Oleh: Fausiah, S.Pd.I
Pengurus Putri PP. Nurul Islam
Tetaplah menjadi sahabat, teman dan saudara
Walau tak sedikitpun kita sama dalam banyak hal.
Indah memang jika bangsa kita bisa melafalkan ungkapan di atas tanpa berat hati. Negara kita memang memiliki semboyan yang menyiratkan persatuan, mengajak untuk senantiasa berjalan seiring dengan tanpa saling melepas tangan. Namun hingga saat ini, semboyan bhinneka tunggal ika jarang sekali termaknai secara utuh dalam prakteknya. Yang mengakar hanyalah arti dari bhinneka, yakni berbeda-beda. Sedangkan tunggal ika berganti peran sebagai pelengkap kalimat yang hampir terlupakan esensinya.
(Baca juga: ADA APA DENGAN CINTA 2?)
Banyak orang menyatakan ungkapan-ungkapan persatuan dengan fasih, dengan maksud dan tujuan yang berbeda-beda sesuai kepentingan masing-masing, semisal sebagai obor penerang saat gelap datang di tengah perjalanan, sebagai pengokoh pondasi bangunan bangsa, sebagai ruh ragam kemandirian dan ketentraman interaksi, atau hanya sebagai topeng penutup wajah.
Tidak sedikit yang mencoba memperkenalkan diri pada khayalak dan sama-sama mengaku bermaksud membangun, mengubah, atau mengembangkan dan mempersatukan dengan membawa tanda “pengenal” yang berbeda-beda. Tentu sangat membuat bingung yang menjadi penonton karena ternyata hal ini adalah awal mula dari ajakan baik secara tersirat maupun tersurat, yang terkadang dibumbui dengan beberapa “sedekah”.
Pada perjalanannya tentu semua akan terbaca, karena telah banyak yang melihat dan mengamati. Beberapa bendera atau tanda pengenal yang berbeda tidak hanya sabagai simbol usaha pembangunan dalam arti pemberdayaan bangsa. Ya, arti lainnya memang juga pemberdayaan, tapi beberapa telah mengarah pada pemberdayaan diri dan kelompok. Dan tampaknya, hanya cenderung pada usaha peningkatan pamor demi mendapatkan “jama’ah” yang lebih banyak. Akibatnya, khitthah persatuan kita sedikit demi sedikit makin menjauh, atau bahkan sengaja ditenggelamkan dengan menghadirkan makna baru sesuai warna masing-masing.
Sebagian banyak masih nyenyak dibuai mimpi indah dari para pengibar bendera. Membangun lalu sejahtera.. Padahal di sana telah tersusun rapi niat yang menuju jalan lain, bukan jalan yang kita inginkan. Ringkasnya, makna itu terlanjur mengakar sebagai asas kelompok.
Yang menjadi masalah adalah ketika pada masing-masing kepala tanpa disadari terbentuk suatu pemikiran yang tidak lagi imbang, sehingga sering terlontar, “Warna sayalah yang paling benar dan paling dapat membangun dan menyejahterakan!”. Ungkapan seperti ini tentu amat menguntungkan bagi kelompok yang bersangkutan, tidak bagi yang menyatakan. Bahkan, tidak jarang hal tersebut dapat merugikan banyak pihak. Karena dengan ini, ragam hanya sekedar ragam, tanpa disadari bahwa persatuan ada di dalamnya. Mirisnya, kata-kata bersatu hanya terucap secara spontan tanpa tujuan yang menyeluruh, sebatas bersatu di antara kita yang satu warna, atau hanya sebagai umpan. Akibatnya, perselisihan terjadi di berbagai tempat. Lagi-lagi mencontoh yang dianggap benar sebagai kiblat. Dan lagi-lagi karena sisi akal terlnajur tidak seimbang.
Seiring dengan ngetrennya persoalan di atas, ada baiknya kita salurkan kesejukan fungsi hati untuk menetralisir racun yang sering mempengaruhi dan memperdaya akal hingga tidak tepat guna. Perlu disadari bahwa setiap orang punya racun beserta penangkalnya. Ada nafsu dan nurani yang dapat berjalan seimbang bila diinginkan.
Yang dimaksud dalam hal ini adalah melangkah dengan hati, tidak hanya dengan akal. Karena ada nafsu yang berperan sebagai racun, yang senantiasa mengawasi dan sesekali menyumbang peran bila senggang atau akal sedang istirahat. Buktinya, banyak orang baru merasa kehilangan haknya pada saat mereka telah lama tidak makan. Banyak anak-anak tidak memiliki peralatan sekolah yang lengkap karena anak-anak yang lain terlampau sejahtera dengan koleksi barang-barang tak penting. Banyak orang kekurangan air minum karena air bersih dihambur-hamburkan di tempat lain. Banyak kalangan merasa kehilangan keseimbangan akalnya pada saat semua telah kadaluarsa untuk dibenahi. Ini yang perlu dipikirkan pemecahannya, dan barangkali jauh lebih penting dari pada menggeser arah semboyan bangsa kita demi tujuan yang seakan-akan untuk membangun. Pula, ini juga merupakan salah satu akibat dari pergeseran makna tersebut. Hak-hak rakyat kecil menjadi salah alamat atau tersangkut di tangan-tangan yang salah fungsi.
Gerak hati, memang terdengar sepele, tapi ini sebenarnya induk yang dapat membangun dan membangunkan yang belum tersadar dari tidur panjang, yang mampu menyeimbangkan berbagai hal, dan dapat menempatkan sesuatu pada tempatnya sesuai porsi tanpa merugikan yang lain, sehingga makna semboyan kita kembali utuh.*
Maka, mari bersama nyalakan lilin dengan nilai juang dari hati