Menuai Cinta Dalam Ranah Seorang Darah Biru

Menuai Cinta Dalam Ranah Seorang Darah Biru
Cerpen By : Dwi Fitriani Rohmah

Pada Sungai kita bertemu.. Pada air aku berkaca..

Pagi itu mentari tampak tersenyum cerah layaknya rona gadis perawan yang tersenyum sumringah dalam balutan yang biasa orang sebut ‘kesucian’. Desiran angin seakan menyatu dengan pesan-pesan dari burung yang terbang ringan seakan tiada masalah yang membebaninya. Bercermin pada air sungai dikala itu seakan menambah kemurnian alam sambil bersenandung irama percikan air yang jatuh dari tebing curam dan memantulnya pada bebatuan yang terkikis akibat hempasan yang tidak berkesudahan.

(Baca Juga: Kotak Cinta Sang Mursyid)

Aku terpaku diantara bebatuan itu berpikir tentang kisah dimasa mendatang, sambil bertanya dengan kerangka pertanyaan yang terbalik “aku yang harus bagaimana ataukah bagaimana keharusan itu untuk aku?”. Pertanyaan maupun pernyataan itu yang terus menggelayuti kepalaku mengingat kewajiban dan hakku yang seakan tidak sejalan dengan masalah yang saat ini aku hadapi. Bagaimana mungkin aku menikah dengan lelaki pilihan orang tua yang tidak aku cintai dan bagaimana mungkin juga aku menolak pilihan orang tua yang sangat aku hormati keputusannya. Perdebatan itu terjadi ketika sisi lain dalam diriku berkata “aku punya hak untuk memilih, aku punya hak untuk menentukan seperti apa imamku, aku berhak untuk menolak bila aku tak suka !”

Tiba-tiba aku terhenyak taatkala seorang lelaki membangunkan aku dari lamunan dan pergolakan batinku.

“Ada yang bilang kalau suka melamun, bisa-bisa nanti jadinya kerasukan setan. Hahahahahaha”. Jawab seorang lelaki muda yang biasa aku panggil kanda itu. Izal namanya.

“Kanda nakal deh…!”. Kesalku sambil merengut.

“jangan marah nda.. jadi tambah cantik kalau begitu”. Jawabnya sembari mencubit pipiku yang merona merah karena mendengar rayuannya.

“Seandainya..” kataku yang tiba-tiba berubah mimik menjadi serius “Kalau seandainya kanda tak lagi pemilik wajah yang cantik ketika marah ini, apa yang akan kanda lakukan”

“Nda.. ada apa?” jawab kandaku yang sepertinya sangat gusar “Apakah ini tentang permintaan orang tua dinda yang tempo hari ?”.

“Iya nda.. tentang kewajiban patuh terhadap orang tua dan aku yang berhak memilih calon suamiku”

“Kalau begitu kamu tolak saja nda !” jawab kandaku tegas

“Kemudian bagaimana dengan kewajibanku, aku tidak ingin mengecewakan mereka”

“Dinda, bukan mereka yang akan menjalani rumah tangga itu kelak tetapi dindalah yang akan menjalaninya. Dindalah yang harus tahu calon suami seperti apa yang nyaman menurut dinda” jawab kandaku berusaha meyakinkanku.

“baiklah..” jawabku sedikit ragu akan keputusan yang akan ku ucapkan, “kalau begitu tinggalkan dinda, karena kenyamanan yang dinda rasakan adalah ketika restu orang tua mengalir didalamnya” kataku sedikit mengecilkan volume tidak yakin.

