Soal :
Pada hari jum’at, biasanya adzan dikumandangkan dua kali. Ada tudingan bahwa adzan dua kali tersebut merupakan bid’ah. Alasannya, karena adzan yang kedua tidak pernah dilakukan pada masa Rasullullah SAW benarkah begitu?
Jawab :
Pada awalnya, adzan jum’at hanya dikumandangkan satu kali. Yaitu ketika khatib duduk di atas mimbar. Itu berlangsung sejak zaman Rasullullah SAW sampai zaman Khalifah ‘Umar bin Khaththab RA. Kemudian Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan RA menambah satu adzan lagi sebelum khatib naik ke mimbar. Hal ini beliau lakukan karena melihat manusia sudah mulai banyak dan tempat tinggalnya berjauhan. Sehingga dibutuhkan satu adzan lagi untuk memberi tahu bahwa shalat jum’at hendak dilaksanakan. Dalam kitab shahih al-Bukhari dijelaskan :
عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ سَمِعْتُ السَّائِبَ بْنَ يَزِيْدَ يَقُوْلُ إِنَّ اْلأَذَانَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ كَانَ أَوَّلُهُ حِيْنَ يَجْلِسُ اْلإِمَامُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ عَلَى الْمِنْبَرِ فِي عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا فَلَمَّا كَانَ فِي خِلَافَةِ عُثْمَانَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ بِالْأَذَانِ الثَّالِثِ فَأُذِّنَ بِهِ عَلَى الزَوْرَاءِ فَثَبَتَ الْأَمْرُ عَلَى ذَلِكَ (صحيح البخاري، رقم ٨٦٧)
“Dari al-Zuhri, ia berkata,”Saya mendengar dari al-Sa’ib bin Yazid, beliau berkata, “Sesungguhnya adzan dihari jum’at pada asalnya ketika masa Rasulullah SAW, Abu Bakar RA dan Umar RA dilakukan ketika imam duduk di atas mimbar. Namun ketika masa Khalifah Utsman RA dan kaum muslimin sudah banyak, maka beliau memerintahkan agar diadakan adzan yang ketiga. Adzan tersebut dikumandangkan di atas zaura (nama pasar). Maka tetaplah perkara tersebut (sampai sekarang).“ (Shahih al-Bukhari, [865])
Yang dimaksud dengan adzan ketiga adalah adzan yang dilakukan sebelum khatib naik ke mimbar.Sementara adzan pertama adalah adzan setelah khatib naik ke mimbar dan adzan kedua adalah iqamah. Dari sinilah, Syaikh Zainuddin al-Malibari, pengarang kitab Fath al-Mu’in, mengatakan bahwa sunnah mengumandangkan adzan dua kali. Pertama sebelum khatib naik ke mimbar dan yang kedua dilakukan setelah khatib naik ke mimbar:
وَيُسَنُّ أَذَانَانِ لِصُبْحٍ وَاحِدٍ قَبْلَ الْفَجْرِ وَآخَرُ بَعْدَهُ فَإِنْ اقْتَصَرَ فَالْأَوْلَى بَعْدَهُ ، وَأَذَانَانِ لِلْجُمُعَةِ أَحَدُهُمَا بَعْدَ صُعُوْدِ الْخَطِيْبِ الْمِنْبَرَ وَالْآخَرُ الَّذِيْ قَبْلَهُ . (فتح المعين ،١٥ )
‘’Disunnahkan adzan dua kali untuk shalat shubuh, yakni sebelum fajar dan setelahnya. Jika hanya mengumandangkan satu kali, maka yang utama dilakukan setelah fajar. Dan sunnah dua adzan untuk shalat jum’at. Salah satunya setelah khatib naik ke mimbar dan yang lain sebelumnya.”(Fath al-mu’in, 15)
Meskipun adzan tersebut tidak pernah dilakukan pada zaman Rasulullah SAW, ternyata ijtihad Sayyidina ‘Utsman RA tersebut tidak dipungkiri oleh para sahabat yang lain. Itulah yang disebut dengan ijma’ sukuti. Satu kesepakatan para ulama (dalam hal ini adalah sahabat Nabi SAW) terhadap hukum suatu kasus dengan cara tidak mengingkarinya. Diam berarti setuju pada keputusan hukum yang telah ditetapkan. Dalam kitab al-Mawahib al-Ladunniyyah disebutkan:
ثُمَّ إِنَّ فِعْلَ عُثْمَانَ رَضِيَ اللُّهُ عَنْهُ كَانَ إِجْمَاعًا سُكُوْتِيًّا لِأَنَّهُمْ لاَ يُنْكِرُوْنَهُ عَلَيْهِ (المواهب اللدنية ، ج٢ص٢٤٩)
“Sesungguhnya apa yang dilakukan oleh Sayyidina ‘Utsman itu merupakan ijma’ sukuti karena para sahabat yang lain tidak menentang kebijakan tersebut.” (al-Mawahib al-Ladunniyyah, juz II, hal 249)
Oleh sebab itu, kita dianjurkan untuk mengikuti ijtihad tersebut. yaitu mengumandangkan adzan dua kali. Berdasarkan Hadits Nabi Muhammad SAW:
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَمْرٍو السُّلَمِيَّ أَنَّهُ سَمِعَ الْعِرْبَاضَ بْنَ سَارِيَةَ قَالَ وَعَظَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللُّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَوْعِظَةً فَعَلَيْكُمْ بِمَا عَرَفْتُمْ مِنْ سُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ (١٦٥١٩)
“Dari ‘Abdullah bin Amr al-Sulami, sesungguhnya ia mendengar ‘irbadh bin sariyah berkata,” Rasulullah SAW menasehati kami:“Maka hendaklah kamu berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah al-Khulafa al-Rasyidun (sesudah aku).” (Musnad Ahmad bin Hanbal, [16519])
(Baca juga: Hujjah Aswaja : Al-Barzanji Pengarang Sholawat Al-Barzanji)
Jadi, kesimpulannya adalah bahwa adzan dua kali pada hari jum’at itu bukan merupakan perbuatan bid’ah dhalalah, sebagaimana yang sering dituduhkan selama ini. Sebab perbuatan itu memiliki landasan yang kuat dari salah satu sumber hukum islam, yakni ijma’ para sahabat.
Sumber: KH Muhyiddin Abdusshomad. 2010. Fiqih Tradisionalis. Surabaya: Khalista.