Soal:
Para ulama selalu menekankan agar kita mengerjakan shalat dengan khusyu’. Apakah yang dimaksud dengan khusyu’ itu? Apa pula manfaatnya?
Jawab:
Khusyu’ ketika melaksanakan shalat merupakan perkara yang sangat penting, sebab hal itu merupakan tujuan utama dari shalat yang kita kerjakan. Sesuai dengan Firman Allah SWT:
اَقِمِ الصَّلاَةَ لِذِكْرِى(طه، ١٤)
“Tunaikanlah shalat untuk mengingat-Ku.” (QS. Thaha, 14)
Sedangkan yang dimaksud khusyu’ adalah:
وَفِى اصْطِلاَحِ اَهْلِ الحَقِيْقَةِ، الخُشُوْعُ اَلْاِنْقِيَادُ لِلْحَقِّ وَقِيْلَ اَلْخَوْفُ الدَّائِمُ فِى القَلْبِ. (كتاب التعريفات،٩٨)
“dalam istilah ahli hakikat, khusyu’ adalah putuh pada kebenaran. Ada yang mengatakan bahwa khusyu’ adalah rasa takut yang terus menerus ada dalam hati.” (Kitab al-Ta’rifat, 98)
Lebih jelas lagi, Syaikh ‘Ala’uddin Ali bin Muhammad bin Ibrahim al-Baghdadi mengatan:
اَلْخُشُوْعُ فِى الصَّلَاةِ هُوَجَمْعُ الهِمَّةِ وَاْلإِعْرَاضُ عَمَّا سِوَى اللهِ وَالتَّدَبُّرُ عَمَّا فِيْمَا يَجْرِيْ عَلَى لِسَانِهِ مِنَ القِرَاءَةِ وَالذِّكْرِ. (تفسيرالخازن، ج ه ص ٣٢)
“Khusyu’ dalam shalat adalah menyatukan konsentrasi dan berpaling dari selain Allah serta merenungkan semua yang diucapkannya, baik berupa bacaan al-Qur’an ataupun dzikir.” (Tafsir al-khazin, juz V, hal 23)
Jadi, khusyu’ merupakan kondisi di mana seseorang melakukan shalat dengan memenuhi segala syarat, rukun dan sunnah shalat, serta dilakukan dengan tenang, penuh konstrasi , meresapi dan menghayati ayat semua dzikir yang dibaca dalam shalat.
Dengan cara inilah shalat yang kita lakukan setiap hari akan menjadi khusyu’ serta memberikan implikasi yang positif dalam kehidupan kita. Yakni mencegah manusia dari perbuatan buruk dan kemungkaran. Sebagaimana janji Allah SWT dalam al-Qur’an:
اِنَّ الصَلَاةَ تَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِوَاْلمُنْكَرِ (العنكبوت، ٤٥)
“Sesungguhnya shalat itu bisa mencegah dari perbuatan buruk dan mungkar.”(QS. Al-Ankabut, 45)
Bahkan Allah SWT mengecam orang-orang yang shalat tapi hati mereka mengembara tanpa tujuan. Allah SWT berfirman:
وَيْلٌ لِلْمُصَلِّيْنَ اَّلذِيْنَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُوْنَ (الماعون، ٥)
“Celakalah orang-orang yang mengerjakan shalat, tapi hati mereka lupa akan shalat yang ia lakukan.” (QS. al-Ma’un, 5)
Melihat arti pentingnya khusyu’ dalam shalat, Syaikh Ali Ahmad al-Jurjawi berkata bahwa ketika seorang hamba telah mampu melaksanakan shalat dengan khusyu’, berarti ia telah sampai pada tingkat keimanan yang sempurna. Sebagaimana disebutkan dalam kitab karangan beliau:
اَنَّ اْلخُشُوْعَ فِى الصَّلَاةِ وَاسْتِحْضَارَ اْلقَلْبِ مَعَ سُكُوْنِ اْلجَوَارِحِ هُوَ اْلإِيْمَانُ اْلكَامِلُ. (حكمة التشريع وفلسفته،ج١ص٧٩)
