Dalam Madzhab Imam al-Syafi’I, ada tiga tempat yang disunahkan membaca qunut, yakni ketika terjadi nazilah (bencana, cobaan), qunut pada shalat Witir di pertengahan bulan Ramadhan, dan terakhir pada shalat Shubuh.
Tentang kesunahan qunut shubuh ditegaskan oleh kebanyakan ulama salaf dan setelahnya. Di antara ulama salaf yang mensunnahkannya adalah Abu Bakar al-Shiddiq, Umar bin al-Khaththab, Utsman, Ali, Ibnu Abbas dan al Barra’ bin Azib-radhiyallabu’anhum. (Al-Majmu’, juz I, hal 504). Dalil yang dijadikan acuan adalah hadits Nabi
عَنْ أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ قَالَ : مَا زَالَ رَسُوْلُ اللهِ يَقْنُتُ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا (رواه أحمد، ١٢١٩٦)
“Diriwayatlan dari Anas bin Malik, “Beliau berkata, “Rasulullah senantiasa membaca qunut ketika shalat shubuh sehingga beliau wafat,”(HR.Ahmad [12196]).
Pakar hadits al-‘Allamah Muhammad bin’Allan al-Shiddiqi dalam kitabnya, al-Fitubat al –Rabbaniyah menyatakan bahwa hadits inilah yang benar, dan diriwayatkan serta di-shahih-kan oleh segolongan pakar yang banyak hafal hadits. Di antara orang yang menyatakan ke-shahih-an hadits ini adalah al Hafizh Abu AbdilahMuhammad bin Ali al-Balkhi, al Hakim dalam kitab al-Mustadrak, dan di beberapa tempat dari kitab yang ditulis oleh al-Baihaqi. Al-Daraquthni juga meriwayatkannya dari beberapa jalur dengan berbagai sanad yang shahih. (Al-Futuhat al Rabbaniyyah ‘ala al-Adzkar al-Nawawiyyah, juz II, hal 268).
Sedangkan redaksi doa qunut yang warid (diajarkan langsung) oleh Nabi adalah:
اَللّهُمَّ اهْدِنَا فِيْمَنْ هَدَيْتَ، وَعَافِنَا فِيْمَنْ عَافَيْتَ، وَتَوَلَّنَا فِيْمَنْ تَوَلَّيْتَ، وَبَارِكْ لَنَا فِيْمَا أَعْطَيْتَ، وَقِنَا شَرَّ مَا قََضَيْتَ، فَإِنَّكَ تَقْضِىْ وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ، وَإِنَّهُ لاَ يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ، وَلاَ يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتََ، تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ، فَلَكَ الْحَمْدُ عَلَى مَا قَضَيْتَ، نُسْتَغْفِرُكَ وَنَتُوْبُ إِلَيْكَ (رواه النسائي :١٧٢٥، وأبو داود : ١٢١٤، والترمذي : ٤٢٦، وأحمد : ١٦٢٥، والدارمي : ١٥٤٥، بسند صحيح)
“Ya Allah, berikanlah kami petunjuk seperti orang-orang yang telah Engkau beri petunjuk. Berilah kami perlindungan seperti orang-orang yang telah Engkau beri perlindungan. Berilah kami pertolongan sebagaimana orang-orang yang Engkau berikan pertolongan. Berilah berkah ada segala yang telah Engkau berikan kepada kami. Jauhkanlah kami dari segala kejahatan yang Engkau pastikan. Sesungguhnya Engkau Dzat yang maha menentukan dan Engkau tidak dapat ditentukan. Tidak akan hina orang yang Engkau lindungi. Dan tidak akan mulia orang yang Engkau musuhi. Engkau maha suci dan maha luhur. Segala puji bagi-Mu atas segala yang Engkau pastikan. Kami mohon ampun dan bertaubat kepada-Mu.” (HR al-Nasa’I [1725], Abu Dawud [1214], al-Tirmidzi [426], Ahmad [1625], dan al-Darimi [1545] dengan sanad yang shahih).
(Baca juga: Al-Barzanji Pengarang Sholawat Al-Barzanji)
Sedangkan hadits yang menyatakan bahwa Nabi tidak melakukan qunut , tidak dapat dijadikan sebagai alas an untuk tidak mensunnahkan, apalagi sampai melarang qunut. Karena dalam kaidah disebutkan “al-mutsbit muqaaddam ala an-nafi” (yang mengatakan ada didahulukan dari yang mengatakan tidak ada).
Sumber: KH Muhyiddin Abdusshomad. 2008. Hujjah NU. Surabaya: Khalista.