S o a l:
Apabila ada orang yang meninggal dunia, para keluarga atau orang yang hadir di tempat itu membimbing orang yang sedang sakarat al-maut agar mengucapkan kaimat tauhid. Hal ini juga dilakukan ketika menguburkan mayit. Mereka membacakan bacaan-bacaan yang dimaksudkan untuk menuntun mayyit di dalam kubur agar dapat menjawab pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir. Inilah yang disebut dengan talqin. Bagaimanakah hukum talqin tersebut? Apakah dibenarkan dalam islam ?
J a w a b:
Para ulama membagi dua bentuk talqin. Yakni talqin yang dilakukan pada saat sakarat al-maut. Kedua adalah talqin yang dikerjakan pada saat pemakaman jenazah. Kedua jenis talqin tidak bertentangan dengan syari’at islam, bahkan dianjurkan oleh Nabi SAW. Mengenai bentuk talqin pada orang yang akan meninggal dunia, Imam Nawawi menuturkan dalam Fatawi al-Imam al-Nawawi:
تَلْقِيْنُ الْمُحْتَضِرِ قَبْلَ الْغَرْغَرَةِ لَااِلَهَ اِلَّااللهُ سُنَّةٌ لِلْحَدِيْثِ فِي صَحِيْحِ مُسْلِمٍ وَغَيْرِهِ ” لِقِّنُوْا مَوْتَا كُمْ لَاإِلَهَ إِلَّا اللهُ”وَاسْتَحَبَّ جَمَاعَةٌ مِنْ اَصْحَا بِنَا مَعَهَا: مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم. وَلَمْ يَذْكُرِ الْجُمْهُوْرُ .(فتاوى الا مام النووي ص٨٣)
“Mentalqin (membimbing untuk membaca kalimat tauhid) orang yang akan meninggal dunia sebelum nafasnya sampai di tenggorokan itu disunnahkan . Berdasarkan Hadist yang terdapat dalam Shahih Muslim dan lainnya, “Talqinkanlah orang yang akan mati di antara kamu dengan ucapan la’ilaha illa Allah”. Sekelompok sahabat Imam Syafi’i menganjurkan (agar bacaan tersebut) ditambah dengan ucapan Muhammad al-Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Namun mayoritas ulama mengatakan tidak perlu ditambah dengan ucapan tersebut.” (Fatawi al-Imam al-Nawawi, 83)
Sedangkan talqin yang dilaksanakan ketika mayit baru dikuburkan, juga disunnahkan. Sebagaimana yang disampaikan Imam Nawawi dalam al-Adzkar:
وَاَمَّا تَلْقِيْنُ الْمَيِّتِ بَعْدَ الدَّفْنِ فَقَدْ قَالَ جَمَاعَةٌ وَكَثِيْرٌ مِنْ اَصْحَا بِنَا بِا سْتِحْبَا بِهِ وَمِمَّنْ نَصَّ عَلَى اسْتِحْبَا بِهِ الْقَا ضِى حُسَيْنٌ فِيْ تَعْلِيْقِهِ وَصَا حِبُهُ أَبُوْ سَعِيْدٍ اَلْمُتَوَلِّيْ فِيْ كِتَابِهِ التَّتِمَّةِ وَالشَّيْخُ الْإِمَامُ أَبُوْ الْفَتْحِ نَصْرُ بْنُ اِبْرَاهِيْمَ اَلْمَقْدِ سِيُّ وَالْإِمَامُ أَبُوْ الْقَا سِمِ اَلرَّافِعِيُّ وَغَيْرُهُمْ وَنَقَلَهُ اَلْقَا ضِيْ حُسَيْنٌ عَنِ الْأَصْحَابِ.(الأذكا النو ويةص٢٠٦ )
“Membaca talqin untuk mayit setelah dimakamkan adalah perbuatan sunnah. Ini adalah pendapat sekelompok ulama serta mayoritas ulama syafi’iyyah. Ulama yang mengatakan kesunnahan ini di antaranya adakah Qadli Husain dalam Kitab Ta’liq-nya, sahabat beliau yang bernama Abu Sa’d al-Mutawalli dalam kitabnya al-Tatimmah, Syaikh Imam Abu al-Fath Nashr bin Ibrahim al-Maqdisi, al-Imam Abu al-Qasim al-Rafi’i, dan lainnya. Al-Qadhi Husain menyitir pendapat ini dari kalangan syafi’iyyah.”(Al-Adzkar, al-Nawawiyyah, 206)
Baca juga : (Hujjah Aswaja: Menyuguhkan Makanan Kepada Orang Yang Ta’ziah)
Kesunnahan ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Abi Umamah:
