Mengenang Jenderal Soedirman, Tunas Kekuatan TNI Sejak 72 Tahun Lalu

 ditulis oleh Tim Resume siswa MTs Unggulan Nuris*

Judul               : SOEDIRMAN: Seorang Panglima, Seorang Martir

Penulis             : Tempo

Cetakan           : Keenam, Oktober 2016

Halaman          : 176 hlm

ISBN-13         : 978-602-6208-44-6

Penerbit           : KPG

Harga              : Rp.50.000,00

Seri biografi tokoh militer panglima besar menjadi buku bacaan penting karena selama puluhan tahun Indonesia diperintah oleh diktator militer. Para jenderal ini tumbuh menjadi mitos, menjadi legenda yang gelap. Menulis sejarah kemiliteran di Indonesia,  tidak akan lengkap jika tidak dimulai dari  kisah seorang panglima besar yang telah dinilai mengubah sejarah. Kisah tentang seorang panglima besar ini adalah jilid kedua seri “Tokoh Militer” yang diangkat dari liputan khusus Majalah Berita Mingguan Tempo November 2012.

BAB 1 Bapak Tentara Dari Banyumas

Soedirman disebut sebagai Bapak Tentara dari Banyumas karena beliau terpilih sebagai Panglima Besar Tentara Keamanan Rakyat pada 12 November 1945 melalui pemungutan suara. Saat itu, beliau masih berumur 29 tahun dan terkenal di kalangan pemimpin divisi, terutama di Jawa, berkat kecakapan dan karismanya. Selain itu, pada 18 Desember 1945 di Gedung Markas Tinggi TKR di Gondokusuman, di Yogyakarta Soedirman dilantik sebagai panglima besar dan ditahbiskan oleh Soekarno dan Moh.Hatta.

BAB 2 Dari Sebuah Sidang Revolusioner

Dalam sidang Revolusioner merencenakan pemilihan pemimpin tertinggi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang baru dibentuk seminggu sebelumnya. Sidang ini dianggap gila oleh Didi Kartasasmita karena hampir semuanya memegang senjata. Pemilihan ini berlangsung sederhana dengan empat kandidat di antarannya: Oerip, Soedirman, Amir Sjarifoeddin, dan Moeljadi Djojomartono melalui voting. Suara terbanyak diraih oleh Soedirman sehingga beliau  terpilih menjadi pemimpin tertinggi TKR, Oerip menjadi Kepala Staf Umum, dan Sultan Hamengku Buwono IX sebagai Menteri Pertahanan. Selain Sultan, Amir Sarifoedin juga menjadi Menteri Pertahanan yang ditunjuk oleh Sultan Sjahrir dan diumumkan pada 14 November 1945. Akan tetapi, penunjukan Amir ini bertentangan dengan kesepakatan Gondokusuman yang memilih Sultan sebagai Menteri Keamanan. Karena, Sjahrir tidak menyetujui peran Peta dan organisasi militer lainnya dalam TKR.

Pada 20 Juni 1947, perdana menteri Louis Beel menyatakan bahwa Belanda tidak lagi terikat gencatan senjata karena pasukan Indonesia sering menggangu keamanan. Sehari kemudian, pesawat tempur P-51 Mustang mengumbar peluru di kota-kota besar. Melalui RRI, Panglima Besar Soedirman meminta rakyat Indonesia untuk bersatu menyelamatkan negara. Pada 18 Desember 1948, Bonang Simatupang menemui Soedirman di kediamannya di Bintaran yang masih terbaring sakit di ranjang kamarnya untuk melaporkan situasi genting Republik.  Mendengar laporan tersebut, Soedirman menyatakan siap memegang kembali komando tertinggi militer Indonesia walau pada saat itu beliau masih belum sembuh. Pada tanggal 19 Desember 1948, Belanda melancarkan Agresi Militer II yang di pimpin oleh Letnan Jenderal Spoor yang bertujuan menghabisi kekuatan Indonesia yang bertumpu di Yogyakarta tepatnya menyerang lapangan terbang Maguwo.

(Baca juga: Bedah Buku Ayat-ayat Semesta Bersama Agus Purwanto: Love Alquran and Sains)

Soedirman yang awalnya lemah seakan akan memperoleh kekuatan setelah mendengar Belanda melancarkan serangan. Dan ini untuk pertama kalinya Soedirman meninggalkan rumah setelah 3 bulan beristirahat karena sakit yang di deritanya. Setibanya Soedirman di Gedung Agung untuk menunggu hasil sidang kabinet, para tokoh-tokoh menyarankan agar Soedirman beristirahat tetapi Soedirman menolaknya, dan beliau menunggu hasil sidang di luar ruangan. Ternyata hasil sidang cabinet tidak akan mempertahankan Yogyakarta, sehingga membuatnya kecewa. Bertepatan dengan itu juga Soedirman memutuskan untuk bergerilya dari Yogyakarta menuju Kediri. Digunung wilis dan gunung kombang, beliau membangun kekuatan untuk melawan Belanda. Setelah mematangkan strategi, Soedirman meninggalkan Kediri menuju lereng gunung wilis, seusai kepergian Soedirman dari gunung wilis, Kapten Soepardjo Roestam meminta Letnan Muda Laut Heru Kesser agar menjadi Soedirman palsu untuk mengecoh Belanda yang diduga berada di lereng gunung wilis. Strategi itu begitu manjur, tiga pesawat pemburu Belanda mengebom rumah yang dimasuki Soedirman palsu.