“dinda, beri aku kesempatan lagi. Bukan maksud kanda untuk menunda melamar dinda, tapi karena masih banyak yang harus diperhitungkan. Biaya hidup yang harus kita tanggung mengingat gaji kanda yang masih dibawah dari cukup, mental kanda yang harus diperhitungkan lagi karena kita akan menjalani kehidupan baru yang terbilang mandiri. Kanda hanya tidak mau ketika kita berumah tangga akan menjadi bayang-bayang dari kedua orang tua kita lantaran masalah ekonomi”

“inilah kenapa sebenarnya dalam percintaan kita tak butuh logika dan pemikiran yang jelas. Jika tak mau dicoba mana kita tahu akan bagaimana. aku siap nda, hidup miskin denganmu. Lantas mengapa kau meragukan perasaan siap ku ?”
“ini bukan masalah siap atau tidak. Tapi aku hanya ingin dinda bahagia dan tidak menderita. Menjadikan dinda sebagai ratu dalam singgasana seorang izal. Salahkah aku inginkan itu ?. kenapa pula niatku yang baik ini tidak dinda pahami ?”

“sudahlah nda, aku tak mau berdebat denganmu karena pada ujungnya kita tak pernah punya keputusan yang tepat” jawabku sembari beranjak dari batu kali yang semula menjadi pelabuhan tubuhku.

“dinda, kenapa dinda tak pernah punya sikap tegas jika memang tak mau dijodohkan oleh orang tua dinda ?. diam itu bisa saja setuju dinda. Dinda harus bicara dengan orang tua dinda”

Aku menghentikan langkahku dan hendak menoleh kearah kanda izal, namun tak jadi kulakukan. “jangan salahkan aku bila tak mau angkat bicara tentang perjodohan ini, karena sudah cukup tangisan-tangisan merepotkan orang tua ku dikala aku lahir dan dibesarkan dahulu. Jangan suruh aku bersikap tegas bila kanda pun demikian. Maafkan aku bila keputusanku tak menyenangkan hati kanda” jawabku sembari memunggungi kanda.

Kuteruskan langkah menelusuri jalan setapak dari batu kali yang menghiasi sungai dikala sore itu, meninggalkan kanda izal yang menunduk dan bersedih luar biasa. Aku hanya bisa meneteskan air mata karena bendungan di mata itu kini mulai runtuh. Beberapa ibu-ibu yang hendak mencuci ke sungai terheran-heran melihatku yang menangis dan berlarian tanpa memperhatikan di sekelilingnya. “itu Neng Aini putri kyai Roshid anwar bukan??” tanya ibu yang satunya mencoba untuk meyakinkan dirinya terhadap rasa penasarannya. “iya, aku yakin iya. Itu hijabnya persis seperti punya neng aini” jawab ibu yang satunya. “lantas sedang apa putri abah yang cantik jelita itu sedang kemari ya??” Tanya ibu yang lain, mencoba mencari jawaban dikepalanya pada sesosok seorang putri kyai Roshid anwar yang biasa warga desa sekitar memanggil kyai Roshid anwar dengan sebutan akrab abah.

Keputusan seorang abah.. seorang ayah
Hujannya datang beramai-ramai, tanpa tanda tanpa isyarat hanya sayup-sayup terdengar dikejauhan saling berkejaran kemudian sampai pada satu titik dimana orang biasa berkerumun dan berkegiatan yaitu di sebuah desa Singasana sore itu. Biasanya mendung menjadi penanda kedatangan hujan tetapi kali ini tidak, hanya beberapa percikan air yang jatuh kemudian saling mengeroyok dan jadilah hujan yang lebat. Hujan putih. Itu yang biasa orang sebut. Yang mana menurut warga, hujan putih adalah hujan yang ada tanpa tanda kedatangan, hujannya sangat lama seakan seisi langit menghempaskan airnya. Langitnya berwarna putih dan tidak ada mendung sehingga sulit dikenali akan tanda-tanda kedatangannya. Tetapi namanya juga kata orang, ada-ada saja yang memberikan pemaknaan perihal hujan sekalipun. Otak mereka seakan telah menjadi Tuhan kedua dalam kehidupan mereka.

Firdha hanya menatap tetesan hujan yang jatuh pada kaca jendela rumahnya sedang pikirannya melayang entah kemana. Tentang sekolahnya, tentang diniah di pondoknya maupun tentang acara pertunangan kakak perempuannya tersebut. Ayahnya kemudian muncul sambil tersnyum melihat putri sulungnya tersebut bingung melihat kearah jendela.

