Pemimpin Harus Memperjuangkan Syari’at Islam

 Oleh: KH.Luthfi Bashori

Hidup di dunia membutuhkan pemimpin yang betul-betul mampu mengatur urusan umat, sehingga umat dapat beribadah kepada Allah dengan tenang. Pemimpin merupakan salah satu figur bagi suatu kaum baik itu Negara, Bangsa, maupun Agama. Terlepas dari itu, pemilu 2014 sudah tinggal menghitung bulan. Antrian calon pemimpin umat silih berganti menghiasi berita media massa.

Baca Juga: (Jangan Kotori Ilmu dengan Maksiat)

Semua berharap yang terbaik untuk indonesia, meski terganjal pertanyaan ringan; seperti apakah pemimpin yang baik dan benar? Apakah harus sesuai dengan syari’at Islam? Berikut petikan wawancara reporter Majalah Nuris “ M. Tamim Murrahman dengan KH. Luthfi Bashori Pengasuh Pesantren Ribath A-Murtadla Al-Islami Singosari Malang.

Menurut Kyai, sosok pemimpin yang baik menurut Islam itu seperti apa?

Pertama, saya meyakini adalah seorang laki-laki, karena selama ini saya mengikuti madzhab yang mengatakan bahwa pemimpin wanita itu tidak baik untuk Islam, secara dzahir dalam hadits “ Lan yufliha qaumun wallau amrahum imraatan”. Jadi saya sejak SD tidak pernah memihak terhadap pemimpin wanita, karena saya menghormati hadits tadi.

Yang kedua adalah orang yang mau memperjuakan syari’at Islam, dengan cara apa? Seperti Perda anti kemaksiatan, jika tidak sanggup memperjuangkan perda anti kemaksiatan tak perlu menjadi pemimpin di masyarakat.

Menyongsong Pilpres 2014, adakah pemimpin/calon presiden yang sudah memenuhi kriteria tersebut?

Menurut jawaban saya belum ada, karena mereka masih belum memiliki pandangan tantang syari’at Islam, semuanya masih bicara tentang kebangsaan, sedangkan mayoritas penduduk di indonesia semuanya muslim, sampai-sampai mereka takut untuk mengatakan “faquulusyhadu bianna muslimin” meskipun sebenarnya mereka seorang muslim.

Bagaimana jika sosok figur yang kita inginkan sekarang ini sudah tidak ada, apakah kita harus diam dengan keadaan ini, ataukah bergerak dengan memilih presiden dengan ketentuan yang sudah ada?

Jika keadaannya darurat seperti itu, setidaknya pemimpin itu beragama Islam dan tidak banyak liberalnya, jadi kita harus memilih seorang yang lebih taat dari sekian banyak calon yang ada. Saya berharap bahwa kitab Fathul Mu’in juga menjadi landasan UUD 1945 terutama di bab jinayat karena semuanya belajar kitab itu.

Sekarang partai politik banyak mengusung presiden, yang hampir semua partai berlatar belakang Ormas Islam, selain itu, ada juga kelompok yang ramai membicarakan tentang konsep khilafah, menurut Kyai mana yang paling baik?

Kalau konsep kekhalifannya HTI saya tidak setuju, karena ada hadits yang berbunyi “al-khilafatu fi ummati tsalatsuna sanatan, tsumma mulkun ba’da dzalik…” (HR. Ahmad dan Tirmdzi). Artinya kekhalifan itu hanya tiga puluh tahun yaitu kepemimpinan Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali. Setelah itu tidak disebut kekhalifan lagi, melainkan penguasa (muluk). Jadi pada zaman Muawiyyah itu adalah kerajaan bukan kekhalifahan, karena itu warisan. Hanya saja penyebutannya dengan Khalifah. Semua itu muluk, dan muluk bisa berupa presiden, Perdana Menteri, dan sebagainya.*

Related Post