*Penulis: Tasya Dea
Penulis adalah salah satu siswa kelas XI IPA 1 SMA Nuris Jember.
Langit muram tak berbintang. Bulanpun enggan menampakkan diri meski di butuhkan. Gelap mencekam ditemani rinai hujan yang mulai bertaburan. Membasahi atap, halaman dan pepohonan. Membawaku ke alam berbeda. Ke sebuah pelataran kesepian. Jam di pergelangan tangan menunjukkan waktu tengah malam. Namun, aku masih terjaga. Meringkuk, berusaha terlelap di ujung ruang. Menahan teriak hati yang tersekat di tenggerokan. Terus mencoba menutup penglihatan tentang keadaan. Alangkah indahnya dulu saat semua masih tetap sama. Lagi- lagi hanya bisa menghela nafas kecewa. Sebagai seorang santri sepertinya aku harus di pertanyakan.
***
Rembulan di culik
Tak terbayang bagaimana?
Benar saja dapat terjadi. Sang ajudan cahaya pendamping tak melihatnya. Hamparan tikar hitam menghalangi. Siapa yang harus disalahkan sekarang? Mana mungkin aku minta pertolongan sedang mereka terkalahkan. Sejak pagi mega mendung menyerang. Gemuruh tak henti-henti menyerang. Melumpuhkan sang surya yang mulai kelelahan kekurangan cahaya hingga hari berganti malam. Tak habis-habis mereka jatuhkan Kristal-kristal air pembunuh. Menguapkan hawa panas di tanah untuk membuat suasana menjadi dingin kemudian. Aku bersembunyi di balik tembok asrama. Sesekali memandang ke luar hanya untuk memastikan. “ Ya Allah begitu dahsyat ciptaanMu,” bisikku dalam kegelapan.
Hujan yang datang hampir seharian penuh ini membuat pondok padam total. Mungkin terdapat beberapa cahaya dari lilin-lilin yang di hidupkan dari masing-masing kamar asrama. Namun tetap aja, angin yang datang membuat api lilin bergoyang tak beratur. Menambah meremang badanku yang sejak tadi tak tahan.
“ Hafi, ngapain kamu di sini? Bukannya kamu di panggil ustad Sofyan, ya?” ucap seseorang di belakangku. Seketika aku menoleh padanya.
“ Ohh… Fadil toh, ada apa kok ke sini? Ada perlunya sama saya? Maaf saya gak bisa lama-lama. Lain waktu saja ya!”
“Astagfirullah, pasti kamu melamun lagi,kan? Jangan keseringan bengong kalau di pondok, nanti kamu kesambet loh. Sudah sana kamu pergi ke biro pendidikan di panggil ustad Sofyan. Inget jangan sampai beliau nunggu,kalau enggak kamu tahu akibatnya.” Selanjutnya ia berlalu meninggalkanku yang semakin bingung. “ Hafi … Hafi jadi orang kok lola banget sih. Heran aku sama dia. tapi, kok dia bisa hafal Al- Qur’an dan al-Fiyah ya? Di sekolah selalu menang olimpiade. Subhanallah… Allah memang adil. Aku yang tampangnya lebih daripada dia malah gak bisa apa-apa. Hafi… Hafi semoga dia selalu seperti itu.”gumamnya di perjalanan.
***
Langit bermuram abu-abu. Bulir- bulir air mulai berjatuhan menebar hawa dingin di sekitar alam. Menggigil sendi berkerut mengejang. Jaket yang kugunakan tak mampu menahan hawa dingin yang menusuk tulang. Terdiam aku dipojok ruang, menghangatkan tubuh. Baru saja temanku menanyakan kabarku. Kujawab baik- baik saja meski sebetulnya aku kesakitan. Sudah dua hari perut tak terisi nasi. Bukan tak mau tapi tak berani. Bagaimana mungkin aku berjalan melewatinya? Sedang aku sendiri menyadari apa yang sedang terjadi. Ya Allah, aku takut. Pondok ini memang besar. Namun ruangnya begitu sempit sehingga aku harus bertemu dengannya. Lagi dan lagi. Aku kehausan dan kelaparan. Duduk di pojok ruang. Menanti waktu salat datang.
“ Hafi… kamu dipanggil ustad Sofyan” ucap Fadil saat mamasuki kamar.
“Apa lagi Fadil? Sudah dua hari ustad memanggil saya. Dan selalu hal yang dibahas selalu sama. Apa samean gak capek manggil saya terus,”
“Eh… tumben nyambung. Kesambet setan apa kamu?”
“MasyaAllah Fadil. Apa salahnya kalau saya nyambung ngomong sama samean. Emang kemarin-kemarin saya gak nyambung tah?”