عَنْ أَبِيْ أَمَامَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ إِذَا أَنَا مُتُّ فَاصْنَعُوْا بِي كَمَا أَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّي اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ أَنْ نَصْنَعَ بِمَوْتَانَا. أَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ فَقَالَ إِذَا مَاتَ أَحَدٌ مَنْ إِخْوَانِكُمْ فَسَوَّيْتُمُ التُّرَابَ عَلَى قَبْرِهِ فَلْيَقُمْ اَحَدٌ عَلَى رَأْسِ قَبْرِهِ ثُمَّ لِيَقُلْ: يَافُلَانُ ابْنُ فُلَاَنَةَ فَاِنَّهُ يَسْمَعُهُ وَلَا يُجِيْبُ ثُمَّ يَقُوْلُ يَافُلَانُ بْنُ فُلَانَةَ فَإِنَّهُ يَسْتَوِى قَاعِدًا. ثُمَّ يَقُوْلُ يَافُلَانُ بْنُ فُلَاَنَةَ فَإِنَّهُ يَقُوْلُ: اَرْشِدْنَا يَرْحَمْكَ اللهُ وَلَكِنْ لَا تَشْعُرُوْنَ فَلْيَقُلْ أُذْكُرْ مَاخَرَجْتَ عَلَيْهِ مِنَ الدُّنْيَا شَهَادَةَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّااللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ وَأَنَّكِّ رَضِيْتَ بِاللهِ رَبًّا وَبِالْإِ سْلَامِ دِيْنًا وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيَّا وَبِالْقُرْأَنِ إِمَامًا فَإِنَّ مُنْكَرًا وَنَكِيْرًا يَأْخُذُ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِيَدِ صَا حِبِهِ. وَيَقُوْلُ اِنْطَلِقْ بِنَا مَا يُقْعِدُنَا عِنْدَ مَنْ قَدْ لُقِّنَ حِجَّتُهُ. فَقَالَ رَجُلٌ يَارَسُوْلُ اللهِ فَإِنْ لَمْ يُعْرَفْ أُمُّهُ؟قَالَ يَنْسُبُهُ إِلَى أُمِّهِ حَوَّاءَ: يَافُلَانُ بْنُ حَوَّاءَ.(رواه الطبراني)
“Dari Abi Umamah RA, beliau berkata, “Jika aku kelak telah meninggal dunia, maka perlakukanlah aku sebagaimana Rasulullah SAW memperlakukan orang-orang yang wafat di antara kita. Rasulullah SAW memerintahkan kita, seraya bersabda, “Ketika di antara kamu ada yang meninggal dunia, lalu kamu meratakan tanah di atas kuburannya, maka hendaklah salah satu di antara kamu berdiri pada bagian kepala kuburan itu seraya berkata, “Wahai Fulan bin Fulanah”. Orang yang berada dalam kubur pasti mendengar apa yang kamu ucapkan, namun mereka tidak dapat menjawabnya. Kemudian (orang yang berdiri di kuburan ) berkata lagi ,”Wahai Fulan bin Fulanah”, ketika itu juga si mayit bangkit dan duduk dalam kuburannya. Orang yang berada di atas kuburan itu berkata lagi, “Wahai Fulan bin Fulanah”, maka si mayit berucap, “Berilah kami petunjuk, dan semoga Allah akan selalu memberi rahmat kepadamu”. Namun kamu tidak merasakan ( apa yang aku rasakan disini). (Karena itu) hendaklah orang yang berdiri diatas kuburan itu berkata, “Ingatlah sewaktu engkau keluar ke alam dunia, engkau telah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan Nabi Muhammad adalah hamba serta Rasul Allah. (Kamu juga telah bersaksi) bahwa engkau akan selalu ridha menjadikan Allah sebagai Tuhanmu, Islam sebagai agamamu, Muhammad sebagai Nabimu, dan al-Qur’an sebagai imam(penuntun jalan)mu. (Setelah dibacakan talqin ini) malaikat Munkar dan Nakir saling berpegangan tangan sambil berkata, “Marilah kita kembali, apa gunanya kita duduk (untuk bertanya) di muka orang yang dibacakan talqin”. Abu Umamah kemudian berkata, “Setelah itu ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah SAW.”Wahai Rasulullah, bagaimana kalau kita tidak mengenal ibunya?”Rasulullah menjawab, “(Kalau seperti itu) dinisbatkan saja kepada ibu Hawa, “Wahai Fulan bin Hawa.”(HR. Thabarani)