“kalau kamu terus-terusan menghitung hujan diluar itu, maka sungguh pasti kepalamu akan sangat pusing nak” kata Ayah Firdha yang tak lain adalah kyai Roshid anwar.

“oh Abah, Firdha tidak tahu kalau abah ada disamping saya. Firdha tidak menghitung hujan bah, Firdha hanya sedang memikirkan banyak hal. Rasanya hujan ini membuat Firdha jadi kepikiran banyak hal yang berkecamuk jadi satu dikepala ini” jawab Firdha sambil memperlihatkan ekspresi bingungnya.

Kyai Roshid anwar hanya tersenyum “masalah itu bukan dipikirkan nak, tetapi diatasi. Dia hanya akan selalu menjadi masalah kalau tidak ada tindakan. Yang penting kamu sudah berani, percaya dan paham kalau tindakan itu benar maka lakukan saja jangan takut” jawab kyai Roshid anwar.

“dan.. em… aapakaah.. tindakan abah yang saat ini abah lakukan sudah terbilang tepat menurut abah?” wajah Firdha mulai sedikit takut terhadap pertanyaan yang ia lontarkan kepada Abahnya tersebut. “Sumpah kak, rasanya aku durhaka banget bilang gini” kata Firdha di dalam hatinya seakan sedang berkata dengan kakaknya.

Seakan mengerti arah pertanyaan putri sulungnya, kyai Roshid anwar hanya mengernyitkan dahi dan berkata “memang kenapa? Apakah kamu ragu terhadap keputusan abah?”

“bu bukan begitu bah, hanya saja pemikiran itu yang paling dominan dikepala Firdha saat ini. Rasanya butuh jawaban yang tepat. Firdha hanya kasihan kalau kakak akan bertunangan dengan pria yang tidak dikenalnya sama sekali” jawab Firdha pelan. Pelan sekali, takut membuat abahnya sakit hati.

“InsyAllah nak.. InsyAllah.. abah sudah mencoba memberi keputusan yang tepat. Sebelum akhirnya keputusan ini abah serahkan sama Allah, abah sudah bermunajab memohon petunjuk yang terbaik agar tidak fatal akibatnya” jawab kyai Roshid anwar mencoba.

“tapi abah.. kak Aini kan sayangnya sama..”

“nak Izal kan??” jawab ibu Khoiriyah tiba-tiba dari belakang, yang tak lain adalah ibu Firdha.

“lohh, Umi kok tahu? Jangan-jangan abah juga tahu?” Tanya Firdha penuh penasaran.

kyai Roshid anwar mengangguk “Ustadz Faizal adalah anak yang sholeh. Dia pandai mengaji dan memahami ajaran Islam. Abah sudah tahu seperti apa anak itu” jawab kyai Roshid anwar.

“lalu, kenapa Abah menjdodohkan dengan orang lain kalau kak Aini sayangnya dengan kak izal?” tanya Firdha yang sudah kelas 3 MA itu penuh penasaran.

“sudahlah Firdha, kamu tidak sepantasnya bertanya terlalu detail seperti itu kepada Abahmu. Ini sudah maghrib, sebaiknya kamu siap-siap sholat dulu” kata Umi Firdha tegas kepada putrinya.

Mendengar uminya yang sedikit marah tersebut Firdha hanya menunduk takzim dan merasa bersalah kemudian beranjak dari tempat duduknya, “Iya Umi..” jawabnya pelan.

“nak..” kata kyai Roshid anwar menghentikan langkah Firdha “insyAllah keputusan ini sudah benar dan akan Abah pertanggung jawabkan kelak dihadapan Allah dan Makhluknya. Mungkin saja kamulah yang akan berpengaruh terhadap keputusan Abah nantinya. Terima kasih nak”

Firdha kemudian mengangguk “iya Abah, maafkan Firdha kalau terlalu ikut campur”, Jawab Firdha lantas berlalu pergi bersiap-siap sholat jama’ah di Masjid.