“ Alhamdulillah nyambung lagi. Allah sudah menyembuhkan kamu. Ya sudah, saya tinggal dulu. Hal seperti ini harus di syukuri dengan segera. Untuk itu aku mau ke masjid sujud syukur buat kamu. Aku tinggal dulu ya. Jangan lupa sujud syukur juga, terus pergi temui ustad Sofyan segra , ok!”
Memang sedikit kesal aku di buatnya. Namun Fadil adalah sahabatku. Satu-satunya teman yang kupunya dan mau berada di dekatku. Bukan aku tak mengenggap temanku yang lain. Hanya saja dia berbeda. Tak ada yang betah berlama-lama ngobrol denganku. Biasanya mereka hanya berbasa-basi satu sampai dua menit saja. Atau untuk menanyakan sesuatu tentang pelajaran, setelah selesai merekapun pergi. Beda dengan Fadil, kami sampai tahu rahasia masing-masing. Tak ada yang dia sembunyikan.Termasuk orang yang di kaguminya saat ini. Tak bisa kuhianati kepercayaannya.
***
Solawat mengaum-ngaum di pelataran masjid pondok. Para santri telah berkumpul di dalam dengan khusyuk terus bermunajad kepada Allah, ikut serta melantunkan solawat kepada rasulullah pembawa risalah yang mewarisi Al-qur’an dan as-Sunnah kepada ummatnya. Aku berdiri di depan masjid. De javu, di sinilah awal mulanya semua ini terjadi. Masih terngiang bagaimana ustad Sofyan duduk di sana, tepat di hadapanku. Memegang sebuah kertas yang entah apa isinya. Terlihat beberapa kali ia bolak- balik kertas itu seperti tak percaya. Dahinya berkerut seiring ia mengira-ngira. Aku yang saat itu berdiri tak jauh dihadapannya ikut penasaran. Tergesa kuhampiri ustad, hingga…
Plakk… seseorang menepuk pundakku membuyarkan lamunan.
“Sedang apa Hafi? Mari kita masuk ke dalam”
Aku mengangguk, orang tersebut adalah ustad Sofyan. Beliau mungkin sedari tadi mencariku. Terlihat bagaimana raut wajah puas terpancar begitu menemukanku. Tangannya begitu erat merangkulku sepanjang perjalanan menuju mimbar masjid.
“Ustad, haruskah saya?” tanyaku pada ustad menanggapi tatapan para santri yang mulai membuatku tak nyaman. Beliau hanya mengangguk dan tersenyum tanpa sepatah katapun terucap. Bajuku basah, oleh keringat yang ditimbulkan oleh perasaanku yang mulai campur aduk. Tak berani ku tegakkan pandangan. Hanya saja ada yang mengusikku sedari tadi. Akhirnya, kucoba untuk melihat suasana. Seketika bergetarlah tubuhku. Tak kusadari begitu banyaknya santri di pondok ini. Semakin berkeringatlah aku di buatnya. Ustad Sofyan hanya tersenyum memandang kegugupanku hari ini. Aku semakin tersentak saat tak sengaja kami bersitatap. Ia berada di sana, di ujung kiri ruang masjid. Memandangku dengan tatapan yang sama saat pertama kali bertemu di depan masjid waktu itu. Aku yang sedang terburu-buru ingin bertemu ustad Sofyan tak sengaja menabraknya yang sedang berlari-aku yakin ia sedang menghindari kejaran temannya- dengan terus tertawa kecil. Dialah Fatimah, putri ustad Sofyan yang paling bungsu. Kira-kira berumur tiga tahun lebih muda dariku. Berwajah putih kemerah-merahan. Tinggi semampai dengan senyum yang menawan orang yang memandang. Bahkan jika disejajarkan tinggi kami tak jauh berbeda.
Ia meminta maaf kemudian kembali berlari menghindari temannya yang semakin dekat. Dari saat itulah aku mengerti, apa yang dirasakan Fadil selama ini. Orang yang di kaguminya adalah Fatimah. Pantas ia sering tertawa sendiri saat bersamaku. Selalu bersemangat pergi ke rumah ustad. Kukira ia memang sengaja ingin membantunya untuk mendapat berkah. Tapi, terdapat maksud lain dari semua itu.
“Sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui” ucapnya disuatu hari.
