Oleh: M. Rijal Muzakki*
*Penulis adalah mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, alumni MA Unggulan Nuris Jember tahun 2014
Maulana Jalaluddin Rumi pernah mengatakan : “ Jika kau terapkan pengetahuan hanya pada jasadmu saja, maka ia akan menjadi ular yang berbisa. Tapi bila kau terapkan ia pada hatimu, ia akan menjadi temanmu yang senantiasa menuntunmu“.
Seorang muslim yang telah kehilangan perasaan kemahlukannya, ia akan berhenti sebagai muslim dengan arti yang sesungguhhnya. Islam adalah agama yang senantiasa mengajarkan kita untuk saling mengasihi, menyayangi bahkan melawan terhadap hal-hal yang menindas orang lain. Teriakan aktivis semisal dengan kata semboyan mereka,”Lawan “. Itu adalah salah satu ekspresi cara mereka menafsirkan agama, bagaimana agama itu tidak mengekang namun menggembirakan.
Kita lihat semisal perjuangan kaum Nahdliyyin di daerah pegunungan Kendeng yang memperjuangkan hak hak mereka sesuai aturan yang ada dengan meminta agar pembangunan pabrik di hentikan. Kenapa ??? Simplenya adalah semisal keseimbangan alam yang akan goyah, hilangnya ladang produktif pertanian yang merupakan sumber utama masyarakat sekitar, debu yang dapat menimbulkan udara tak sehat terhadap udara sekitar dan masih banyak lagi selain dari aspek hukum secara konstitusi yang memang telah memenangkan masyarakat.
(baca juga: Pemuda Berbudaya Santri, Berpikiran Modern )
Seiring dengan semakin majunya tekhnologi yang ada, berita semakin mudah untuk diakses, berita maupun wacana dan opini pun berseliweran dengan bebasnya tanpa memperhatikan kaidah bahkan tak jarang terkadang berita yang ada di dalamnya palsu alias hoax.
Sehubungan dengan hal tersebut, tak jarang timbul konflik berkepanjangan yang merembet ke isu sara, kekerasan bahkan ke ranah penyelewengan hukum lainnya. Tentu saja hal ini sangat miris jika tidak segera ditanggulangi. Dalam ajaran agama Islam khususnya, tentu saja hal ini sangat di larang karena sangat jelas dampak negatif yang ditimbulkannya berkepanjangan dan dapat menimbulkan sifat-sifat yang tidak sesuai dengan apa yang telah di contohkan oleh Rasulullah SAW. Dengki, iri, dendam bahkan penipuan dan pembunuhan bisa saja terjadi.
“Fitnah lebih kejam dari pembunuhan “. Kira-kira kata tersebut yang sering kita dengar. Dampak sosial maupun moral yang ditimbulkan pun sangat parah akibat adanya hal ini. Hoax atau berita palsu memang harus di tangani dengan serius. Dalam kajian sosiologis, orang yang sering terkena hoax, cenderung arogan dan pemarah, apalagi jika hal tersebut berkaitan dengan keyakinan atau agama. Tak sedikit kasus yang muncul akibat fitnah atau hoax ini yang berakhir dengan merenggut nyawa orang lain.
Sudah saatnya bagi para generasi muda untuk menjadi seorang pemuda yang cerdas dalam bermedia. Dalam skala sehari-hari semisal, seperti update status, story maupun dalam membuat artikel pendek yang di buat. Memang itu adalah hal yang sepele, akan tetapi coba kita rasionalkan perlahan-lahan. Pertama, ada berapa teman dalam sosial media kita? Ada berapa peluang orang yang akan membaca atau hanya sekedar meng-like semisal.
Semisal ada 50 orang dan yang bisa berpengaruh terhadap apa yang telah kita tuliskan semisal ada 10 orang, nah di situlah letak kebaikan yang telah kita lakukan. Jika hal ini terus-terusan di biarkan, bukan tidak mungkin sosial media akan menjadi sarang tempat kampanye isu sara, kekerasan dan berita-berita tak bermutu. Dalam Islam sudah jelas bahwasanya menyampaikan berita palsu adalah suatu hal yang di larang. Bahkan, bisa di kategorikan fitnah. Sudah seharusnya bagi para pengguna sosial media untuk lebih jeli dan teliti dalam mengecek kebenaran sebuah berita.
Memastikan sebuah kebenaran dalam berita pun memang sulit untuk sekarang ini, apalagi mengkajinya secara mendalam dan detail. Tak lain adalah karena dibutuhkannya respon cepat agar berita ini pun tidak segera menimbulkan dampak yang lebih berbahaya. Cara yang paling mudah mungkin adalah dengan dialektika sistematis dalam menanggapi hal tersebut, semisal lewat komentar maupun diskusi dalam sebuah lingkaran-lingkaran kecil, karena anggapan sepele inilah yang terkadang justru di manfaatkan oleh para penyebar tulisan yang tidak bertanggung jawab.
Selain dari hal tersebut adalah agar kita menjadi seorang pengguna sosial media yang baik adalah dengan menambah pengetahuan. Membaca adalah jendela dunia. Orang yang berilmu jelas tidak akan dengan mudah menghakimi, mengiyakan atau mentidakkan sebuah berita. Jika penjelasan atau narasi dalam sebuah berita terdapat ketidak sinambungan, sudah dapat di pastikan bahwasanya hal tersebut tidak benar adanya. Rasionalisasi, sistem penjelasan yang bagus adalah salah satu ciri-ciri tulisan yang baik.
Membaca, diskusi dan aksi adalah hal yang menjadi satu keatuan. Jika bebas di maknai sebagai suatu yang tanpa batas maka tak akan pernah ada rasa hormat dan menghargai satu sama lain. Apalagi kasih sayang antar sesama. Bebas atau kebebasan yang sesungguhnya adalah kebebasan yang di batasi oleh kebebasan orang lain. Begitupun dalam ber-media dan menyampaikan berita. Jika dirasa apa yang di sampaikan dapat menimbulkan sebuah dampak yang negatif, sudah seharusnya hal tersebut untuk segera di tanggulangi dengan menanggapi secara logis, dengan bahasa yang baik, lembut namun tidak mengurangi unsur kritis dalam sebuah tulisan.
Sikap kritis adalah suatu hal yang baik jika disampaikan dengan cara yang baik, lembut dan mengandung unsur-unsur yang membangun. Bukan dengan tanggapan yang ingin menjtuhkan lawan dengan cara-cara yang tidak baik, bahasa kasar atau bahkan kata yang tidak pantas. Itulah alasan kenapa salah satu tujuan agama islam sendiri adalah memperbaiki dan membangun akhlaq. Tulisan adalah salah satu cerminan akhlaqmu selama ini. Jika mulutmu adalah harimaumu, maka tulisanmu adalah pedangmu. Ketidaksetujuan adalah hal yaang wajar, namun menjatuhkan lawan dengan hal yang tidak pantas adalah bukti bahwa kita tidak mampu seperti dirinya.