*Penulis: Armita Uswatun Hasanah
Penulis adalah salah satu ustadzah yang mengajar di Nuris*
Aku tertunduk lesu dihadapan sesosok pria yang sangat kusegani. Ia menatapku dengan penuh ketegasan. Ruang 4×5 m itu seolah menjadi ruang sidang untukku. Layaknya kursi panas dengan berbagai pertanyaan dan berbagai tuduhan. Sesekali aku menatapnya, dan menunduk kembali saat ia membalas tatapanku. Ingin rasanya aku membantah, tapi tak mungkin aku melakukannya, ia tak pernah mengajariku seperti itu. Berkali-kali aku merayunya, tapi ia tetap kokoh pada pendapatnya. Ini bukan keinginanku, tapi keinginannya.
“Ayah, saya sekolah di SMP Negeri saja ya Yah?” Rayuku malam itu.
“Iya, gak apa-apa. Trus kalau sekolah di sana, siapa yang biayai?” Tanya Ayah santai.
“Ya A..yah…” Jawabku terbata.
“Gak, ayah gak mau.” Jawabnya singkat.
“Kalau gitu di SMP PGRI aja dah Yah, gak apa-apa walaupun swasta. Enak sekolahnya deket dari rumah. Lagian deket sama Bank BRI juga, nanti icha bisa sekalian nabung disana.”
“Iya, uangnya siapa yang mau ditabung?” Timpal Ayah lagi.
Aku tertunduk kembali, otakku berputar mencari ribuan alasan untuk menolak permintaan ayah. Memang sih, sebenarnya aku sendiri yang meminta ingin mondok saat aku masih kelas 4 SD. “Ayah, nanti kalau sudah SMP saya pingin sekolah yang pake kerudung, terus ada komputernya ya yah,” lontarku, dan aku ingin sekali cepet lulus dan cepet pergi ke pesantren pada saat itu. Tapi sekarang, hal ini terlalu cepat, bayangan-bayangan menjengkelkan selalu bergentayangan dalam tidurku. Entah apa yang aku takutkan. Tapi itulah kenyataannya, aku belum siap menjalani hidupku tanpa ayah dan ibu. Aku tak bisa bangun kalau tidak dibanguni ibu, aku lupa untuk makan kalau tidak diingatkan, bagaimana dengan bajuku kalau sudah kotor? Siapa yang akan mencucikan? siapa yang mau menemaniku kalau aku tak bisa mengerjakan PR? Kalau aku nangis karena ada masalah, siapa yang akan memelukku? Lalu, siapa juga yang mau mengajariku bersih-bersih. Aku belum bisa melakukan itu semua, apalagi setiap tengah malam perutku selalu bunyi ingin makan. Perut gendutku tak bisa dikompromi, kalau gak diisi pasti nyeri.
“Icha, Ayah akan biayai sekolah kamu sepenuhnya. Tapi kalau kamu mau mondok sambil sekolah. Kalau gak, ya gak usah.” Jelas Ayah tegas dengan gaya santainya.
“Tapi Ayah, Icha belum bisa nyuci, belum bisa bersih-bersih, apalagi kalau tidur bangunnya susah, Icha malu Yah. Ayah tau sendiri kalau malem perut Icha selalu bunyi pingin makan.Terus, makanan dipondok katanyacuma tempe sama tahu saja. Icha gak suka Yah. Ayah tega lihat Icha sengsara di pondok? Icha gak mau mondok Yah.” Rengekku.
“Icha, kamu bukan anak kecil lagi. Kamu harus belajar mandiri dari sekarang. Bukan Ayah tega, tapi karena Ayah sayang kamu. Kalau urusan gak bisa nyuci, ya kamu harus belajar, masa kamu nyuruh ibu terus untuk nyuci bajumu? Kamu ini sudah besar. Urusan perutmu itu gak usah kamu khawatirkan, tiap minggu ayah kirim makanan kesukaanmu. Biar bisa kamu makan tiap hari dan tengah malam, tanpa merepotkan orang lain. Terus kalau tidur jangan malem-malem, gimana kamu gak sulit bangunnya kalau TV kamu tungguin tiap malem dirumah. Kalau dipondok gak ada acara nonton TV, jadi habisnya ngaji kamu harus cepet tidur.” Tegas Ayah dengan sedikit meninggikan suaranya.
Mendengar ayah berkata seperti itu, aku tak bisa membantahnya lagi. Aku takut ayah malah marah padaku, dan gak mau menyekolahkan ku.