Memang, mayoritas ulama mengatakan bahwa Hadits tentang talqin ini termasuk Hadits Dha’if, karena ada seorang perawinya yang tidak cukup syarat untuk meriwayatkan Hadits. Namun dalam rangka fadha’il al-a’mal, Hadits ini dapat digunakan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Sayyid ‘Alawi bin Abbas al-Maliki al-Hasani:
وَاْلحَدِيْثُ وَاِنْ كَانَ ضَعِيْفًا يُعْمَلُ بِهِ فِي فَضَائِلِ الْاَعْمَالِ خُصُوْصًا وَقَدْ انْدَرَجَ تَحْتَ اَصْلٍ كُلِّيٍّ وَهُوَ نَفْعُ اْلمُؤْمِنِ اَخَاهُ وَتَذْكِيْرُهُ فَاِنَّ الذِّ كْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِيْنَ. (مجموع فتاوى ور سا ئل، ص١١١)
“Sekalipun Hadits tentang talqin itu merupakan Hadits Dha’if, namun dapat diamalkan dalam rangka fadhail al-a’mal. Lebih – lebih karena Hadist itu masuk pada ketegori prinsip yang universal, yakni usaha seorang mukmin untuk memberi (dan membantu) saudaranya, serta untuk memperingatkannya karena peringatan itu akan dapat bermanfaat kepada orang mukmin.” (Majmu’ Fatawi wa Rasa’il, 111)
Kesunnahan talqin ini juga ditegaskan oleh Ibn Taimiyah. Sebagaimana dikutip dalam Nur al-Yaqin fi Mabhats al-Talqin:
اَلْأَدَلَةُ النَّقْلِيَّةُ: مِنْهَا مَا نَقَلَهُ شَيْخُ الْإِسْلاَمِ تَقِيُّ الدِّ يْنِ ابْنُ تَيْمِيَّةَ الْحَرَّانِي فِي الْمُجَلَّدِ الْاَوَّلِ صَحِيْفَةِ٢٤٢مِنْ فَتَوِيْهِ حَيْثُمَا سُئِلَ عَنْ سُنِّيَّةِ التَّلْقِيْنِ وَاِثْبَاتِهِ بِالدَّلِيْلِ قَالَ رَحِمَهُ اللهُ: هَذَا التَّلْقِيْنُ المَذْكُوْرُ قَدْثَبَتَ عَنْ طَا ئِفَةٍ مِنَ الصَّحَا بَةِ اَنَّهُمْ اَمَرُوْا بِهِ كَأَبِى اُمَا مَةَ الْبَا هِلِى وَغَيْرِهِ وَرُوِيَ فِيْهِ حَدِيْثٌ عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم.. الى ان قال.. وَالَّذِي فِى السُّنَنِ عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم اَنَّهُ كَانَ يَقُوْمَ عَلَى قَبْرِ الرَّجُلِ مِنْ اَصْحَابِهِ اِذَا دُفِنَ، وَيَقُوْلُ سَلُوْالَهُ التَّثْبِيْتَ فَإِنَّهُ الْآنَ يُسْأَ لُ وَقَدْ ثَبَتَ فِى الصَّحِيْحَيْنِ اَنَّ النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ لَقِّنُوْا مَوْ تَا كُمْ لَااِلَهَ اِلَّا اللهُ. فَتَلْقِيْنُ الْمُحْتَضَرِ سُنَّةٌ مَأْمُوْرٌ بِهَا. وَقَدْ ثَبَتَ اَنَّ الْمَقْبُوْرَ يُسْأَلُ وَيُمْتَحَنُ وَاَنَّهُ يُؤْمَرُ بِاالدُّعَاءِ لَهُ فَلِهَذَا قِيْلَ اِنَّ التَّلْقِيْنَ يَنْفُعُهُ فَاِنَّ الْمَيِّتَ يَسْمَعُ النِّدَاءَ كَمَا ثَبَتَ فِي الصَّحِيْحِ عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم اَنَّهُ قَالَ اَنَّهُ لَيَسْمَعُ قَرْعَ نِعَالِكُمْ. وَاَنَّهُ قَالَ مَا اَنْتُمْ بِاَسْمَعَ لِمَا اَقُوْلُ مِنْهُمْ. وَاَنَّهُ اَمَرَنَا بِاالسَّلاَمِ عَلَى الْمَوْتَى فَقَالَ ” مَا مِنْ رَجُلٍ يَمُرُّ بِقَبْرِ الرَّجُلِ كاَنَ يَعْرِفُهُ فِى الدُّنْيَا فَيُسَلِّمُ اِلاَّ رَدَّ اللهُ عَلَيْهِ رُوْحَهُ حَتَّى يَرُدَّ عَلَيْهِ السَّلاَمُ” واللهُ اعلم (نور القين في مبحث التلقين، ٦־٧)
