Tauhid dalam Bingkai Humanis

Oleh : Cholis Rosyidatul Husnah*

La ilaaha illa Allah ‘Tiada tuhan selain Allah’

Siapa yang tidak mengerti arti dari kalimat tersebut,  setiap muslim bahkan anak kecil pun tahu. Di pujian-pujian setelah adzan juga sering di dengungkan. Bahwa tidak ada sesuatu apapun yang patut disembah kecuali Allah. Bagi umat Islam, tauhid adalah inti atau substansi dalam beragama. Begitu Indah nan agungnya tauhid. Karena seluruh sistem keberagamaan dibangun atas dasar tauhid. Hal ini menunjukkan bahwa tauhid itu bentuk komitmen verbal atas keimanan hamba terhadap Tuhannya Yang Esa dan Yang Maha Satu. Bahkan tauhid adalah kunci surga.

Secara terminologi Tauhid merupakan pandangan dunia (worldview), basis,  titik fokus dan awal akhir dari seluruh pandangan dan tradisi masyarakat muslim. Dalam sejarah agama langit, tauhid hadir di tengah moral masyarakat yang hancur dan kacau, ditandai dengan merosotnya rasa manusia yang memanusiakan nilai manusia mereka sendiri. Konteks Nabi Muhammad yang menjadi Rosul di tengah kaum jahiliyah, yang pada saat itu sikap penghargaan terhadap nilai kemanusiaan sangat di bawah batas manusia. Nabi Muhammad dihadirkan untuk membawa ajarab tauhid seperti yang dibawa oleh nabi sebelumnya. Bukan dihadirkan untuk mendirikan agama baru, akan tetapi menegakkan kembali keimanan yang dibawa oleh nabi Ibrahim. Hal ini tertera jelas dalam QS. Al-Baqarah 135–136.

(baca juga: Kebangkitan Santri hingga Hari Kebangkitan Nasional)

Ajaran tauhid yang dibawa dan diajarkan oleh Nabi Muhammad merupakan pernyataan yang menegasikan segala bentuk politeisme atau kemusyrikan, bukan hanya pada tataran ritualistik atau bentuk penyembahan berhala, api, patung dan semancamnya. Melainkan segala bentuk kemusyrikan, misalnya memahaagungkan dan memuja kepentingan pribadi, golongan, etnis dan sebagainya.

Tauhid jika dipandang dari paradigma individual dapat dimaknai bahwa manusia bebas dari bentuk belenggu perbudakan, dalam arti luas bebas dari perbudakan manusia atas manusia, diri terhadap benda, perbudakan diri terhadap kesenangan pribadi, kebanggaan dan kesombongan diri di hadapan orang lain serta hal lain yang menjadi kecenderungan egoistik manusia.

Lafad La ilaaha berarti penafian terhadap hal yang diagungkan, disembah, dipuja. Dengan ini penuhanan, pengagungan, pemujaan terhadap diri sendiri serta lebih mementingkan ego pribadi dalam teks suci Tuhan termasuk hal yang menyesatkan. Ini terjadi ketika manusia hanya mementingkan kepentingan sendiri dan menolak kepentingan orang lain. Membesarkan diri sendiri dan merendahkan orang lain. Membenarkan diri sendiri dan menolak pendapat yang lain, dan seterusnya.

(baca juga: Halaman Pertama Buku Ramadlan dan Hari Buku Nasional 2018)

Sedangkan illa Allah bermakna hanya allah lah yang memiliki kebesaran dan kekuasaan. Dalam hal ini, sejatinya manusia sangatlak lemah. Manusia tidak memiliki kekuatan apa pun tanpa bantuan dan kekuasaan Allah.

Dengan demikian, Tauhid merupakan pembebasan diri manusia dari sifat invudialistik. Afirmasi tauhid menunjukkan bahwa, tidak ada keagungan, kekuasaan dan kepemilikan yang mutlak manusia atas alam semesta. Semuanya milik Allah semata. Dalam doktrin tauhid, manusia hanya punya hak pakai dan memanfaatkan. Oleh karena itu, hak milik pribadi memang diakui namun harus berfungsi sosial dalam kerangka solidaritas dan kesatuan sosial, budaya dan politik.

Barang siapa ingin menindas orang lain/ Berarti ia ingin Menjadi Tuhan/ Padahal tiada Tuhan selain Allah

 Barang siapa ingin menjadi tiran/ Berarti ia Ingin menjadi Tuhan/ Padahal tiada Tuhan selain Allah

 Barang siapa ingin merendahkan orang lain/ Berarti ia ingin menjadi Tuhan/ Padahal Tiada Tuhan Selain Allah

*Penulis merupakan Mahasiswa Aktif  Program Studi Al Ahwa Al Sykahsiyyah, Fakultas Syariah, IAIN Jember serta kader Putri PMII Rayon Syariah IAIN Jember. Alumni MA Unggulan Nuris tahun 2014.

Related Post