Soal:
Allah SWT menganjurkan kita umat islam untuk selalu berikhtiar untuk meraih berbagai keberhasilan. Banyak usaha yang dilakukan dalam rangka ikhtiar ini. Diantaranya adalah menggunakan azimat atau doa- doa yang berupa hizib atau amalan. Bagaimanakah hukum amalan, hizib dan azimat tersebut?
Jawab:
Mengamalkan do’a-do’a,hizib dan memakai azimat pada dasarnya tidak lepas dari ikhtiar seorang hamba, yang dilakukan dalam bentuk do’a kepada Allah SWT melalui amalan itu. jadi sebenarnya, membaca hizib,dan memakai azimat, tidak lebih sebagai salah satu bentuk do’a kepada Allah SWT. Dan Allah SWT sangat menganjurkan seorang hamba untuk berdo’a kepadaNya. Allah SWT berfirman:
أُدْعُوْنِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ (المؤمن : ٦)
“Berdo’alah kamu, niscaya Aku akan mengabulkannya untukmu.”(QS. Al-Mu’min,60)
Ada beberapa dalil dari hadist Nabi SAW yang menjelaskan kebolehan ini. Diantaranya adalah:
عَنْ عَوْفَ بْنِ مَالِكٍ الأَشْجَعِيِّ قَالَ كُنَّ نَرْقِي فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَقُلْنَا ياَ رَسُوْلَ اللَّهِ كَيْفَ تَرَى فِي ذَلِكَ فَقَالَ ” اعْرِضُوْا عَلَيَّ رُقَاكُمْ لاَ بَأْسَ بِاالرُّقَى مَا لَمْ يَكُنْ فِيْهِ شِرْكٌ (صحيح مسلم، رقم ٤٠٧٩)
“Dari ‘Awf bin Malik al-Asyja’i. Ia berkata “ pada zaman jahiliyah, kita selalu membuat azimat (dan semacamnya). Lalu kami bertanya kepada Rasullullah SAW, bagaimana pendapatmu (Ya Rasul) tentang hal itu”. Rasul menjawab, “Coba tunjukkan azimatmu itu padaku. Membuat azimat tidak apa-apa selama di dalamnya tidak terkandung kemusyrikan.” (Shahih Muslim [4079])
Dalam al-Thibb al-Nabawi, al-Hafizh Abi ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad bin ‘Utsman al-Dzahabi menyitir sebuah Hadist:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : إِذَا فَرَغَ أَحَدُكُمْ مِنْ نَوْمِهِ فَلْيَقُلْ “أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ مِنْ غَضَبِهِ وَعِقَابِهِ وَشَرِّ عِبَادِهِ وَمِنْ هَمَزَاتِ الشَّيَاطِيْنِ وَأَنْ يَحْضُرُوْنِ” فَإِنَّهَا لاَ يَضُرُّهُ. وَكَانَ عَبْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ يُعَلِّمُهَا مَنْ بَلَغَ مِنْ وَلَدِهِ وَمَنْ لَمْ يَبْلُغْ كَتَبَهَا فِي صَكٍّ. ثُمَّ عَلَّقَهَا فِي عُنُقِهِ. (الطب النبوي،١٦٧)
“Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, “Apabila salah satu di antara kamu bangun tidur, maka bacalah (bacaan yang artinya) “Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah SWT yang sempurna dari kemurkaan dan siksaan-Nya, dari perbuatan jelek yang dilakukan hamba-Nya, serta dari godaan syetan serta dari kedatangannya padaku”. Maka syetan itu tidak akan dapat membahayakan orang tersebut. ‘Abdullah bin ‘Umar mengajarkan bacaan tersebut kepada anak-anaknya yang baligh. Sedangkan yang belum baligh, ia menulisnya pada secarik kertas, kemudian digantungkan di lehernya. ” (Al-Thibb al-Nabawi, 167)
