhadap perintah guru, serta menunjukkan kewibawaan dan keseriusan guru dalam mendidik. “Janganlah seseorang mendera lebih dari sepuluh kali deraan, kecuali dalam hukuman (hudud) yang ditentukan Allah Ta’ala-“ H.R. Ibnu Taymiyyah, serta dalam sebuah sabda Nabi Muhammad Saw : “Apabila salah seorang di antara kalian memukul, hendaknya menghindari wajah.” (HR. Al-Bukhari no. 2559 dan Muslim no. 2612)
Ketika Muhammad Al Fatih Kecil Tak Salah Namun Dipukul Sang Guru
Guru yang baik dan berwibawa di hadapan muridnya yakni ketika sebuah hukuman saja sudah mampu membuat ‘kenangan’ tak terlupakan, menjadikan sang murid tak lagi bermain-main dengan pelajaran dan selalu fokus terhadap materi pendidikan.
Pukulan kedua ini yang lebih dikenang pahit oleh Muhammad Al Fatih. Kali ini pukulan datang dari gurunya yang mendampinginya hingga ia kelak menjadi Sultan, Syeikh Aq Syamsuddin. ‘Kenangan’ pahit dari gurunya itu tak sanggup dia tanyakan atau protes pada gurunya, saking hormatnya pada sang Guru. Namun ‘kenangan’ itu tak lekang oleh waktu, terus berkecamuk di benak Sang Sultan. Hingga pada suatu saat yang tepat, setelah resmi menjadi Sultan Khilafah Utsmani, dia menanyakan kegundahannya selama ini :
“Guru, aku mau bertanya. Masih ingatkah suatu hari guru menyabetku, padahal aku tidak bersalah waktu itu. Sekarang aku mau bertanya, atas dasar apa guru melakukannya?”
Sekian tahun lamanya sang murid menyimpan pertanyaan atas ‘kenangan’ pahit dari sang Guru, namun tak kuasa menanyakannya apalagi menuntut sang Guru berupa Qishash
(balasan memukul), merupakan sebuah pelajaran berharga bagi kita semua. Bahwa, tindakan guru menghukum untuk kebaikan sang murid adalah hal yang lumrah dan dibenarkan oleh Syariah. Meski Sang Murid mempunyai hak tanya terhadap sang Guru, apalagi sang murid tak merasa bersalah dan menimbulkan kegundahan hati sang murid, mengapa sang guru berbuat dzalim terhadapku?
Inilah jawaban Aq Syamsuddin ketika itu :
“Aku sudah lama menunggu datangnya hari ini. Di mana kamu bertanya tentang pukulan itu. Sekarang kamu tahu nak, bahwa pukulan kedzaliman itu membuatmu tak bisa melupakannya begitu saja. Ia terus mengganggumu. Maka ini pelajaran untukmu di hari ketika kamu menjadi pemimpin seperti sekarang. Jangan pernah sekalipun mendzalimi masyarakatmu. Karena mereka tak pernah bisa tidur dan tak pernah lupa pahitnya kedzaliman.”
Perilaku guru sholeh seperti ini memang tak biasa dan tak bisa dilakukan oleh sembarang guru kepada sembarang murid. Hanya guru dengan kualifikasi tertentu dan murid dengan kharakter tertentu yang mampu melakukan hal ini. Namun, pelajaran penting adalah seorang Guru harus tahu cara mendidik setiap muridnya dan harus mampu memberikan perubahan perilaku setiap muridnya menjadi murid yang sholeh, cerdas, dan taat pada syariah.
Guru Sholeh dan Sejahtera, Pencetak Generasi Emas
Di masa Khalifah, guru mendapat perhatian istimewa, sebuah profesi mulia dan menjadi idola. Kesejahteraan guru merupakan modal penting bagi guru untuk siap mengabdi dalam mendidik murid-muridnya dengan baik. Profesi guru berbeda dengan profesi yang lain seperti dokter, insinyur, pekerja kontraktor, petani, dsb. Guru adalah pencetak kharakter dan mutu generasi, yang tentu saja akan berdampak besar bagi masa depan sebuah negara dan peradaban. Dari sentuhan tangan gurulah, gerbang peradaban itu mulai terbuka dan dibangun, dan outputnya adalah anak didik yang unggul berkualitas baik kognitif, afektif dan psikomotorik. Persoalan pribadi guru akan menjadi persoalan anak didik, dan tentu saja menjadi persoalan bangsa, cepat atau lambat. Dalam masalah gaji misalnya, Guru harus mendapat gaji yang sangat istimewa. Pada masa Kekhilafahan Umar bin al-Khaththab saja, Khalifah Umar memberikan gaji kepada para pengajar al-Quran masing-masing sebesar 15 dinar (1 dinar setara dengan Rp 2.258.000,-. Artinya, pada masa khalifah Umar, gaji guru mencapai Rp 33.870.000,-.