“Di antara dalil naqli (tentang kesunnahan talqin) adalah seperti dinukil oleh Syaikh al-Islam Taqiyyudin Ibn Taimiyyah al-Harrani pada juz pertama halaman 242 dari kitab Fatawi karangannya, ketika ia ditanya tentang kesunnahan talqin dan ketetapannya berdasarkan dalil, beliau menjawab, “Talqin yang telah disebutkan itu, telah ditetapkan oleh segolongan sahabat bahwa mereka telah memerintahkannya, seperti Abu Umamah al-Bahili serta beberapa sahabat lainnya. Di dalamnya diriwayatkan sebuah hadits tentang hal ini….(seterusnya)…. dalam beberapa Sunnah disebutkan bahwa Nabi SAW berdiri di depan kuburan seorang laki-laki dari sahabat ketika dimakamkan. Beliau SAW bersabda, “Hendaklah kalian mendoakan mayyit tersebut agar diberi ketegaran hati, sebab sekarang ia sedang diuji(oleh Malaikat Munkar dan Nakir). Disebutkan dalam kitab Shahihain (Bukhari-Muslim) bahwa Nabi bersabda, “Talqinkanlah setiap orang mati diantara kamu sekalian dengan kalimat la ilaha illallah”. Maka, mentalqin orang yang sedang menghadapi sakaratul maut adalah perkara sunnah yang dianjurkan. Telah disebutkan dalam Hadits bahwa orang yang ada di dalam kubur akan ditanya dan di uji oleh dua malaikat, sedangkan orang yang masih hidup diperintahkan untuk mendo’akan mereka. Karena inilah, ada yang berpendapat bahwa talqin dapat memberikan manfaat mayit di kuburnya. Sebab mayyit itu mendengar panggilan tersebut. Sebagaimana yang disebutkan dalam Hadits Shahih dari Rasulullah SAW, beliau menyatakan bahwa mayyit itu dapat mendengar derap langkah sandalmu. Dan sesungguhnya Rasulullah SAW juga bersabda, “Kamu sekalian (wahai kaum muslimin) tidak lebih mendengar dari mereka tentang apa yang aku katakan kepada mereka”. Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah seorang melewati kuburan orang lain yang ia kenal sewaktu di dunia kemudian ia mengucapkan salam kepada ahli kubur, Allah SWT akan mengembalikan ruhnya untuk menjawab salam tersebut.” (Nur al-Yaqin fi Mabhats al-Talqin, 6-7)
Kaitannya dengan Firman Allah SWT:
وَمَا أَنْتَ بِمُسْمِعٍ مَنْ فِى الْقُبُوْرِ. (الفطر:٢٢)
“Dan engkau (wahai Muhammad) sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang di dalam kubur dapat mendengar.” (QS. Al-Fathir,22)
Yang dimaksud dengan kata man fi al-qubur (orang yang berada di dalam kubur) dalam ayat di atas adalah orang kafir. Sebagaimana dijelaskan dalam Tafsir al-Khazin:
يَعْنىَ الْكُفَّارَ شَبَّهَهُمْ بِاالْأَمْوَاتِ فِى الْقُبُوْرِ لِأَنَّهُمْ لَايُجِيْبُوْنَ إِذَا دُعُوْا (الخازن ج ٧ ص ٢٤٧)
“Maksudnya ialah orang-orang kafir yang diserupakan orang mati karena sama-sama tidak menerima dakwah.” (Tafsir al-Khazin, Juz V, hal. 347)
Kata mati tersebut adalah metaforis dari hati mereka yang mati. Dengan demikian dapat dipahami bahwa orang yang beriman itu di dalam kubur bisa mendengar suara orang yang membimbing talqin tersebut dengan kekuasaan Allah SWT. Hal ini dapat diperkokoh dengan kebiasaan Rasulullah SAW apabila berziarah ke kuburan selalu mengucapkan salam. Seandainya ahli kubur tidak mendengar salam Rasulullah SAW, tentu Rasulullah SAW melakukan sesuatu yang sia-sia, dan itu tidak mungkin . Wallahu A’lam.
Dari paparan ini, maka pelaksanaan talqin itu tidak bertentangan dengan ajaran agama bahkan sangat dianjurkan (sunnah). Baik dilakukan pada saat seseorang menjemput ajalnya, atau pada saat mayyit telah dimakamkan.
Sumber: KH Muhyiddin Abdusshomad. 2010. Fiqih Tradisionalis. Surabaya: Khalista.