Malang- Namaku Mohamad Fatkhul Zawamik, aku mahasiswa Universitas Brawijaya Malang, alumni SMA NURIS Jember. Aku adalah anak dari seorang petani kecil di ujung kabupaten Jember bagian selatan, Puger. Ayahku bekerja sebagai buruh, gaji yang didapat tidak menentu. Ibuku hanya ibu rumah tangga. Tapi aku tidak malu karena terlahir dari seorang anak desa, karena aku mempunyai keluarga yang sangat menyayangiku. Ini merupakan anugerah terbesar dari Allah dalam hidupku.
Aku mempunyai adik yang sekarang duduk MTs Unggulan NURIS Jember. Lumayan jauh sih antara adikku, karena renggang umur kita beda 4 Tahun. Tapi aku sangat bersyukur karena aku dan adikku masih bisa merasakan bangku sekolah. Masih banyak saudara-saudara kita yang belum mengenyam bangku sekolah sehingga aku tertantang pada saat ini untuk menentukan kemana arah tujuan masa depan yang akan aku tempuh. Yang pasti aku harus bisa merubah nasib kedua orang tua supaya menjadi lebih baik.
Santri, itu statusku. Banyak yang beranggapan bahwa santri itu kudet atau gaptek. Tapi realitas yang sesungguhnya banyak pejabat-pejabat negara yang dulunya menjadi seorang santri.
Perjalananku untuk bisa sampai di Universitas Terbaik Nomor 5 Se-Indonesia ini penuh misteri. Ketika mengikuti seleksi kuliah jalur undangan aku tidak mendapatkan izin dari orang tua karena aku berkeinginan untuk kuliah di kota orang. Saat pengumuman seleksi kuliah jalur undangan, alhasil aku tidak beruntung, aku gagal untuk seleksi pertama ini, memang benar ridho orang tua bersama dengan ridho Allah. Di situ aku sempat mengalami stres dan berfikir untuk bekerja saja. Akan tetapi untuk menenangkan diri aku memutuskan mengabdi di pondok pesantrenku, Pondok Pesantren Nuris Jember tercinta.
Satu bulan kemudian ketika posisiku masih berada di Pondok Pesantren Nuris Jember, aku mencoba untuk bangkit. Aku mencoba untuk mengikuti seleksi perguruan tinggi selanjutnya. Yaitu dengan peserta se-antero negeri ini yang diberi nama SBMPTN (Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Nasional). Ini merupakan jalur yang menurutku sangat berat, karena jalur ini metodenya menggunakan tes seleksi dengan soal yang melebihi taraf Ujian Nasional, di saat itu persiapanku hanya kurang lebih satu minggu. Sempat berfikir apakah aku bisa? Apakah aku mampu melakukan tes tersebut dengan hanya waktu kurang lebih satu satu minggu? Sungguh berat.
Aku teringat dawuh (perkataan) Kyai saat ngaji bersama teman-teman santri Pondok Pesantren Nuris Jember yaitu “takdim kepada guru lebih baik dari pada belajar”. Nasehat itu membuat hatiku bergetar untuk menyerahkan semuanya pada Allah. Karena waktu itu kegiatanku setiap hari di Pondok Pesantren Nuris Jember bukan mengikuti bimbingan belajar ataupun menjadi tenaga pengajar. Melainkan hanya bersih-bersih, memasak makanan bagi teman-teman santri, dan menemani Kyai yang mana pada saat itu kondisi Kyai sendiri sedang sakit. Alhamdulillah dengan izin Allah saya bisa. Bisa apa? Saya bisa kuliah di Universitas terbaik Ke-5 di Indonesia. Salah satu universitas paling bergengsi di Indonesia, karena banyak siswa yang ingin masuk di perguruan tinggi tersebut.
Arus globalisasi membawa pengaruh bagi siswa saat ini. Terjajahnya budaya ketimuran yang semakin hari semakin terkikis oleh budaya barat membawa dampak negatif bagi generasi bangsa. Salah satunya mengenai moralitas anak bangsa. Banyak siswa yang mempunyai intelektual yang hebat. Tapi, untuk masalah moral masih jarang kita temui saat ini.
Menurutku, kesuksesan seseorang tidak terletak dari kemampuan intelektualnya, melainkan moralitas diri seseorang karena ketika seseorang itu pintar tetapi tidak mempunyai moral yang baik kepada guru, apalah daya. Karena kunci dari sukses dan keberkahan ilmu itu sendiri terletak bagaimana takdim kita kepada guru.
(Baca juga: Trik Ampuh Meraih Beasiswa Kuliah S2 Di IPB Bogor)
(Baca juga: Santri Nuris Kuliah di Kota Never Ending Asia: Santri Yes, Mahasiswa No Problem)
By: Mohammad Fatkhul Zawamik, alumni SMA NURIS Jember tahun lulusan 2015/2016