# # #
Suara adzan magrib telah dikumandangkan, semua jamaah mendengarkannya dengan hikmat. Akupun sudah siap sejak tadi. Ibuku selalu menyuruhku berangkat ke langgar lebih awal. Supaya aku bisa membersihkan halaman mesjid dan ruangan dalam langgar tempat kita mengaji. Setelah berjamaah magrib di masjid, aku dan teman-teman berbondong-bondong menuju langgar Darussalam. Kami membentuk beberapa kelompok sesuai kelasnya. Aku tidak pernah absen dalam mengaji malam. Aku suka mengaji di langgar, karena sesudah ngaji kami bermain permainan tradisional sambil menunggu adzan isyak dikumandangkan. Terkadang kami juga bermalam disana, supaya bisa solat subuh berjamaah dan tadarus sesudahnya. Tapi malam ini pikiranku tidak fokus, aku lebih banyak diam. Akupun hanya menjadi pemerhati teman-temanku yang sedang bermain bekel, kempyeng, dan juga tebak-tebakan.
“Tumben, gak kayak biasanya?” Timpal Hida.
“Gak pa-pa.” Aku menggelengkan kepala.
“Oh ya Cha, katanya Kamu mau mondok sambil sekolah ya?” tanya Idha penasaran.
“Ya.” Jawabku lesu.
“Wah, enak itu.” Respon Idha dengan takjubnya.
“Loh kok bisa?” Tanyaku heran.
“Ya iyalah Cha, gimana gak mau enak coba. Disana Kamu bisa belajar ilmu umum juga bisa belajar ilmu agama.” Jelasnya.
“Iya aku tau, tapi aku agak takut Dha. Kemarin tetanggaku bilang kalau mondok itu gak enak, makannya cuma satu cangkir, serba antri, sering dijaili teman, ditambah lagi kalau udah pulang dari pondok katanya cepet Rabi(menikah).”
“Alah, kata siapa kamu itu? Ya tergantung orangnya lah Cha. Kalau Kamu serius dan gak main-main mondoknya, pasti Kamu sukses dan akan jadi orang besar. Kalau Kamu gak jail ketemen ya gak kira dijaili juga. Kamu ini sudah enak Cha, tapi kalau saya mungkin gak bisa.” Jelasnya meyakinkanku.
“Kenapa?” Keherananku kembali menyeruak mendengar komentarnya.
“Yah,,, kalau saya Cha. Mungkin bisa salah satunya saja. Kalau gak mondok saja, ya sekolah saja. Dapet biaya darimana coba? Kalau kamu enak, ayahmu sudah menjamin untuk menanggung semuanya. Beruntung banget kamu Cha.” Mendengar penjelasan idha, terbesit rasa bangga. Walaupun ada keraguan, tapi aku semakin penasaran, “ Seperti apa ya mondok itu?” batinku.
# # #
Hari terasa semakin cepat, besok adalah waktunya aku dikirim ke kota santri untuk menuntut ilmu. Ayah mengajakku untuk pamit ke saudara-saudaraku. Setiap bersalaman dengan mereka, selalu saja tertempel selebaran uang di tangan. Aku malu, tapi rasa bahagia lebih memenuhi hatiku kali ini. Mungkin ini yang dimaksud ‘rejeki mengikuti orang yang menuntut ilmu’ tak lupa aku berterimakasih pada mereka. Nasihat-nasihat pun mereka limpahkan kepadaku,akupun hanya mengangguk dan menurut saja. Malam harinya akupun berpamitan pada guru ngajiku di langgar.Beliau berpesan,“ diingat icha, apa yang kamu pelajari disini diamalkan di pesantren, itu menjadi bekal untukmu. Barang siapa yang berpindah tempat untuk belajar ilmu, maka akan diampuni baginya sebelum melangkahkan kakinya. Semoga engkau diberi kemudahan dalam belajar dan diberi kemanfaatan ilmu. Amin…” orangtuku pun mengamini doa beliau.
Kendaraan beroda empat melaju di senja sore yang syahdu. Pepohonan seolah menyapaku dengan riang. Jalanan mengajakku menari berlenggak-lenggok mengiringi jejaknya. Alunan musik pop menemaniku dalam setiap langkah perjuanganku untuk menuntut ilmu. Nasihat-nasihat pun kembali mereka limpahkan kepadaku selama perjalanan. Akupun tetap dengan ekspresi wajah yang sama, menunduk dan menurut saja.