“Sesungguhnya khusyu’ dan menghadirkan hati dalam shalat, serta tenangnya anggota (dan melaksanakan sesuai dengan syarat dan rukunnya) merupakan iman yang sempurna.” (Hikmah al-Tasyi’ wa Falsafatuh, juz II, hal 79)
Di samping itu, khusyu’ merupakan syarat diterimanya shalat di sisi Allah SWT. Dalam kitab sullam al-Tawfiq disebutkan:
وَشُرِطَ مَعَ مَامَرَّلِقَبُوْلِهَا عِنْدَ اللهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى …الى ان قال.. وَاَنْ يُحْضِرَ قَلْبَهُ فِيْهَا فَلَيْسَ لَهُ مِنْ صَلَاتِهِ اِلَّامَاعَقَلَ مِنْهَا (سلم التوفيق،٢٢)
“Di samping syarat-syarat yang telah lalu, agar shalatnya dapat diterima di sisi Allah SWT,….harus menghadirkan hatinya dalam shalat (khusyu’), maka tidak ada (pahala) bagi seseorang dalam shalatnya kecuali pada saat hatinya hadir dalam shalatnya.” (Sullam al-Taufiq, 22)
Karena itu, orang yang melaksanakan shalat, tapi hatinya tidak khusyu’, maka seakan-akan ibadah yang dikerjakannya sia-sia, karena tidak diterima di sisi-Nya. Namun begitu, harus diakui bahwa khusyu’ ini merupakan perkara yang sangat berat sekali. Apalagi bagi kita yang masih awam. Sedikit sekali orang yang mampu khusyu’ dalam seluruh shalatnya. Kalau kenyataannya seperti itu, minimal yang bisa kita lakukan adalah bagaimana khusyu’ itu bisa terwujud dalam shalat kita walaupun hanya sesaat. Sebagaimana yang dikatakan Imam al-Ghazali:
فَلَايُمْكِنُ اَنْ يُشْتَرَطَ عَلَى النَّاسِ اِحْضَارُاْلقَلْبِ فِى جَمِيْعِ الصَّلَاةِ فَإِنْ ذَلِكَ يَعْجِزُ عَنْهُ كُلُّ اْلبَشَرِإِلاَّ اْلأَقَلَّيْنَ، وَاِذَا لَمْ يُمْكِنْ اِشْتِرَاطُ اْلإِسْتِيْعَابِ لِلضَّرُوْرَةِ فَلَا مَرَدَّ لَهُ اِلاَّ اَنْ يُشْتَرَطَ مِنْهُ مَا يُطْلَقُ عَلَيْهِ اْلإِسْمُ وَلَوْ فِى اللَّحْظَةِ اْلوَاحِدَةِ. (احياء علوم الدين، ج١ص١٦١)
“Maka tidak mungkin untuk mensyaratkan manusia agar menghadirkan hati (khusyu’) dalam seluruh shalatnya. Karena tidak semua orang mampu mengerjakanny, kecuali sedikit sekali orang yang mampu melaksanakannya. karena itu, maka yang dapat disyaratkan adalah bagaimana dalam shalat itu bisa khusyu’ walaupun hanya sesaat saja.”(Ihya’ Ulum al-Din, Juz I, hal 161)
(Baca juga: Hujjah Aswaja: Membuat Kubah dan Meletakkan Kain di Batu Nisan
Kesimpulannya adalah khusyu’ dalam shalat merupakan satu kondisi di mana kita melakukan shalat dengan tenang dan penuh konsentrasi, menghayati serta meresapi arti dan makna shalat yang sedang dikerjakan. Dan itu merupakan perkara yang sangat penting, agar ibadah yang kita lakukan dapat dirasakan dalam kehidupan nyata, tidak sebatas formalitas atau semata-mata untuk menggugurkan kewajiban.
Sumber: KH Muhyiddin Abdusshomad. 2010. Fiqih Tradisionalis. Surabaya: Khalista.