Nyetan Ta’ Buta’an

* Penulis: M. Ilyas

*Penulis adalah salah satu siswa kelas XII IPA MA Unggulan Nuris. Dia jago berpidato dan sering memenangkan berbagai lomba pidato. Cerpen yang ditulisnya ini, masuk ke dalam lima besar cerpen terbaik tingkat nasional.

Secangkir kopi panas menguap dipelantaran cangkir. Bakri yang baru datang dari Bandung melepaskan kepenatan di gubuk sawah bersama pamannya. Kang sukri sendiri mengajak untuk tinggal di rumah selama masa liburan kuliahnya. Selain berlibur, sebenarnya Bakri punya tujuan lain, yakni dalam rangka penelitian kebudayaan bangsa. Ekspedisi ini berperan sebagai penyusunan buku deskripsi yang masih dalam tahap penelitian.

“Silahkan diminum kopinya den”

Kang Sukri menawarkan kembali kopinya yang hampir dingin. Bakri tersenyum malu, lalu menyeruputnya perlahan. Kata “den” disandang desa  Gujuran ini sebagai kehormatan bagi tamu atau pendatang baru, baik itu muda ataupun tua. Bakri pikir  “den” itu bukannya berasal dari kata  “raden”,yang berarti anak dari seorang raja, yang pada jaman dahulu diagungkan dan dimuliyakan. Mungkin desa ini berbeda dalam memakai gelar kemuliyaan, sebab mereka hanya ingin menggunakannya pada tamu untuk sekedar penyambutan.

Pembicaraan di pinggir sawah, mengalir lepas bagai air parit yang menuju sawah asri dan tenang, menambah kehangatan obrolan senja.

“Kang,tadi di jalan saya sempat melihat ada acara di perbatasan desa, mungkin kang Sukri tahu acara itu?”

“Oh…acara itu namanya “nyetan ta’buta’an”. Pasti tadi ada orang kesurupan kan?”

Bakri menatap langit mencari ingatan yang hilang, namun ia tak menemukannya.

“Mungkin, acara nyetan ta’buta’an itu apa kang?”

“Itu sebenarnya semacam ondel-ondel, tapi uniknya ada pemain yang kerasukan jin, lalu beratraksi aneh-aneh”

Bakri hanya mengangguk, entah itu paham atau tidak penjelasan kang sukri.

“Aku jadi pingin nonton acara itu kang?”

“Kebetulan juga den, minggu ini acaranya di kelurahan, kamu bisa nonton disana!”.

Bakri menampakkan gigi putihnya. Tawanya kang sukri seketika lepas, sebab disela gigi keponakannya nampak plat hitam bekas kopi. Bakri yang juga tahu, tertawa ngakak, saling beradu tawa dengan pamannya. Mengalahkan suara jangkrik dan kodok sawah yang berkumandang.

Keunikan budaya memang  tak pernah surut di desa Gujuran ini. Tradisi warisan leluhur, masih saja mengalir tiada henti. Ada sebuah keunikan di desa ini, anak pinak mereka juga harus bisa menguasai tradisi leluhur mereka, jika tidak, mereka akan dikucilkan oleh masyarakat setempat.

“Sekitar umur sepuluh  tahun mereka sudah harus berlatih den, masyarakat disini sudah mufakat bahwa tradisi itu harus dijaga!”.  Ujar kang sukri ketika perjalanan pulang, bayangan tanpa bayang redup pula mengikuti mereka.

“Pantesan suasana ritual juga masih ada disini”

“Ya… begitulah den!”.

Sesampainya di rumah kang Sukri, Bakri langsung berpamitan istirahat di kamarnya, ranjang yang terbuat dari bambu, tanpa alas dan selimut mungkin akan menjadi teman selama masa istirahatnya. Kesedarhanaan masyarakat tidak terpaku pada harta yang mereka miliki, namun terletak pada cara mereka menata ruangan agar enak di pandang.

Di kamar yang hanya diterangi sebuah lampu neon kuning, membantu dirinya memikirkan judul ekspedisinya. Obrolan tadi dengan kang sukri dipinggir sawah rupanya membawa tema unik. Referensi dalam penyusunan bukunya ini akhirnya memilih tema tradisi di desa ini “nyetan ta’buta’an, mengingat hal ini langka, ia yakin ekspedisinya akan mendapatkan apresiasi meriah.