Pada awal Januari 1949, penduduk di kampung Nganjuk panik setelah mengetahui bahwa pesawat Belanda sedang mencari para gerilyawan dan bisa tiba-tiba memuntahkan peluru atau bom. Di rumah Jirah, sewaktu pesawat mendekat, dia melihat seseorang  yang memakai beskap di panggil oleh bapaknya. Dan orang yang memakai beskap itu mengeluarkan keris dan memberdirikannya dengan ujung lancipnya menghadap ke langit-langit. Kian dekat suara pesawat, kian nyaring doa mereka.

Perlahan keris itu miring, lalu jatuh ketika bunyi pesawat menjauh. Dan ternyata orang yang memakai beskap itu ialah Jenderal Soedirman. Pada awal Februari 1949, sepucuk surat tiba di tangan jenderal soedirman. Pengirimnya adalah Sri Sultan Hamengkubuwono IX, dalam surat itu Sultan menyatakan dunia internasional harus mengetahui bahwa Indonesia dan TNI masih ada. Dalam empat bulan terakhir sudah tiga kali TNI menggelar serangan umum di tangsi-tangsi tentara Belanda di Yogyakarta. Pada Februari 1949, Soedirman memanggil Soeharto untuk membahas strategi. Soedirman menginginkan Soeharto memimpin serangan umum. Serangan umum 1 Maret ini memang berhasil dengan gemilang.

(Baca juga: Resensi Buku Cara Sakti Bikin Otak dan Ingatanmu Secerdas EINSTEIN dan Setajam SILET!)

BAB 3 Si Kaji Menjadi Bintang Lima

Soedirman lahir pada hari Senin pon 24 Januari 1916. Di Purbalingga, Jawa Tengah. Dari sepasang suami istri, Siyem dan Karsid Kartoworidji. Nama Soedirman diberikan oleh ayah angkatnya Tjokrosoenarjo. Pada usia tujuh tahun, Soedirman mulai bersekolah pada tahun 1923 di Hollandsch-Inlandsche School(HIS) beliau dikenal sebagai murid yang rajin, pandai, disiplin, dan piawai bermain sepak bola. Beliau lulus pada tahun 1930, setelah lulus, beliau melanjutkan sekolah di MULO(Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) Cilacap dan lulus pada tahun 1935.

Soedirman muda bukan hanya mengikuti PETA tetapi, beliau juga aktif pada kegiatan keagamaan Organisasi Muhammadiyah, yang mempertemukannya dengan Siti Alfiah yang aktif di organisasi keputrian Muhammadiyah. Pada 1936 Soedirman menikahi Alfiah dan dikaruniai anak pertama pada tahun 1937. Setelah menikah, Soedirman tetap aktif di organisasi Muhammadiyah dan membuat Jepang kepincut dan mengangkatnya sebagai dewan pertimbangan karesidenan Cilacap. Karena Jepang tidak puas dengan kinerja Soedirman, dan akhirnya ia dikirim ke Bogor pada 1943 untuk mengikuti pendidikan komandan batalion PETA .

Soedirman masuk PETA atas persetujuan istrinya. Sebelum menjadi pasukan PETA, Jepang mensyaratkan bakat kepemimpinan, jiwa dan fisik sehat, serta stabilitas mental. Dan Soedirman dapat memenuhi syarat tersebut. Akhirnya, pada usia 26 tahun Soedirman telah ditetapkan menjadi daidanco (Komandan Batalion Peta) di Cilacap.

BAB 4 Garis Politik Sang Jenderal

Surat itu diterima pada siang hari, saat Soedirman bersiap meninggalkan rumahnya. Kurir meminta Soedirman menjawab segera,perintah kurir tersebut terkait dengan kegentingan situasi di Istana Kepresidenan Yogyakarta. 3 Juli 1946 Peristiwa yang dalam sejarah dikenal sebagai kudeta pertama RI. Menurut mangil dikalangan istana sudah beredar desas desus pasukan tentara yang akan menyerbu istana untuk melakukan kudeta. Di pintu gerbang istana, pada 3 Juli 1946 ada belasan tokoh yang dikenal aktif dalam organisasi perjuangan Tan Malaka diantaranya Chairul Saleh, Abikusno, M. Yamin, Sukarni, Iwa Koesoema Soemantri, dan Ahmad Soebarjo yang dipimpin oleh Soedarsono. Akan tetapi, Soedarsono memalsukan maklumat atas persetujuan Soedirman. Dan akhirnya Soedarsono ditahan. Kudeta 3 Juli 1946 ini menjerat 17 orang dan diadili di Mahkamah Agung Militer.

