Pesantren Nuris-“Kecacatan yang sesungguhnya adalah kecacatan hati yang sudah tumpul dan tidak peduli terhadap penderitaan sesama.”
Sepenggal kalimat tersebut tertata rapi di salah satu dinding Perpustakaan Daerah (Perpusda) Jember, Jalan Letjen Panjaitan 49 Jember. Segenggam gagasan yang dilayangkan oleh Perempuan nomor satu di Jember, dr. Hj. Faida, MMR jadi titik fokus ketika saya memasuki ruangan yang telah rapi disbanding sebelumnya (di mana ketika sekitar sebulan yang lalu saya ke sana, buku-buku di rak perpustakaan masih berantakan, tidak sesuai dengan mesin pencari, mencari satu judul saja sulit!). Hanya lewat kalimat pendek dari bupati yang memiliki slogan -‘Jember Baru, Jember Bersatu’ dan pernah tidak memberikan ijin kepada organisasi saya di kampus untuk menggunakan alun-alun Jember sebagai tempat agenda tahunan pelestarian budaya Jember- (baca: Karnaval Musik Patrol)itu, kita dapat melihat sekilas tentang sedikit kepedulian pemerintah terhadap dunia literasi, bahkan penyandang disabilitas sekalipun. Di bawah persis sepotong kalimat, terdapat buku-buku bantuan tergeletak, alat bantu disabilitas dan ruang spesial penyandang disabilitas. Juga, di halaman depan perpustakaan, terdapat lahan parkir bagi penyandang cacat. Di sini saya berkesan: Penyandang disabilitas saja diberi ruang untuk berliterasi, bagaimana dengan kita?
Tentu, tersedia ragam ruang untuk menekuni dunia literasi di Jember. Mulai dari kampus-kampus, perpustakaan (Perpusda, sekolah dan lain-lain), komunitas baca, taman baca, ruang diskusi dan lain-lain. Sudah terbukti bahwa dunia literasi telah digeliati di berbagai elemen di Jember, meski tak menyeluruh. Semasa saya duduk di bangku sekolah dasar (SD) saja, banyak teman-teman SD menyukai untuk mengunjungi perpustakaan sekolah, walaupun untuk sekedar meluangkan waktu istirahat.
Dan di lain sisi, saya tidak sepenuhnya yakin semua ini berkat pemerintah. Saya meyakini dunia literasi timbul dari pribadi masing-masing.
Namun, bagaimana dengan dunia santri, dunia yang seringkali terbangun dalam mindset kita: sebuah dunia yang memiliki ragam aturan untuk mempelajari ilmu agama lebih tumakninah, dunia di mana para santri berada pada lingkaran hapalan, waktu luang yang kurang dan ketergesaan lainnya. Apakah mereka memiliki hak atas waktu untuk meluangkan diri dalam berliterasi, walau hanya sekedar menyelenggarakan waktu untuk membaca buku?
Santri Berimajinasi, Santri Berliterasi
Hampir dua bulan lebih saya duduk melingkar dengan para santri di Pondok Pesantren Nuris Jember, dua kali dalam sepekan. Saya berjumpa dengan ragam varian karakter para santri yang berkostum abu-abu putih, yaitu SMA, MA dan SMK Nuris Jember. Saya bertemu wajah-wajah gembira, cemberut, tersenyum, capek, berusaha menyembunyikan kantuk, terlambat dan lain-lain. Tetapi, untungnya saya bertemu dengan para santri yang menanam komitmen untuk bersedia memiliki iman dalam menulis. Perjumpaan pertama saya dengan mereka, langsung saya ajukan pertanyaan, “Pikirkan selama sepuluh detik, apa ide yang ingin kalian tulis hari ini?”
Belasan anak menjawab dengan tema yang tidak jauh berbeda dengan lingkungan mereka. Mulai dari kasih sayang, persatuan, cita-cita, perjuangan dan sejenisnya. Ada salah satu siswa yang membuat saya memberi perhatian. Ia menginginkan untuk menulis tentang “seseorang yang tidak ingin mengalami cinta”. Sebuah ide yang tidak klise, menurut saya. Bagaimana dalam perjalanan pengalamannya sepanjang hidup, sampai-sampai dia menemukan ide tersebut.
Kemudian saya juga pernah menanyakan tentang cita-cita mereka. Hampir seluruhnya menjawabnya dengan jawaban yang serupa dengan pengalaman saya semasa kecil, seperti dokter, guru, membahagiakan orang tua, dan sejenisnya. Lagi-lagi ada laki-laki yang memberikan ingatan untuk menghela napas panjang, ia bercita-cita menjadi sastrawan, dia pengagum puisi-puisi Joko Pinurbo. Spontan, saya sampaikan padanya: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi, ya!