Di masa Umar bin Khattab, sinar kejayaan Islam menerangi seluruh Jazirah Arab, berkat putra-putri terbaiknya yang mengemban risalah dan ilmu pengetahuan hingga membuat peradaban Islam semakin cemerlang. Peradaban Romawi dan Persia pun kalah pamor hingga menyusut luas wilayahnya, berbanding terbalik dengan peradaban Islam yang makin meluas, kuat secara politik dan ekonomi. Semua itu berkat materi pendidikan dan pengajaran yang baik, guru yang sejahtera, dan sistem pendidikan yang Islami.
Berdasarkan sirah Nabi saw. dan tarikh Daulah Khilafah Islam, negara memberikan jaminan pendidikan secara gratis dan kesempatan seluas-luasnya bagi seluruh warga negara untuk melanjutkan pendidikan ke tahapan yang lebih tinggi dengan fasilitas (sarana dan prasarana) yang disediakan negara. Kesejahteraan dan gaji para pendidik sangat diperhatikan dan merupakan beban negara yang diambil dari kas Baitul maal (kas negara). Sistem pendidikan bebas biaya tersebut berdasarkan ijma’ shahabat yang memberi gaji kepada para pendidik dari Baitul Maal dengan jumlah tertentu. Contoh praktisnya adalah Madrasah Al Muntashiriah yang didirikan khalifah Al Muntahsir di kota Baghdad. Pada Sekolah ini setiap siswa menerima beasiswa berupa emas seharga satu dinar. Kehidupan keseharian mereka dijamin sepenuhnya oleh negara. Fasilitas sekolah disediakan, seperti perpustakaan beserta isinya, rumah sakit, dan pemandian.
Begitu pula dengan Madrasah An Nuriah di damaskus yang didirikan pada abad keenam Hijriyah oleh Khalifah Sultan Nuruddin Muhammad zanky. Di sekolah ini terdapat fasilitas lain seperti asrama siswa, perumahan staf pengajar, tempat peristirahatan, para pelayan serta ruangan besar untuk ceramah dan diskusi.
Era Liberalisme, Guru Makin Terbelenggu
Saat ini, di masa Liberalisme yang memasuki segala lini kehidupan masyarakat Indonesia, mulai dari tayangan televisi, internet dan medsos yang memberikan sumbangsih kemerosotan moral pada anak didik, guru makin berat dalam membina dan mendidik anak. Di sisi lain, guru harus mencetak generasi saat ini menjadi generasi masa depan yang handal, namun terbatasi cara mendidiknya. Guru tak lagi boleh keras dan tegas kepada anak didik, meski hanya sekedar sebuah ancaman. UU Perlindungan Anak ( UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak) pasal 80 dinyatakan: (1) Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah). Dampaknya pun bisa kita saksikan anak-anak sekolah di sekitar kita yang tak lagi patuh pada guru, bahkan orang tuanya ikut mempidanakan guru gara-gara memukul murid, mencukur rambut murid, dsb.
Guru yang diharapkan mencetak generasi dengan baik, terkendala aturan hukum yang mengekang. Meski tak dipungkiri, banyak juga Guru yang bertindak di luar batas hingga berbuat kriminal. Namun, secara umum, perilaku guru yang menghukum anak didik dengan aturan yang dibenarkan Syariah tak boleh dihukum, diancam pidana atau bahkan diteror oleh orang tua murid. Di tangan guru-guru terbaiklah, potensi anak melejit luar biasa. Sinergi keluarga, masyarakat/lingkungan dengan sekolah/lembaga pendidikan bahkan negara merupakan hal yang sangat penting dalam membentuk kharakter anak, kesuksesan prestasi anak serta mencetak sebuah generasi emas yang mampu membangun sebuah peradaban.[ID]
*Staff Guru BK (Bimbingan Konseling) SMA Nuris Jember
- @ Penulis merasa iba dan miris melihat beberapa Guru di Tanah air yang terlibat pertikaian dengan orang tua siswa karena masalah yang tidak seberapa, semoga para orang tua menjadi sedikit tergelitik hatinya untukmenyadari bahwa dibalik semua UU perlindungan anak ada kewajiban dari Sang Guru untuk mencerdaskan anak bangsa, kalau tidak mau dididik sama gguru maka dirikanlah sekolah sendiri,jadilah guru bagi anak- anakmu, buatlah kurikulum sendiri,dan anakmu sebagai siswanya J