Kejujuran Menjadi Barometer Pemimpin

Salah satu dari moral utama seorang manusia adalah kejujuran. Kejujuran adalah dasar (fundament, asas, sendi) dalam pembinaan umat dan modal utama menciptakan kebahagiaan di tengah masyarakat. Kejujuran menyangkut segala urusan kehidupan dan kepentingan orang banyak. Kepada semua manusia Allah SWT telah memerintahkan agar selalu mempunyai perilaku dan sifat jujur ini. Persoalan utama bangsa ini adalah tak ada kejujuran dari banyak pihak. Tanpa kejujuran, popularitas justru cenderung disalahgunakan. Lantas, mengapa kejujuran begitu penting sebagai tolok ukur kepemimpinan? Berikut hasil wawancara yang berhasil dihimpun reporter Majalah Nuris, Iqbal Khofi, S.H dengan Drs. H. Rosyadi BR., M.Pd.I. Kepala Kementerian Agama Jember.

Kekuasaan yang berjalan dengan kejujuran akan menghasilkan peradaban yang berkualitas. Kejujuran terkesan sudah menjadi sesuatu yang mahal di negeri ini. Berbuat dan berkata dusta (berbohong) terkesan menjadi suatu hal yang lumrah. Kedustaan seakan diumbar tanpa memiliki rasa bersalah dan takut akan ganjaran dosa,“ kata Kepala Kementerian Agama Jember Drs. H. Rosyadi BR., M.Pd.I. kepada Majalah Nuris.

Individu, masyarakat dan bangsa yang sudah tidak mengutamakan kejujuran dipastikan kehancuran akan mudah menghampiri kita. Kejujuran adalah dasar dari kehidupan keluarga, masyarakat, dan bangsa, katanya.

Kejujuran adalah prasyarat utama pertumbuhan dan perkembangan masyarakat yang berlandaskan prinsip saling percaya, kasih sayang, dan tolong menolong. Kejujuran adalah inti dari akhlak yang merupakan salah satu tujuan dari diutusnya Rasulullah oleh Allah SWT.

Lebih lanjut Rosyadi menyatakan, hakikat kejujuran ialah mengatakan sesuatu dengan jujur di tempat (situasi) yang tidak ada sesuatu pun yang menjadi penyelamat kecuali kedustaan. Secara psikologis, kejujuran akan mendatangkan ketentraman jiwa. Sebaliknya seseorang yang tidak jujur pasti tega melakukan perbuatan serta menutupi kebenaran. Kedustaan dan ketidakjujuran akan selalu meresahkan masyarakat, yang pada gilirannnya akan mengancam stabilitas sosial. Ketidakjujuran selalu akan melahirkan kepada ketidakadilan, disebabkan karena orang yang tidak jujur akan tega menginjak-injak keadilan demi keuntungan material pribadi atau golongannya saja, ujarnya.

Rosyadi menyatakan, pribadi yang jujur merupakan roh kehidupan yang teramat fundamental, karena setiap penyimpangan dari prinsip kejujuran pada hakikatnya akan berbenturan dengan suara hati nurani. Seperti contoh, para penyelenggara Negara pada setiap aktivitas dalam rangka melayani masyarakat tentunya tidak menanggalkan prinsip kejujuran.

Kejujuran juga akan melahirkan penghargaan terhadap hak-hak orang lain. Sebab kejujuran sebagaimana yang telah saya sampaikan tadi, juga akan menumbuhkembangkan kecintaan terhadap kebenaran, keadilan dan kedisiplinan. Namun kejujuran tidak akan datang begitu saja, tetapi harus diperjuangkan dengan sabar dan sungguh-sungguh.

Rosyadi menyampaikan, ketika seseorang bersifat jujur, akan disampaikannya apa pun itu meskipun pahit. Pepatah bahasa Arab menyatakan, “katakanlah kebenaran walau itu pahit.”

”Rasulullah SAW adalah suri teladan dalam berbagai hal, tidak terkecuali kejujuran,” Kejujuran tersebut, menurutnya, ditegaskan Allah dalam sosok Rasulullah SAW yang tidak bisa membaca dan menulis. Jadi, orang-orang sekitar Rasulullah menghafal apa yang disampaikan Rasulullah SAW, ujarnya.

Dalam hal ini, Rasulullah SAW mendidik sahabatnya untuk berkata jujur, terutama dalam menyampaikan pesan-pesan Rasulullah kepada umatnya.

Rosyadi menyayangkan, kejujuran Rasulullah SAW belum maksimal diterapkan para pemegang kekuasaan dan pelaksana pemerintahan.

Ketika hendak menjadi wakil rakyat (pemimpin), mereka mengumbar uang. Akhirnya, rakyat memilih mereka karena uang, bukan karena amanah, ujarnya.

Jika orang sudah tidak amanah, bagaimana bisa jujur berkata. Ketika menangani berbagai proyek pengadaan, bukannya jujur hanya untuk kepentingan rakyat, malah berkhianat dengan mengambil keuntungan pribadi.

Yang muncul kemudian, tidak jujur untuk meraih amanah sehingga tidak jujur dalam mendapatkan penghasilan.

Rosyadi menyatakan, mereka yang memiliki kekuasaan harus jujur dalam setiap tindak tanduknya. Rakyat, menurutnya, harus mendapatkan informasi apa pun agar tidak salah memahami keadaan.

Kekuasaan yang berjalan dengan kejujuran akan menghasilkan peradaban yang baik. Faidahnya banyak sekali, yang jelas demi kemaslahatan umat, katanya.

Sebaliknya, jika yang dibangun adalah dusta,  yang menjadi budaya adalah kebohongan. Pemimpinnya pun akan berkhianat. Yang terjadi adalah korupsi dan kehancuran.

Yang seperti ini akan binasa, kata Rosyadi. Ia menyatakan, umat Islam harus jauh dari sifat-sifat tercela seperti itu karena hanya mengakibatkan kehancuran.

Kepala Kementerian Agama Jember ini, menyatakan bahwa kejujuran menjadi barometer apakah seseorang bisa dipercaya atau tidak.

Ketika seseorang tidak berkata jujur maka sudah bisa dipastikan orang seperti itu tidak layak diberikan amanah. Karena, pasti khianat, ujarnya.

Orang yang tidak jujur ketika dipercaya menjadi penanggung jawab keuangan, dikhawatirkannya sirkulasi keuangan menjadi tidak jujur dan transparan.

Pengeluaran seharusnya cuma Rp 1 juta dikatakannya Rp 10 juta, kata Rosyadi. Saldo seharusnya Rp 10 juta, diklaim hanya Rp 1 juta. Jadi, yang ada hanya bohong. Ini merugikan, ujarnya.

Ia menyatakan, banyak orang yang masih mau jujur meskipun ada saja yang senang berbohong dan berkhianat.

Namun demikian, jika dihadapkan pada pilihan apakah memilih orang yang jujur tapi miskin dan orang kaya tapi berbohong, akan lebih baik memilih yang pertama. Orang seperti itu, menurutnya, akan lebih amanah dalam menjalankan tugasnya.*

Related Post