Taklama kemudian Carry biru itupun berhenti didepan pagar putih yang kokoh membentengi sebuah rumah sederhana. Akupun turun dan memasuki gerbang itu. Perempuan penuh wibawa keluar dari pintu depan rumah dan mempersilahkan kami untuk memasuki rumahnya. Kamipun bersalaman dan memasuki rumah itu. Aku memperhatikan perempuan itu, selalu ada senyum disetiap perkataan yang beliau tuturkan. Mataku berkeliling memperhatikan sekitar, “Mana pondoknya?” batinku. Tak kutemui pondok yang kumaksud. Perempuan itupun memanggil seorang anak santri putri untuk mengantarku melihat pondok.
“Mbak Yanti, ini ditemani adeknya untuk lihat-lihat pondok”
“Injeh Bu Nyai.”
Ia mengajakku pergi ke belakang rumah melewati lorong-lorong kecil bangunan tersebut, ‘kayak jalan mau ke kamar mandi’ batinku. Iapun membuka pintu hijau layaknya pintu kamar mandi, dan ternyata… Subhanallah di dalamnya sangat luas. Terdapat banyak kamar disana, layaknya sebuah asrama di perkotaan, tapi ini jauh lebih asri. Rumput yang hijau tertata rapi, bermacam bunga terhias di depan kamar yang berderet-deret itu. Aku telusuri setiap sudut pesantren ini, ada taman untuk belajar dihiasi kolam ikan dan air mancur. Mataku terperangah kagum melihatnya, bibirku tak bisa lepas dari senyum kebanggaan.
“Wah, keren. Bakal kerasan nih mbak Icha disini.” Timpal farhan, adikku yang sedang duduk di bangku MI kelas 5. Saudara-saudara yang lain pun saling memuji ke indahan pesantren ini. Dan semua meyakinkanku untuk betah dan senang mondok di pesantren.
Setelah solat berjamaah magrib di pesantren, keluargaku pun pulang. Berkali-kali ayahku memelukku dan menciumku. Kuperhatikan pula seorang wanita yang selalu mencurahkan kasih sayang tanpa bosan-bosannya. Tampak sendu dimatanya, aku kembali menghampirinya dan memeluk erat tubuhnya.
“Yang kerasan ya nak, biar pinter” Serunya dengan deraian tangis yang membasahi kedua pipi yang sudah tampak kusam sejak tadi.
“Iya buk, doakan Icha ya Buk.” Pintaku dengan memeluk erat tubuhnya.
“Ibu selalu doakan, semoga kamu menjadi anak yang cerdas dan sholehah.”
Amin, batinku. Aku mencium tangannya, mencium kedua pipi dan hidungnya. Ia mulai tenang, tak kutemui lagi kekhawatiran selain senyum yang ia tanggalkan kali ini. Aku bahagia melihatnya. Tak lama kemudian mereka pun berlalu dari pandanganku.
Dan inilah awal perjuanganku menempuh pendidikan di pesantren.
# # #
Ribuan mata menatapku dengan asing. Ada yang tersenyum, ada yang acuh, bahkan ada yang seolah mencibirku. Tapi, ayah bilang itu hanya perasaanku saja. Semua teman yang ada di pesantren adalah saudara. Aku mencoba untuk tersenyum pada semua orang yang kutemui, kutanyakan namanya, kelas berapa, dan alamat rumahnya. Aku berbicara sebisaku, yang terpenting bagaimana caranya aku bisa akrab dengan mereka. Akupun harus menjaga sikapku pada mereka, “kalau kamu ingin dihormati oleh teman-temanmu, hormati dulu mereka. Dan juga, kalau kamu ingin disayangi oleh teman-temanmu, sayangi pula mereka” Itulah pesan ayah padaku. Pesan yang bisa kupakai dimanapun aku berada.
Aku praktekan pesan beliau, ternyata semuanya benar. Aku bisa mengenali sifat mereka masing-masing. Kini aku memiliki banyak teman, tak sulit mencari teman, cukup dengan bermodal tema untuk diceritakan atau menghargai apa yang mereka ceritakan.
Sepulang sekolah pagi, aku dan 3 teman akrabku memiliki kebiasaan bercerita di musholla dekat taman. Saat asyik bercerita, mata kami terpusat pada dua orang wanita yang asyik dengan diskusinya.
“Coba kalian lihat dua orang yang duduk di taman,” tunjuk salah satu kakak kelas kami yang sekarang menjadi pembicara dalam perkumpulan ini..