Seminggu kemudian,hari akan dilaksanakannya budaya nyetan ini benar-benar terlaksana.Terlihat arak-arakan memenuhi jalan hingga kendaraan sulit melewatinya. Para pemain juga tengah bersiap ketika sampai di halaman pertunjukan,mulai dari kostum ondel-ondel yang tinginya hampir 6 kaki dan lebarnya pun lebih besar dari pemainnya,hingga orang yang di dalamnyalah harus berpacu menahan berat kostumya sambil menghibur penonton.

“Inilah den yang biasanya pertama kali kesurupan” ujar kang Sukri ke arah ondel-ondel berwarna merah kuning.

“Emangnya kenapa bang?”. Balik Bakri bertanya.

“Ini semua sebab kostum ondel-ondel tersebut sudah dimantrai terlebih dahulu sebelum pertunjukkan. nantinya den orang yang menyungkul ondel-ondel itu akan merasa kepanasan, lalu jadi kesurupan!”.

“Memangnya kang sukri pernah mencoba?”

“Ya… belum sih, tapi paman denger -denger kayak gitu!”

Bakri kelalapan, dari raut wajahnya ia tampak masih belum percaya dengan yang namanya nyetan. “Palingan kesurupan itu cuma rekayasa, biar penonton jadi terhibur”. Batin Bakri memungkiri, tangannya segera menghidupkan kamera.

“Aden tidak percaya ya?, kesurupan itu ada”.

“Bukannya tidak percaya kang, tapi masih ragu saja!”.

Kang sukri mengangguk kernyitkan alis kirinya. peci dikepalanya yang miring segera diperbaiki mengingat hawa panas sudah memutar di ranjang kepala.

Bakri beranjak mencari tempat yang tepat untuk menunjang hasil kameranya, tata letak dan efek cahaya dipertimbangkan secara matang. bang sukri masih tetap di atas sepeda motor BMXnya. dua matanya memandang liar kearah penonton semata-mata mengawasi keponakannya yang dari bandung.

Halaman persegi milik pak lurah ini cukup menampung ratusan penonton. Dikira persiapan selesai pak lurah memberi sambutan di hadapan masyarakat yang sudah tidak sabar melihat atraksi “nyetan ta’ buta’an”

“Dengan ini saya nyatakan acara dibuka. tradisi ini sebagai salah satu identitas desa kita, saya pribadi memohon pada masyarakat gujuran untuk ikut andil dalam menjaga kelestarian budaya milik kita ini”.

Pesan singkat pak lurah disambut dengan tepukan meriah. disudut tenda, tempat para pemain musik gamelan mulai mendendangkan lagu khas tarian ondel-ondel.

“Den acaranya sudah di mulai, ayo kita kesana!”. tiba-tiba kang Sukri mengagetkan. bakri mandek, lalu menyusul langkah kang sukri ke pinggir lapangan.

Ditengah lapangan ondel ondel yang ditemani para pemain berkostum macan pula ikut menari mengikuti irama gendang.

“Mana kang , katanya ada yang nyetan?”. Tanya Bakri sambil memegang kamera.

“Yang sabar den, ini kan masih permulaan!”

Bakri tampak lesu, dari tadi ia menunggu adegan “nyetan” yang tak kunjung jadi. Apalagi dijam gerah seperti ini, kaosnya mulai basah dibanjiri keringat. Bakri memandang wajah kang sukri, raut wajahnya berseri, mungkin ia terhibur dengan tarian ini. Terlihat beberapa orang juga masuk tanpa sungkan untuk sekedar berlenggok ditengah lapangan turut  meramaikan atraksi itu. Hanya selang beberapa lama, ondel ondel merah kuning terkapar jatuh, seluruh pandangan penonton tertuju padanya.

“Coba lihat itu den, orang itu mulai nyetan”. Kang Sukri buyarkan rasa kantuk bakri.

“Mana kang, mana…?”

“Itu den!” Tangan kang Sukri memberi arah yang dimaksud. Seketika itu kamera Bakri yang sudah disetting video langsung mengarah pada ondel ondel  kesurupan. Dari dalam ondel ondel keluar seorang laki laki berperawak kurus tinggi, matanya tampak kosong, ia berlari ketengah lapangan kemudian loncat- lancit diiringi tabuhan jaranan. Penonton antusias,apalgi sewaktu gema musik berkompromi, para penabuh gendang terus menabuh tiada henti, sama seperti yang lain.

“Musik ini den, juga yang menbuat orang itu nyetan” jelas kang sukri.

“Semakin lama musik jaranan  ini dimainkan, maka orang itu makin jadi nyetannya!”.

Bakri mengangguk, coba memahami maksud kang sukri.