Hari penentuan nasib.. menentang takdir atau terbilang sebaliknya?

Sejak kecil aku sudah diajari untuk patuh terhadap orangtua, tidak membantah nasehatnya dan jangan sampai melukai perasaannya. Sampai saat inipun hal itu aku pegang teguh sehingga sudah mendarah daging dan mengalir kedalam tulang sumsum. Tak kuasa aku melihat Umi meneteskan air mata meski hanya tersandung batu, tak tega aku melihat Abah mengeluh masalah-masalah yang terjadi di Pesantren. Ingin rasanya ku peluk mereka, ku elus punggungnya dan ku katakan “semua akan baik-baik saja abah.. umi…”. Mereka seperti Mutiara yang sangat berarti di dalam setiap denyut nadi hidupku. Aku berterima kasih kepada Umi yang telah melahirkanku dan Abah yang membimbingku. Syukurku tiada tara kepada Allah yang telah menganugerahkan kedua orang tua yang shaleh dan shalehah bersama ungkapan shalawat kepada junjunganku Nabi Muhammad saw. Kasih sayang Abah sudah seperti Nabi Ibrahim kepada Ismail dan itupun membuatku berbesar hati terhadap keputusan Abah yang saat ini akan dilangsungkan. Keputusan yang malam ini akan mengubah segalanya, termasuk mungkin saja perasaanku kepada kanda izal.

Tiba-tiba hatiku mulai gemetar mengingat masa dimana aku mulai mengagumi kanda izal bersama lantunan ayat Al-Qur’an yang selalu kanda dendangkan disetiap usai sholat berjama’ah isya’ di Masjid. Suaranya merdu, sangat fashih kepada tajwid yang setiap ia ucapkan. Rasanya seluruh santri putri mengagumi kanda izal yang biasa mereka panggil Ustad dan itu menjadi daya tarik tersendiri bagiku karena ternyata Ustadz Faizal tersebut justru hanya menoleh kepadaku dan membalas perasaanku. Mulanya aku sedikit khusnudzon karena aku adalah anak seorang kyai pemilik pondok pesantren tempat ia mengajar, maka dari itu Ustadz Faizal membalas perasaanku. Namun ketika aku bertanya kenapa dia membalas perasaanku, dia hanya menjawab “karena ketika melihat wajahmu nda, tulang rusukku berkata kalau ada tulang rusuk lain yang telah kau curi dariku. Ketika melihat wajahmu seakan hatiku berkata ayo cepat kejar dan seluruh inderaku berinisiatif untuk terus menatapmu lebih lama, padahal aku tidak menyetujuinya. Aku tidak menyuruh mereka bekerja untuk menatapmu tetapi ragaku bergerak sendiri dan tanpa sadar aku menyetujuinya. Perlahan tapi pasti aku mulai resah bila tidak mendengar kabar tentangmu”. Tanganku gemetar, seluruh tubuhku gemetar, syaraf dibadanku gemetar dan aku hanya bisa menangis mengingat kenangan betapa bahagianya saat jatuh cinta apalagi itu yang pertama, betapa bahagianya mengagumi orang yang ternyata mencitai kita dan betapa bahagianya seandainya menjalani hidup bersama orang yang kita kagumi dan sayangi. Kini itu hanya sekedar harapan dan kenangan yang terus menggantung dikepala dan terus menjadi bayang-bayang kita jika tak terlaksana dengan baik.

Ku usap air mata, aku tahu bahwa sebentar lagi tunanganku bersama rombongannya akan datang berkunjung. Aku tidak boleh mengecewakan kedua orang tuaku dengan mukaku yang kusam dan sembab karena menangis. Akhirnya aku terbangun dari kenangan lamaku dan beranjak pada kehidupan nyata yang kini tertuang di depan mata. Handphone di saku berdering. Tanda adanya pesan singkat. Kulihat di layar, dari kanda izal. Jantungku berdetak cukup keras kembali.