(Baca juga: Beasiswa Unggulan Nuris Kembali Buka Kesempatan Besar)

Pada 24 Januari 1946,Amir mengubah TKR(Tentara Keamanan Rakyat) yang dipimpin Soedirman menjadi Tentara Republik Indonesia(TRI) dengan tujuan melebur semua laskar bersenjata kedalam satu wadah, ini merupakan awal Soedirman berseteru dengan menteri Amir. Akan tetapi Amir gagal maerangkul laskar-laskar ke TRI, maka terbentuklah biro perjuangan yang dipimpin Mayor Jenderal Djoko Soejono. Disini laskar-laskar di pelihara dan di persenjatai, akan tetapi, kebijakan Amir ini tidak disukai Soedirman sehingga antara Amir dan Pak Dirman seperti musuh dalam selimut dikarenakan Amir menganggap TKR ini sebagai pembentukan dari mantan anggota angkatan militer bentukan penjajah. Pada 1 November 1946 Jumat pagi Soedirman datang ke Jakarta untuk pertama kalinya.

Kedatangan Soedirman disambut dengan konvoi kendaraan dan berhenti di hotel shutte raff. Tujuan Soedirman datang ke Jakarta untuk menanda tangani perjanjian genjatan senjata antara tentara Indonesia dan Belanda. Akan tetapi,terdapat beberapa perbedaan sudut pandang yang mengganggu jalannya diplomasi. Agar tidak terganggu pada 17 Maret 1946 Tan Malaka dan kawan kawan ditangkap. Dan pada 25 Juni 1946 pertentangan pun memuncak ketika Hatta berpidato yang menyebutkan pemerintah menuntut pengakuan de facto.Akan tetapi, pidato itu dinilai sebagai sikap menyerah Bangsa Indonesia terhadap Belanda. Akibatnya, pada 27 Juni Perdana Menteri Sjahrir diculik Abdul Kadir Jusuf, perwira yang ditugasi Soedarsono.

Moh. Hatta dikenal sangat akrab dengan Soedirman tapi juga sering tak sejalan. Keakraban mereka sebenarnya juga karena faktor Rahmiati, istri Hatta yang memiliki sepupu bersuami Soetarto seorang dokter pribadi Soedirman selama sakit. Saking akrabnya sampai-sampai mereka berdiskusi di tempat Soedirman dirawat di RS Panti Rapih, sesudah Soedirman wafat pada 29 Januari 1950, Hatta tidak pernah memutus tali silaturrahmi dengan keluarga Soedirman. Bahkan saat putri pertama dan ketiga Soedirman melangsungkan pernikahan, Hatta hadir.

Pada 1 Agustus 1949, Soedirman mengirim memo untuk Soekarno yang intinya mereka menolak genjatan senjata. Dan satu hari sebelum pindah ke jakarta, Soekarno mengirim surat kepada Soedirman yang terbaring sakit di tempat tidur pada 27 Desember 1949 yang isinya berharap Soedirman tetap memberi bantuan dan pikiran demi meneruskan perjuangan.

BAB 5 Bukan Musuh, Sakit yang Membuatnya Takluk

Malam itu, akhir September 1948, di kediamannya yang kini menjadi museum Sasmitaloka, soedirman mengeluh tidak bisa tidur selama di Madiun kepada istrinya. Soedirman begitu terpukul menyaksikan pertumpahan darah yang terjadi antara rakyat Indonesia. Ketika hari ulang tahun tentara tiba pada 5 Oktober 1948, Soedirman yang masih sakit, mengunjungi Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta. Di sana beliau melakukan tabur bunga. Sepulang dari tabur bunga kesehatannya memburuk. Dan ternyata Soedirman menderita tuberkulosis, infeksi paru-paru. Karena Soedirman butuh penanganan cepat, tim dokter memutuskan melakukan operasi dengan cara membuat satu paru-parunya tidak berfungsi.

Pada 17 Desember 1948, keajaiban datang, Soedirman tiba-tiba bisa bangkit dari tempat tidur. Soedirman berfirasat Belanda akan melakukan agresi. Selang dua hari, firasat sang Jenderal terbukti. Soedirman pun memimpin gerilya dari luar Yogyakarta. Pada 10 Juli 1949, Soedirman di bawa masuk ke Yogyakarta lantaran kesehatannya memburuk. Saat itu Soedirman di rawat dengan nama samaran:Abdullah Lelana Putra. Dan akhirnya pada senin, 29 Januari 1950 Soedirman wafat dalam usia 34 tahun dan di makamkan di Taman Pahlawan Semaki, Yogyakarta. Soedirman wafat setelah Jenderal Oerip Wafat selang dua tahun. Jenderal Oerip wafat pada 17 November 1948 dalam usia 55 tahun.

Tim penulis:

Weni Maftuhah, kelas IX E; Qoyyumil, kelas IX E; Nafiatul, kelas IX E

 

Related Post