“Nah, itu ketua setannya sudah masuk lapangan. Bakalan seru nih!”. Seru kang Sukri. Seorang berpakaian serba hitam, ditangannya menenteng cabuk besar. Orang yang sedang nyetan itu langsung dilayangkan cambukan keras beberapa kali, namun anehnya ia tetap saja berdiri tegak, malahan tubuhnya tambah berlenggok. Dengan mata telanjang Bakri melihat sendiri  atraksi itu. Ia pikir dengan cambukan keras tadi, pasti tubuhnya lebam, atau bahkan mati jika tak kuat menahan lecutan.

“Sudah percaya den, kalau  nyetan itu ada?”

“ Iya kang!”.

Atraksi cambukan sudah selesai,

Mata Bakri melongo, terhipnotis pada atraksi pertama. Tanpa kedipan ia terus menyaksikan setiap cambukan dengan gaya bervariasi. Punggung, perut, betis, dan pinggang menjadi sasaran utamanya. Cambuk sebesar dahan kayu, ujungnya kecil sebagai tumpuan kesaktian. Bakri sejenak meratapi atraksi itu, pikirannya terbang, mengingat sebagaimana waktu ia kecil, yang serig mandi di sungai. Setiap kali ia mau beranjak pulang, ayahnya sudah pasti menunggu di atas  batu tepi sungai, siap dengan sebuah cambuk sapi. Tanpa ampun ayahnya mencambuki betisnya hingga beberapa hari tidak masuk sekolah sebab betisnya lebam. Setelah dihukum biasanya ayah Bakri berkata.

“Besok mandi lagi ya di sini. Sekalian bapak bawa tali lalu mengikatmu di sini.” Bakri yang masih kecil ketakutan dengan ancaman ayahnya. Sampai keesokan harinya ia benar-benar tidak mandi di sungai. Namun, seminggu kemudian Bakri kembali berulah. Masih belum jera pada hukuman kemarin, sehingga suasana pukulan kembali berulang.

***

“ Atraksi apa lagi ini kang?”

“Yang ini bakalan makan kaca!” Bakri terkejut, apa ia tidak salah dengar.

“Apa kang?”

“Makan kaca?”. Suara kang Sukri sedikit ditinggikan, meyakikan bahwa atraksi itu benar-benar ada.

Setelah Bakri tertegun, ia menoleh, benar, rupanya si nyetan melumat pecahan kaca satu panci besar. Pemain yang lain mencoba kendalikan dari belakang. Seperti ada sebuah energi besar, si nyetan mau saja melahap pecahan kaca. Satu pemain berada di belakangnya membawa seonggok kemenyan bercampur arang. Baunya menyebar kesegala penjuru. Mulutnya komat-kamit membaca mantra, tangannya menggeliang diatas asap kemennyan dan sesekali menyemburkan asap ke arahnya.

Mengerikan,tak habis dipikir jika dibayangkan. Pecahan kaca yang biasanya digunakan untuk pagar rumah, kini beralih menjadi pagar gigi. Secara logika ini memang tidak masuk akal. Sungguh ini atraksi kesurupan, apakah setan mau maka kaca, bukannya setan ataupun sebangsanya hobi makan tulang bangkai, lalu setan mana yang suka memakan kaca.

“Sungguh luar biasa, di pedesaan terpencil, rupanya atraksi yang cukup membahayakan tidak kalah dengan atraksi yang biasanya dipertontonkan dimedia TV. Seandainya orang di nusantara ini mengetahui budanyanya sendiri. ku yakin mereka akan berbondong-bondong menyaksikan budaya yang tidakada di tanah mereka”.

Seusai pertunjukan selesai, Bakri menghamnpiri para pemain tadi. Si nyetan sudah pulih dari kesurupannya. Ia tergeletak masih dalam proses penyembuhan. Bakri mencari ketuanya, akhirnya ia temukan di salah satu tenda beratap terpal pojokan. Bakri menyapa ramah, dari raut wajahnya, orang itu seperti tidak suka kehadiran Bakri, tapi Bakri tidak beranjak pergi, ia tetap maksa ingin sekedar berbincang seputar “Setan Ta’buta’an”. Bakri memulai pembicaraan, syukur sang ketua melayani. Mereka berbincang serius, tanpa sedikit di selingi gelak tawa.

“Mas, saya terheran-heran dengan pertujukan di desa ini. terlalu berbahaya!”

“Katanya siapa bahaya, wong orang sini ini tidak  apa-apa. Memangnya sampeyan dari mana, sampai gak tahu mancak seperti ini?”

“Saya dari kota Bandung mas!”

“Eh..pantesan tidak tahu,orang kota kan serba egois.”