Kulihat ia ada disana. Masih di sana dengan tatapan yang sama. Pertemuan kami waktu itu membuatku sadar akan sesuatu. Sadar dunia terdiri atas dua macam manusia. Yang pertama, manusia yang menggumi keindahan dunia, dan yang kedua manusia yang memiliki keindahan dunia. Kami jadi sering bertemu karena ustad Sofyan selalu memanggilku ke rumahnya. Sejak datang selembaran entah darimana? Beliau sangat menyayangiku. Aku tak tahu apa sebenarnya isi selembaran itu. Hanya saja aku mulai merasakan kehadiran dunia baru. Dimana terdapat aku di sana seperti seseorang yang baru dilahirkan, baru dan tidak tahu apa-apa. Tak lagi ada dunia dengan bayang-bayang hayal melanda.
Aku yakin isi selembaran itu ada sangkut pautnya dengan dijadikannya aku sebagai guru mengaji Fatimah. Memang awalnya biasa saja, pertemuan belajar kami layaknya seorang guru dan murid. Hingga pada suatu hari, Fatimah berani bertanya kepadaku, “Ustad…. Bagaimana caranya agar jatuh cinta tidak mengganggu proses menghafal al-Qur’an?”
Jawabku sederhana namun membuatnya tertawa lepas. Memperlihatkan kedua lengsung pipitnya. Wajahnya semakin memerah. Aku yang bingung hanya bisa menelan ludah dan menggaruk kepala. Kembali ia bertanya, “ benarkah ustad?”. Kembali kujawab dengan kata ya. “ sampai sekarang ustad? Mungkinkah tak dirasakan rasa suka di hati ustad?”. Kubenahi peciku yang sedikit miring. Berganti posisi duduk lebih tegap dan membuka lembar kaca al-Qur’an berikutnya.
“ Fatimah… tahukah kamu mengapa aku tidak bisa menjawab pertanyaan pertamamu. Ketahuilah bahwa aku telah memiliki kekasih yang sebenarnya kekasih dan dia tidak akan pernah mau untuk diduakan. Darinyalah aku tahu makna kehidupan. Kau ingin tahu siapa? Dialah al-Qur’an. Aku jatuh cinta padanya sejak pertama kali umi memperkenalkannya padaku. Cinta pada pandang pertama akan sulit dilupakan. Jadi Fatimah, jika kamu tak ingin hafalanmu terganggu karena jatuh cinta , maka cintailah al-Qur’an terlebih dahulu. Baru cinta yang sesungguhnya akan datang padamu suatu saat nanti. Pada hakikatnya begitu, insyaAllah.” Mendengar jawabanku ia membisu, sedetik kemudian aku tahu ia sedang menahan tangis terpendam di pelupuk mata. Setelah sunyi beberapa saat, kami lanjutkan proses mengaji. Dan berakhir seperti biasa, aku pamit padanya dan ustad Sofyan. Ketika kulewati ambang pintu, terdengar suara isak tangis. Kuyakini Fatimah menangisi jawabanku. Ya Allah, mungkin sederhana kata tidak tahu namun besar maknanya kata tidak tahu bagi orang yang tahu.
***
(Baca juga: Filosofi Air)
Langit berlesu. Telah dikirim kembali matahari untuk beristirahat. Tak kan lupa kejadian hari ini. Dimana aku dinobatkan menjadi lulusan terbaik dan menerima berbagai penghargaan atas hal yang kulakukan sebagai tirakatku di pondok ini. Bangga memang, namun aku merasa tidak pantas menerimanya sedang tugasku belum usai. Ustad Sofyan, memelukku dengan berlinang air mata. Kini aku tahu apa isi dari selembaran itu, ialah sebuah beasiswa untukku ke al-Azhar, Kairo Mesir. Andai saja ustad tahu bahwa aku melakukan sebuah kesalahan dalam masa-masa terakhirku mondok. Dia tak tahu diam-diam aku menaruh hati pada anaknya. Gadis yang dititipkannya untuk kuajari bukan dicintai. Terlebih telah kuhianati sahabatku. Fadil , orang yang sangat baik yang selalu berada disisiku meski orang lain tak mau.
Aku menjadi orang yang munafik, dengan menasehati seseorang sedang aku sendiri tidak seperti itu. Hatiku melunak pada Fatimah. Gadis lalu yang telah menyatakan perasaannya padaku. Tak ada jawaba dariku. Hanya diam menjuru. Bukan cinta yang kusalahkan tapi mengapa aku tak cepat menyadarinya? Bahwa cinta adalah ujian tuhan, dan pasti akan datang. Bahkan dalam diri seseorang yang takwa sekalipun. Ia datang, tergantung bagaimana kita melaluinya, akankah menjadi berkah atau malah menjadi dosa yang berakibat siksa-Nya.
Mengurung diriku di kamar. Tak sanggup kutemui mereka. Sebagai seorang santri aku harus di pertanyakan.