Dengan demikian, hizib, atau azimat dapat dibenarkan dalam agama islam. Memang ada Hadits yang secara tekstual mengindikasikan keharaman menggunakan azimat, misalnya:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ . (سنن أبى داود ، رقم ٣٣٨٥)
“Dari ‘Abdullah ia berkata, “Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda , “Sesungguhnya hizib, azimat dan pelet, (yang digunakan untuk kejahatan) adalah perbuatan syirik.” (Sunan Abi Dawud [3385])
Atau Hadits yang menyatakan:
عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ . قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ مَنْ عَلَّقَ تَمِيْمَةً فَقَدْ أَشْرَكَ . (مسند أحمد ، رقم ١٦٧٨1)
“Dari ‘Uqbah bin ‘Amir Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang menggantungkan azimat di lehernya, maka sungguh orang itu telah berbuat syirik”. (Musnad Ahmad [16781]
Mengomentari Hadits ini, Ibn Hajar, salah seorang pakar ilmu Hadits, serta para ulama yang lain mengatakan:
قَالَ اِبْنُ حَجَرٍ كَغَيْرِهِ مَحَلُّ مَا ذُكِرَ فِي هَذَا الْخَبَرِ وَمَا قَبْلَهُ تَعْلِيْقُ مَا لَيْسَ فِيْهِ قُرْآنٌ وَنَحْوُهُ أَمَّا مَا فِيْهِ ذِكْرُ اللهِ فَلاَ نَهْيَ عَنْهُ فَإِنَّهُ إنَّمَا جُعِلَ لِلتَّبَرُّكِ وَالتَّعَوُّذِ بِأَسْمَائِهِ وَذِكْرِهِ . (فيض القدير ، ١٨١ )
“Ibnu Hajar dan ulama yang lain mengatakan, “Keharaman yang terdapat dalam Hadits itu, atau Hadits yang lain, adalah apabila yang digantungkan itu tidak mengandung al-Qur’an atau yang semisalnya. Apabila yang digantungkan itu berupa dzikir kepada Allah SWT, maka larangan itu tidak berlaku. Karena hal itu digunakan untuk mengambil barokah serta minta perlindungan dengan Nama Allah SWT, atau dzikir kepada-Nya.”(Faidh al-Qadir, 181)
Inilah dasar kebolehan membuat dan menggunakan amalan, hizib serta azimat. Karena itulah para ulama salaf semisal Imam Ahmad bin Hanbal, Ibnu Taimiyyah membuat azimat.
قَالَ الْمَرُّوْذِي شَكَتْ اِمْرَأَةٌ إِلَى أَبِي عَبْدِ اللهِ (أحمد بن حنبل) أَنَّهَا مُسْتَوْحِشَةٌ فِي بَيْتِهَا وَحْدَهَا فَكَتَبَ لَهَا بِخَطِّهِ بِسْمِ اللهِ وَفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَالْمُعَوِّذَتَيْنِ، وَقَالَ كَتَبَ أَبُوْ عَبْدِ اللهِ مِنَ الْحُمَّى بِسْمِ اللهِ الرَحْمَنِ الرَّحِيْمِ، بِسْمِ اللهِ وَبِاللهِ وَمُحَمَّدٍ رَسُوْلِ اللهِ (يَا نَارُ كُوْنِي بَرْدًا وَسَلاَمًا عَلَى إِبْرَهِيْمَ، وَأَرَادُوْا بِهِ كَيْدًا فَجَعَلْنَاهُمُ اْلأَخْسَرِيْنَ (الأنبياء ٦٩–٧٠) اَللَّهُمَّ رَبَّ جِبْرِيْلَ وَمِيْكَائِلَ وَإِسْرَافِيْلَ اِشْفِ صَاحِبَ هَذَا الْكِتَابِ بِحَوْلِكَ وَقُوَّتِكَ وَجَبَرُوْتِكَ إِلَهِ الْحَقِّ آمِيْن.وَقَالَ أَبُوْ دَاوُدَ رَأَيْتُ عَلَى ابْنٍ لِأَبِي عَبْدِ اللهِ وَهُوَصَغِيْرٌ تَمِيْمَةً فِي رَقَبَتِهِ فِي أَدِيْمٍ. وَكَانَ الشَّيْخُ تَقِيُّ الدِّيْنِ ابْنُ تَيْمِيَّةَ رَحِمَهُ اللهُ يَكْتُبُ عَلَى جَبْهَةِ الرَّاعِفِ (وَقِيْلَ يَآاَرْضُ ابْلَعِيْ مَاءَكِ وَيَا سَمَآءُ اَقْلِعِيْ وَغِيْضَ الْمَاءُ وَقُضِيَ اْلأَمْرُ (هود، ٤٤) (الآداب الشرعية والمنح المرعية، ج ٢ ص ٣٠٧–٣١)