Bakri merasa terpojokkan, ucapannya halus tapi pedas. Tembakannya mengenai sasaran hati, namun apa daya hati hanya bisa tunduk, menerima tantangan perang.

Sifat ketidaknyamanannya terlihat jelas. Bakri tetap teguh tidak mau menggeser pantatnya.

“Awal mula adanya tradisi ini dari mana mas?”.Bakri mengalihkan pembicaraan, belum di jawab pertanyaan darinya, sang ketua segera pergi karena sudah di panggil pemain yang lain.

“Lihatlah atraksi penutup ini, nanti aku akan jawab pertanyaanmu?” sang ketua memberi isyarat seraya berlari kecil.

“Masihg ada harapan” ujar Bakri.

Kang Sukri yang dari tadi di pinggir lapangan kembali bersemangat melihat pertunjukan penutup. Bakri menyambangi Kang Sukri dengan segenggam minuman ditangannya.

Sesaat kemudian pertunjukan kembali dimulai, kali ini pemain yang kesurupan bukan orang dewasa atau pemain tadi, melainkan bocah cilik berumur 12 tahun. Di tengah lapangan ia nyetan habis-habisan. Bukan hanya berlenggok ia bahkan mengamuk kesalah satu penonton. Sang ketua secepat kilat berlari ketengah lapangan mengendalikan si bocah cilik.

“Inilah pertunjukan yang kalian tunggu dari tadi. Panas kalian hiraukan, haus kalian pendam, maka atas terima kasih kami, di sini “Pencak Nyetan Wulo” akan menampilkan sebuah atraksi bahaya “Kurban Bocah”.

Para penonton memberi tepukan tangan meriah, Bakri diam saja merekam dengan kameranya.

“Sebilah pedang ini akan memotong leher bocah ini. apabila lehernya terpotong, mohon maaf pada bapak ibunya, dan apabila tetap utuh maka ada hal gaib yang membantunya. Marilah penonton kita mulai atraksi ini!”

Tabuhan gendang turut menyemangati antusias penonton, termasuk Kang Sukri.

Seorang pemain tanpa baju memamerkan buah dadanya, kekar dan kuat. Dengan seutas tali panjang, mereka ikatkan pada si bocah kesurupan. Awalnya si bocah bisa lolos dari dekapan salah seorang diantara mereka, namun ketika kaki dan tangannya terikat, ia langsung tersungkur ketanah. Badannya kemudian di angkat, kapalanya tepat di lekukan kayu balok, persis seperti sapi jagalan.

“Benarkah bocah itu akan dijagal kang” raut wajah Bakri tanpak cemas.

Kang Sukri tak memberi respon, mungkin ramenya suara penonton menyambar pembicaraan.

Ujung pedang mengiris silau, bertanda tajam yang siap mengiris buayan urat terakhir. Pancuran darah mungkin akan berbentuk pelangi merah tua. Menyembur keawan membentuk hujan gerimis dari darah segar si bocah kesurupan.

Sang jagal yaitu ketua atraksi siap mengayunkan tebasan pedangnya ke leher yang tanggal diatas kayu balok. Si bocah kecil itu tanpak mengeram kesal, tapi apa daya didalam dirinya sudah tergantikan ruh setan.

Bakri merasa takut. Segera ia matikan kameranya lalu berlalu pergi dari samping Kang Sukri.

“Den, tunggu dulu”

“Ngeri kang, aku tidak tega melihatnya”

“Tapi den itu cuma pertunjukan!”

(Baca juga: Cerpen Ini Ada Karena Dihukum )

Bakri tetap tidak menanggapi, ia mempercepat jalannya menyusuri jalan kerikil perumahan.

Langkahnya terhenti di bawah pohon kenitu tua, menunggu kang Sukri yang berusaha menyusul dengan tubuh mungilnya, langkahnya lebih kecil dari Bakri sehingga dia harus jalan tergopoh untuk menyamai setiap langkahan Bakri.

“Kang, aku langsung balik ke Bandung!”

“Loh kok keburu-buru tidak mampir dulu?”

“Terima kasih kang. Kapan-kapan aku kesini lagi”

Tangan Kang Sukri seketika disambar salam perpisahan. Tubuh dan jiwa raga Bakri kemudian hilang tanpa bayang dari desa leluhur gujuran.

“Mayu lek abhereng kabbi, etong sampe’ tello’. Nak kanak kenik riyah bekal elang cetakka. Mayuh mulai!”

(Ayo saudara kita bersama, menghitung sampai tiga. Bocah cilik ini akan hilang kepalanya. Ayo mulai!)

“Tebas”.

 

Related Post