“Assalam. nda, aku mengirimkanmu sepucuk surat melalui Firdha. Bersama itu ku lampirkan sebuah peta. Buatlah keputusan yang tepat nda. Kamu harus adil kepada dirimu sendiri. Wassalam”.

Pintu dikamar terbuka dan tampaklah Firdha berdiri disamping pintu tersebut. “kak, ini dari Ustad Faizal..” kata firdha sedikit berbisik.

Aku sedikit bingung “apakah aku harus membukanya fir?” tanya ku kepada Firdha.

“bukalah kak selagi masih ada kesempatan untukmu membuka surat itu. sebelum akhirnya kau mungkin akan menyesal karena tidak pernah membukanya” jawab firdha.

Akhirnya aku beranikan diri untuk membukanya :
Assalamualaikum wr.wb.
Kanda siap untuk menikahi dinda, maaf jika ini terkesan mendadak karena kanda tidak punya cukup keberanian untuk melamar dinda selama ini. Bagaimana bisa kanda menikahi wanita dari putri seorang guru yang hamba takdzimi. Bagi kanda seluruh keluarga kyai Roshid anwar semuanya adalah guru termasuk dinda. Inilah mengapa kanda selalu lemah untuk melamar dinda karena merasa telah lancang menikahi guru kanda.

Tapi sekarang kanda sadar, dinda adalah belahan jiwa kanda dan bukanlah guru kanda.

Mari mengarungi bahtera rumah tangga dinda. Meskipun singgasana nya tak semewah yang dinda bayangkan tetapi ada kanda disana yang akan membimbing dinda dan calon anak-anak kita.

Tolong jangan tanyakan kenapa kanda melakukan ini karena seribu alasan yang akan kanda ungkapkan betapa kanda menyesal telah keterlaluan dalam mencintai dinda sehingga lancang mengajak dinda untuk kabur dan mencoreng nama besar keluarga.
Wssalamualaikum wr.wb.
Aku menutup dengan cepat kertas itu dan terlihat ada kertas lainnya yang terselip disana berisi peta tempat yang akan dilalui apabila aku bersedia kabur bersama kanda izal. Mulai dari dapur pondok sampai dengan pagar bagian belakang pondok tempat kanda izal saat ini sedang menunggu. Lagi-lagi jantungku bergetar lebih kencang dan kali ini sangat kencang dari biasanya. Kepala dipenuhi oleh pikiran antara iya dan tidak, antara mencoreng nama keluarga atau memilih bersama orang yang kita sayang atau memilih nama baik keluarga dan melepaskan orang yang sangat berarti bagi kita. Aku hanya menggigit jari-jariku dan mondar mandir kesana kemari.

Firdha menepuk pundakku dari belakang, “pergilah kak..” katanya.

“Tidak Firdha!! Aku akan menjadi manusia yang paling dibenci Allah karena membantah perintah orang tua” jawabku keras.

“Tapi Allah juga tahu bahwa Ustadz Faizal adalah lelaki yang terbaik untuk kakak”

“Firdha, aku tidak bisa membayangkan betapa mengecawakannya aku sebagai anak dan membuat abah sama umi menangis!!”

“Tapi Ustad Faizal sekarang sedang menunggu kakak diluar kak! Apa kakak tidak kasihan??”

Tiba-tiba air mataku menetes dan mengalir deras. Aku menangis “jangan buat aku bingung begini Firdha. Pilihan seperti ini sungguh membuatku ingin mati saja rasanya”

Firdha memelukku “sudahlah kak, Allah sudah tahu lelaki yang terbaik untuk kakak. Abah pun mengganggap bahwa Ustadz Faizal adalah lelaki yang sholeh. Jalani kak, masalah orang tua biar Firdha yang bertanggung jawab dan menjelaskannya kepada Umi dan Abah”

“Aku akan menjadi anak durhaka Firdha… kakakmu akan menjadi contoh yang tidak baik untukmu..” jawabku sambil meneteskan air mata.