“Al-Marrudzi berkata, “Seorang perempuan mengadu kepada Ali ‘Abdillah (Ahmad bin Hanbal) bagwa ia selalu gelisah apabila seorang diri di rumahnya. Kemudian Imam Ahmad bin Hanbal menulis dengan tangannya sendiri, basmalah, surat al-Fatihah dan mu’awwidatain (al-Falaq dan al-Nas). Al-Marrudzi juga menceritakan tentang Abu Abdillah yang menulis untuk orang yang sakit panas, basmalah, bismillah wa billah wa Muhammad Rasulullah, QS.al-Anbiya’ 69-70, Allahumma rabbi jibrilah dst…… Abu Dawud menceritakan saya melihat azimat yang di bungkus kulit di leher anak Abi ‘Abdillah yang masih kecil. Syaikh Taqiyuddin Ibn Taimiyyah RA menulis QS. Hud 44 di dahinya orang yang mimisan (keluar darah dari hidungnya). “(Al-Adab al-Syar’iyyah wa al-Mar’iyyah, juz II hal 307-310)
Namun, tidak semua do’a-do’a dan azimat dapat dibenarkan. Setidaknya, ada tiga ketentuan yang harus diperhatikan. Sebagaimana disebutkan oleh Sa’id bin Ali Wahf al-Qahthani.
وَقَذْ أَجْمَعَ الْعُلَمَاءُ عَلَى جَوَازِ الرُّقَى عِنْدَ اجْتِمَاعِ ثَلاَثَةِ شُرُوْطٍ ١) أَنْ تَكُوْنَ بِكَلاَمِ اللهِ تَعَالَى أَوْ أَسْمَائِهِ وَصِفَاتِهِ أَوْ كَلاَمِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. ٢) أَنْ تَكُوْنَ بِاللِّسَانِ الْعَرَبِيِّ أَوْ بِمَا يُعْرَفُ مَعْنَاهُ مِنْ غَيْرِهِ. ٣) أَنْ يَعْتَقِدَ أَنَّ الرُّقْيَةَ لاَ يُؤَثِّرُ بِذَاتِهَا بَلْ بِقُدْرَةِ اللهِ تَعَالَى وَالرُّقْيَةُ إِنَّمَا هِيَ سَبَبٌ مِنَ اْلأَسْبَابِ . (العلاج بالرقى من الكتاب والسنة ٨٢–٨٣)
“Ulama sepakat bahwa menggunakan do’a-do’a, hizib dan azimat itu diperbolehkan asal memenuhi tiga syarat. (Pertama) harus menggunakan kalam Allah SWT, Sifat Allah SWT, Asma Allah SWT ataupun sabda Rasulullah SAW. (Kedua) menggunakan bahasa Arab ataupun bahasa lain yang dapat dipahami maknanya. (Ketiga) tertanam keyakinan bahwa ruqyah itu tidak dapat memberi pengaruh apapun, tapi (apa yang diinginkan dapat terwujud) hanya karena takdir Allah SWT. Sedangkan do’a dan azimat itu hanya sebagai salah satu sebab saja.”(Al-‘Illaj bi al-Ruqa nib al-Kitab wa al-Sunnah, 82-83)
(Baca juga: Hujjah Aswaja : Al-Barzanji Pengarang Sholawat Al-Barzanji)
Dari sini dapat disimpulkan bahwa, selama tidak melanggar batasan-batasan agama, menggunakan azimat atau yang semisalnya dapat dibenarkan.
Sumber: KH Muhyiddin Abdusshomad. 2010. Fiqih Tradisionalis. Surabaya: Khalista.