Soal:
Termasuk al-Ashnafal-Tasmaniyah (delapan golongan yang berhak menerima zakat) yang disebutkan dalam Alquran adalah golongan fi sabilillah. Apakah yang dimaksud fi sabilillah dalam ayat itu? Sebab ada yang berpendapat bahwa sabilillah itu mencakup kepada semua bentuk kebaikan, seperti membangun masjid, madrasah, dan lainnya.
Jawab:
Ayat yang menjelaskan tentang delapan golongan yang berhak menerima zakat, terdapat pada QS. Al-Taubah, 60:
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِيْنِ وَالْعَامِلِيْنَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوْبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِيْنَ وَفِي سَبِيْلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيْلِ فَرِيْضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ (التوبة : ٦٠)
“Sesungguhnya zakat itu diberikan untuk orang-orang fakir, orang miskin, pengurus yang mengumpulkan dan membagikan zakat, orang-orang mu’allaf (baru masuk Islam), budak mukatab, orang yang banyak hutangnya, untuk sabilillah, dan untuk orang dalam perjalanan. Begitulah perintah Allah Swt. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Taubah, 60)
(baca juga: Lailah al-Qadr)
Ini adalah delapan golongan yang berhak diberi harta zakat. Sedangkan yang dimaksud fi sabilillah dalam ayat itu adalah orang-orang yang berjihad (berperang) membela agama Allah Swt. Dalam Tafsir al-Jalalain disebutkan:
«وَفِي سَبِيْلِ اللهِ» أَيْ اَلْقَائِمِيْنَ بِالْجِهَادِ مِمَّنْ لاَ فَيْءَ لَهُمْ وَلَوْ أَغْنِيَاءَ (تفسير الجلالين، ٤٢٠)
“(fi sabilillah) artinya adalah orang-orang yang melaksanakan jihad (peperangan membela agama Allah Swt) yang tidak mendapatkan harta fa’i sekalipun mereka kaya.”(Tafsir al-Jalalain, 420)
Jadi, fi sabilillah hanya tertentu pada orang-orang yang melakukan peperangan membela agama Allah Swt. Oleh karena itu, harta zakat tidak dapat diberikan untuk pembangunan masjid, madrasah, dan semacamnya. Penggalangan dana untuk tujuan tersebut jangan sapai mengambil harta zakat, tapi bisa dengan cara lain, seperti infaq dan sadaqah. Bukankah dalam harta itu ada hak lain selain zakat (inna fi al-mal haqq siwa al-zakah)? DR. Muhammad Bakr Isma’il dalam kitabnya al-Fiqh al-Wadhih mengatakan:
وَالْقَوْلُ الْأَوَّلُ أَصَحُّ وَهُوَ مَا عَلَيْهِ أَكْثَرُ الْفُقَهَاءِ. وَبِنَاءُ الْمَسَاجِدِ وَالْمَدَارِسِ وَالْمَقَابِرِ وَنَحْوِهَا إِنَّمَا يَتِمُّ مِنْ صَدَقَةِ التَّطَوُّعِ لاَ مِنْ الزَّكَاةِ الْمَفْرُوْضَةِ، إِذْ هِيَ مُخْتَصَّةٌ بِالْأَصْنَافِ الثَّمَانِيَّةِ الْوَارِدَةِ فِي الْآيَةِ. (الفقه الواضح، ج ١ ص ٥٠٨ – ٥٠٩)
“Pendapat pertama (sabilillah diartikan dengan orang-orang yang berjihad (berperang) di jalan Allah Swt) adalah yang paling benar. Dan itulah pendapat mayoritas ulama. Pembangunan masjid, madrasah, pemakaman dan lainnya, bisa didanai dengan shadaqah sunnah, tidak dari harta zakat. Sebab pembagian zakat itu hanya tertentu pada delapan golongan yang telah disebutkan dalam ayat Alquran.” (Al-Fiqh al-Wadhih, juz I, hal 508-509)
(baca juga: Zakat untuk Famili yang Tidak Mampu)
Kesimpulannya sabilillah dalam ayat itu tidak dapat diartikan dengan segala jalan kebaikan. Sebab yang dimaskud hanyalah orang-orang yang berperang di jalan Allah Swt.
Sumber: KH Muhyiddin Abdusshomad. 2010. Fiqih Tradisionalis. Surabaya: Khalista.