“Yang berkerudung biru itu namanya mbak Arini, dia sering dikirim ke luar kota untuk lomba pidato.Ke Surabaya, ke Malang, ke Blitar dan banyak lagi.Mulai dari baju, sepatu, dan semua kebutuhannya dalam pemberangkatan dibiayai oleh pemerintah. Ditambah lagi, setiap dua minggu sekali dia mendapat ijin dari pondok untuk pembimbingan.Setiap kali pembimbingan dia disangoni uang Rp. 2 juta. Coba bayangkan!” Jelasnya dengan semangat. Kami terperangah mendengar ceritanya, dan memandangi mbak Arini dengan penuh kagum.
“Kalau satunya lagi namanya mbak Shinta, dia selalu menjadi delegasi lomba Fisika,Kimia dan selalu mendapatkan juara. Baru-baru ini dia juga menang lomba Robotika Tingkat Jawa Timur. Dan dia termasuk satu-satunya peserta perempuan dalam lomba itu. Orangtuanya sering dipangggil ke sekolah untuk mendapat penghargaan.” Jelasnya dengan wajah meyakinkan.
“Subhanallah, betapa bahagia orangtuanya. Pasti senang memiliki anak seperti mereka.” Seruku penuh takjub.
“Iya ya, pinter banget.” Seru yang lain.
“Makanya, kita harus bisa seperti mereka. Mereka saja bisa, kita pun pasti bisa. Makannya ajha sama kan?” seru kak devi yang sejak tadi asyik dalam ceritanya.
(Baca juga: Sepatu Lumpur)
“Iya, sama-sama makan tempe.” Celetukku dengan keras. Kami pun tertawa terbahak-bahak meresponnya.
# # #
Di sekolah dan di pesantren terdapat banyak eskul yang tersedia. Mulai dari bidang seni teater, kaligrafi, tartil, tilawah, penulisan majalah, pidato, samrah, puisi. Dan juga dari bidang M-Sains yang terdiri dari robotika, fisika, kimia, bahasa inggris, dan banyak lagi. Dengan mendatangkan tentor yang ahli dari luar pesantren. Semua itu di sediakan untuk menampung bakat dan minat santri yang sekaligus siswa di masing-masing lembaga yang berbeda, mulai dari SMP, MTs, SMA, MA, dan SMK Nuris Jember. Dalam kegiatan pesantrenku yang padat, aku pelajari ilmu kaligrafi dengan selalu melatih tanganku untuk menulis, aku pelajari ilmu tartil dengan melatih suaraku membaca alquran dengan lagu, aku belajar berteater pada hari rabu pulang sekolah, aku belajar berpidato setiap hari minggu di pesantren, aku belajar bersolawat setiap malam jumat, aku belajar apapun yang aku suka. Hingga akhirnya akupun bisa. Tak mudah, tapi aku suka. Jadwal yang padat, justru membuatku bersemangat. Rasa iri terhadap prestasi orang lain, justru membuatku semakin gigih dalam belajar. Ustadah pernah bilang, “Pelajari apapun yang kamu suka, insyallah salah satu dari ilmu yang kamu tekuni itu yang nanti akan mengangkat derajatmu.”Teringat juga pesan Ayah sebelum aku mondok dulu.“Semua orang bisa melakukan apasaja, asalkan dia mau mencoba dan berusaha untuk bisa.”Ya, seperti diriku saat ini. Kini aku bisa mengembangkan potensiku. Aku sudah bisa mencuci baju, makanpun sudah teratur, dengan kegiatanku yang padat perutku jarang sekali bunyi dimalam hari, yang ada aku terlelap karena banyaknya aktifitasku. Dan sekarang, aku benar-benar merasakan, bagaimana nikmatnya hidup di pesantren. Semua penuh dengan fastabiqul khoirot, berlomba-lomba dalam kebaikan. Selalu berjamaah laksana di ka’bah yang tugasnya hanya menjaga sholat. Mengaji setiap waktu, bergotong royong dalam menjaga kebersihan pesantren, semua dilakukan secara bersama-sama. Sungguh berharganya hidupku saat ini. Serasa ingin selalu di pesantren.Hidup dalam sebuah kesederhanaan, bukan berarti kekurangan, namun sikap hidup sederhana yang tidak berlebihan meskipun halal untuk kita gunakan. Pembatasan barang-barang; seperti pakaian, perhiasan, dan lain sebagainya. Semua itu dilakukan agar kita terhindar dari sifat riya’ (pamer), yang terpenting juga adalah untuk melatih para santri agar tidak cenderung kepada hal-hal yang bersifat duniawi.