Oleh: Mitahul Afkarina*
Sebelum penghujan tiba, nenek berkisah padaku perihal seorang perempuan yang duduk iftirasy di bawah pohon yang tumbuh di pinggiran desa.
Kata nenek, perempuan itu telah ada sejak ratusan bahkan ribuan tahun lalu. Tak ada yang tahu persis, bagaimana perempuan itu muncul. Matanya yang sebesar biji salak selalu berkedip halus. Pandangannya tak pernah lepas dari satu objek. Matahari. Rambutnya yang sehalus benang sutera terurai manis menutupi kelopak mata kanannnya. Entah apa yang dinanti.
Keabadian, katanya…
Hingga kemarau empat kali datang, aku masih menemuinya dibawah pohon itu dengan pakaian batik cokelat tua bercorak khas Jogja. Mungkin terbitan tahun 90-an.
Mulutnya menggariskan satu senyuman saat fajar menampakkan satu garis sebesar tali yang terbentang di langit bagian timur sana. Lalu, samar-samar cahaya jingga menghapus fajar itu dan menggantikannya dengan cahaya mentari pagi.
“Dia selalu menunggu matahari.” Kata nenek.Kemudian perlahan mata itu menutup. Mulutnya mengatup rapat seperti sedang menahan luka.
Tepat ketika sinar matahari menyentuh tubuhnya, perlahan kepala milik perempuan itu bergetar, bergerak, lalu terlepas, memisah kemudian melayang tinggi. Tinggi sekali menuju matahari. Sedang badannya masih bersandar di pohon itu.
Sekitar 15 detik, angin membawa turun satu kepala dengan mata tetap terpejam dan rambut yang menari-nari indah diambang udara. Kepala itu menyempurnakan bagian tubuh yang masih tetap ada dibawah pohon itu.
Perempuan itu utuh kembali. Ia membuka mata dengan pelan, kemudian tersenyum. Begitulah yang terjadi setiap pagi.
“Kenapa seperti itu, nek?”
“Perempuan itu ada sebelum nenek hidup. Kabar turunan yang nenek terima yaitu perempuan itu adalah penanggung nafas masyarakat desa ini. Entahlah! Baginya Tuhan itu siapa. Dan yang ia yakini telah menjadikannya hidup adalah kepala yang diisi daya oleh matahari itu.”
“Lalu apalagi yang ia lakukan nek?”
“Ia akan menciptakan angin besar ketika ada pertikaian di desa ini.”
Suatu ketika, April bersama kawan-kawannya telah pergi. Oktober membawa limpahan air yang menetes tipis dari atas sana. Langit tepatnya.
Ya, musim penghujan kembali tiba.
Perempuan itu tak ada bedanya seperti hari-hari yang lalu. Hanya saja, semalam ia telah mencakar batang pohon yang selama ini menjadi sandarannya menunggu matahari. Matanya mnerawang jauh mengharap malam cepat berlalu.
Ia kehabisan daya.
Siang itu, nyawa satu warga bernama sarinah telah tersentuh oleh kuasa izrail. 3 jam lamanya. Tarik ulur nafasnya menghabiskan energi perempuan penanggung nafas itu.
Kemudian, matahari yang dinantinya semalam ternyata tidak sesuai dengan harapannya. Kehadirannya terhalang oleh awan. Hanya sinar samar yang sampai pada lensa mata indahnya.
Ia tak kuasa. Kepalanya melayang terbang. Ramburnya berkibar bersama hembusan angin.
Sebelumnya tenang. Seakan meninggalkan pesan, semua akan baik-baik saja.
Sepuluh detik kemudian, kepala yang telah terisi penuh oleh daya meluncur bebas dengan ketinggian sekian meter.
Namun, angin besar bersama rintik hujan mangalihkan tujuan kepala itu untuk menemukan pasangannya. Ia hanya berputar-putar di udara bersama alur angin yang ingin membawanya pergi entah kemana.
Ini adalah pertama kalinya oktober memberikan cerita buruk pada perempuan itu. Mengembalikan ingatanku pada cerita masa kecilku dulu tentang nabi musa.
Badan yang menanti daya itu kini mengerut lalu mengering. Daun yang bertengger di cabang, tangkai dan ranting itu satu persatu gugur dengan perlahan. Namun, jasad kering tanpa kepala itu masih tetap duduk iftirasy menghadap kearah hadirnya pagi.
Cerita itu masih berlanjut. Tamatnya masa hidup perempuan itu menghentikan nafas para anak adam dan menghamburkan seluruh isi desa ini.
Hingga saat dalam keadaan kacau, Izrail kembali berkunjung bersama Izrail-Izrail lainnya yang siap membawa puluhan bahkan ratusan ruh yang terlepas dari jasad masing-masing menuju istana Arsy.
Dan kini, desa itu tak pernah mengenal waktu. Tak terikat meski 1 detik. Karena desa itu telah terisi penuh dengan angin yang kadang menderu, kadang pelan, kadang letih, kadang berhenti, kadang menangis, kadang merindu sosok perempuan itu.
Tak jauh dari kejadian itu, terdengar suara lengkingan keras yang jika dihitung mungkin mencapai 30 menit. Berasal dari langit sana.
Ah! Mungkin Isrofil sedang mencoba terompetnya.
*Siswi kelas XII PK MA Unggulan NURIS