“kakak masih tetap menjadi yang terbaik kok untuk Firdha karena kakak telah berjuang untuk mendapatkan cinta kakak dan telah memilih lelaki yang benar. Masalah dengan orang tua ini bukan masalah durhaka kak menurut Firdha tapi hanya saja kelemahan untuk jujur kepada orang tua. Abah pernah berkata Yang penting kamu sudah berani, percaya dan paham kalau tindakan itu benar maka lakukan saja jangan takut. Aku yakin kok kalau kakak dan Ustad Faizal jujur sama abah dan umi, mereka pasti merestui. Pergilah kak, sebelum akhirnya kau benar-benar menyesal karena tidak mengikuti saran dari adikmu ini”

“tapi Fir..”

“sudah kak, ayo pergilah..” senyum Firdha mengembang membuat tekadku bulat untuk berencana kabur bersama kak izal.

“baik fir.. tolong jaga abah dan umi ya” kataku pelan dan sangat berat mengatakannya.

“iya kak, kembalilah kak kalau keadaan sudah mulai damai lagi”

“iya.. makasih adek ku..”

Firdha menatap punggung kakaknya yang pergi dan mengingat kata-kata abahnya sambil mengusap air matanya yang mulai menetes.. ia merasa menafsirkan kalimat abahnya ke jalan yang salah. “Yang penting kamu sudah berani, percaya dan paham kalau tindakan itu benar maka lakukan saja jangan takut”.
Jalan keberanian.. Jalan penuh terjal dan asa

Seketika aku pergi kearah dapur belakang melewati kamar-kamar tempat khaddam. Semua khaddam sedang tidak ada dikamar karena sibuk dibagian dapur utama untuk mempersiapkan sajian yang akan dihidangkan oleh calon yang telah gagal akan bertunangan denganku. Aku berusaha membuka pagar belakang yang terkunci secara keras karena tidak membawa kuncinya. Aku menoleh ke kiri dan kanan sebab tidak ada orang akhirnya aku beranikan diri untuk menaiki pagar yang cukup rendah tersebut dan mulai meloncati pagar. Diluar sudah ada kanda izal yang siap memangku aku yang loncat dan dengan sekali tenaga ekstra aku sudah berada di tanah dan telah keluar dari dalam pondok pesantren beserta rumahku. Seluruh santri sedang tidak ada karena masih dalam jam sekolah sehingga mudah bagiku untu menaiki pagar dan meloncat.

“terima kasih dinda.. terima kasih karena telah mengorbankan keluargamu demi aku”

“sama-sama kanda..” jawabku lirih sedikit menyesal karena telah mengikuti hawa nafsuku.

“aku janji nda, semuanya akan kembali dengan normal. Aku janji akan memperbaiki
hubunganmu dengan keluargamu..”

Penggabungan keluarga.. menggenggam silaturrahmi
Di sisi lain kedatangan tamu dari calon tunangan sudah datang dengan membawa segenap rombongan mobil yang begitu panjang kurang lebih ada sekitar 6 mobil. Keluarga calon berasal dari keluarga yang cukup mewah namun juga tidak pernah memamerkan hartanya dan selalu bersedekah kepada fakir miskin karena di dalam harta yang berlimpah disitu terdapat hak dari seorang fakir miskin. Maka pak Bambang sebagai calon besan tersebut terkenal ramah serta dermawan. Anaknya yang bernama Faqih juga adalah anak yang sholeh dan saat ini sedang menempuh pendidikan di pondok pesantren Daarul Ulum yang diasuh oleh Ustad Yusuf Mansyur seorang ulama terkenal. Faqih inilah anak satu-satunya dari bapak Bambang yang akan dijodohkan dengan putri dari kyai Roshid anwar.

ibu Khoiriyah menghampiri kamar anaknya Aini tetapi tidak ada Aini disana yang ada hanyalah Firdha yang sedang duduk di tempat tidur kakaknya. “kakak kamu kemana Fir..?”