Perjumpaan demi perjumpaan membuat saya banyak tahu tentang kehidupan mereka yang penuh dengan segenap kegiatan. Mulai dari aktivitas belajar mengajar pagi, ngaji, mengerjakan tugas dan lain-lain. Mereka yang memilih untuk mengembangkan diri dalam dunia kepenulisan, juga acapkali saya temui pelupuk matanya sulit terbuka, pandangannya tidak yakin, sampai-sampai tertidur di ruang kelas. Tetapi, iman menulis mereka tidak dapat disepelehkan. Mereka telah menghasilkan draft buletin, naskah cerpen, puisi, berita dan lain-lain. Mereka juga telah menamatkan beberapa bacaan yang saya berikan. Sampai-sampai ketagihan. Kepekaan pada lingkungan pesantren pun mulai muncul dalam diri mereka. Seperti misalnya, mereka berpendapat bahwa bukan maksud santri datang terlambat ketika sekolah, tetapi karena penyediaan kamar mandi yang kurang.
Terlepas dari hal di atas, mereka benar-benar mengasah imajinasi dengan tekun. Mereka juga sudah membiasakan untuk berorganisasi pada sebuah tim redaksi, diskusi tema liputan, konten berita dan lain-lain. Sebentar lagi, Buletin perdana mereka akan bergegas terbit. Juga kesempatan kegiatan yang diadakan di Perpusda Jember, sekitar 20 anak dari Pesantren Nuris Jember mengikuti acara gratis yang mendatangkan instruktur dari Univeritas Jember (Unej) dan pakar kepenulisan di Jember.
Sekolah Literasi Gratis
Minimal dapat meningkatkan minat baca masyarakat Jember, mereka menulis ‘kan sudah pasti baca. (Feby Ginting, Kasi. Pembinaan dan Pengembangan Perpusda Jember)
Hari Selasa (11/4/2017), Perpusda Jember menggelar Launching Sekolah Literasi Gratis, di mana Perpusda Jember memberikan wadah peningkatan minat dan bakat dalam kepenulisan bagi masyarakat Jember. Feby Ginting, Kasie Pembinaan dan Pengembangan menyampaikan bahwa Sekolah Literasi Gratis tersebut untuk mewadahi semua elemen masyarakat di Jember yang ingin menekuni karya tulis, seperti jurnalistik, novel, biografi dan lain-lain. “Nanti kita targetkan dari 150 peserta yang sudah mendaftar, dapat menghasilkan 40 buku yang siap dibedah dan diterbitkan.” Ujarnya. Sekolah Literasi Gratis ini akan diadakan tiap Hari Selasa dan Kamis sampai Bulan Agustus atau September.
Buku peserta yang sudah dibedah dan dinyatakan layak untuk diproses, akan kita cetak 5 ekslempar per buku, dua buku diberikan pada Perpustakaan Nasional (Perpusnas) dan Perpustakaan Provinsi (Perpusprov). Feby juga menginginkan adanya penulis yang memiliki karya dengan muatan lokal, khusunya lokal Jember, di mana menjadi keharusan bagi Perpusda Jember untuk melestarikan kearifan lokal yang ada di Jember.
Melalui Sekolah Literasi Gratis ini, saya tidak berharap banyak. Karena sudah banyak sekali pelatihan-pelatihan semacam ini di Jember. Dulu, semasa saya masih awal-awal kuliah, sudah seringkali agenda-agenda yang diselenggarakan dengan niat meningkatkan geliat literasi di Jember. Ada Ngaji Sastra yang diadakan Kelompok Tikungan Indonesia, Workhop Kepenulisan yang diadakan Forum Lingkar Pena (FLP) Jember dan tentunya masih banyak yang tidak kalah penting dan hebat dari segi pengadaan, pendatangan pemateri sampai target acara. Beberapa waktu yang lalu pun, Dewan Kesenian Jember (DKJ) melalui Divisi Sastra telah mengadakan Sekolah Sastra Jember dengan berbagai kelas, seperti Kelas Cerpen, puisi, kritik sastra dan lain-lain.
Sekali lagi, saya tidak terlalu memiliki harapan besar untuk dunia literasi. Hari ini, semakin banyak geliat literasi di Jember. Saya meyakini betul pada saatnya nanti, Jember akan menjadi kota yang tidak boleh dikucilkan dalam hal literasi, meski di keluarga saya sendiri, atau lebih tepatnya Ibu saya sendiri masih terbata-bata dalam membaca. Untuk para santri, Selamat Menunaikan Ibadah Literasi dengan tumakninah![Red/Ibnu]