“e..e..e… e anu umi, tadi kakak pergi..” jawab Firdha gugup.

“loh, pergi kemana??”

“maaf umi.. sepertinya kakak pergi bersama Ustadz Faizal..” jawab Firdha dengan lidah yang gemetar. ibu Khoiriyah kemudian tersenyum menyimpan seribu misteri dan seribu tanya bagi Firdha.

Semak belukar dan keputusan Abah..
Aku bergegas pergi bersama kanda izal, melewati semak belukar dibelakang pondok yang sudah sangat lebat. Sedikit tersiksa ketika melewati tanaman yang ada durinya itu. namun kanda izal selalu melindungiku dan menyuruhku berjalan dibelakangnya setelah tanamannya ia bersihkan. Selama melewati semak belukar itu aku berdzikir memohon ampun kepada Allah dan semoga dimudahkan dalam segala urusan. Aku juga berdo’a agar diberikan jalan keluar terhadap masalah yang aku hadapi ini terutama ketabahan bagi keluargaku. Tiba-tiba seorang pria gemuk menghadang perjalananku dengan kanda izal. “astagfirullah.. ya Allah.. itu kyai Roshid anwar, dinda”

Aku terkejut dan panik, “kanda bagaimana ini”

“tenang dinda, jangan panik” jawab kanda izal yang juga gemetaran sambil memegang tanganku.

Ekspresi abah awalnya seperti bermuram durja namun berubah seketika dan menyambut kami dengan sukacita. “jalanlah terus nak, diseberang sana kamu akan temukan sopir abah. Dia akan mengantar kalian ke KUA. Maafkan abah tidak bisa menjadi wali nikahmu, tetapi disana sudah menunggu wali hakim yang siap menikahkan kalian..”

Air mataku menetes lagi. Saat ini bukan karena sedih yang teramat sangat melainkan bahagia yang sangat membuncah di dada yang dikabarkan oleh seorang Abah yang sangat aku sayangi. Tanpa ragu akupun memeluk erat abah. “makasih abah.. makasih abah. Abah selalu tahu yang terbaik untuk Aini, makasih abah. Makasih..”

Kanda izal juga menangis senang dan berlutut dihadapan abah, “maafkan saya guru telah lancang seperti ini.. tetapi saya sangat berterima kasih karena guru telah merestui hubungan kami”

Abah melepaskan pelukanku dan menghampiri kanda izal, “kamu hanya perlu sedikit keberanian nak untuk berkata kepadaku. Tetapi nilai takzimmu yang mengalahkan keberanianmu itu. sekarang bawalah anakku, buatlah dia bahagia dan berikan aku cucu-cucu yang sholeh dan sholehah..”

“terima kasih guru.. terima kasih. Saya janji tidak akan membuat Neng Aini menangis dan kecewa. Saya akan membahagiakan dia melebihi guru ketika membuatnya tersenyum..” jawab kanda tegas.

“bagus.. bagus nak, aku tahu kamu memang punya kemampuan itu dan aku tidak meragukanmu “ jawab abah.

Dua Insan.. tak dikira.. tak disangka
Di taman depan pondok putri, terdapat dua sejoli yang sedang berjalan beriringan. Yang perempuan adalah Firdha dan satunya adalah Faqih anak dari pak Bambang saudagar yang kaya. “kenalkan namaku Faqih, nama kamu Firdha kan?”

“iya, loh kok kamu tahu namaku?”

“loh, memang sama abah dan umi kamu tidak dikasih tahu ya nama calon tunanganmu itu siapa? Padahal aku dulu pernah diajak sama Abahmu ketika mengunjungi pondokanmu. Disitu aku mulai melihatmu saat pertama kali..”

“jadi.. sebenarnya abah mau menjodohkan kamu dengan aku?” tanya Firdha

Faqih mengangguk pasti membuat Firdha terheran-heran setengah mati. “abah ini maunya seperti apa sih..” tanya Firdha di dalam hati penuh penasaran.

Related Post