Penulis: Rofiatul Ananda
Dalam pengertian busana, sarung berarti sepotong kain lebar yang pemakaiannya dibebatkan pada pinggang untuk menutup bagian bawah tubuh (pinggang ke bawah). Sarung dapat digunakan di acara tertentu, seperti santai di rumah, saat ibadah atau upacara perkawinan, dan ada juga yang digunakan sebagai pelengkap baju daerah. Berdasarkan catatan sejarah, sarung berasal dari Yaman yang awal mulanya digunakan oleh suku Badui yang tinggal di Yaman.
Seiring berjalannya waktu, penggunaan sarung semakin meluas. Tidak hanya di Semenanjung Arab, namun juga hingga Asia Selatan, Asia Tenggara, Afrika, Amerika, dan Eropa. Sarung pertama kali kali masuk ke Indonesia ada abad ke-14 yang dibawa oleh para saudagar Arab dan Gujarat. Dalam perkembangan berikutnya, sarung di Indonesia identik dengan kebudayaan Islam. Sejak itu, sarung menjadi pakaian yang dianggap memiliki nilai kehormatan dan kesopanan yang tinggi. Terbukti, tidak sedikit laki-laki yang mengenakan sarung ketika beribadah di masjid dengan atasan baju koko. Terkadang, wanita pun juga menggunakan sarung sebagai bawahan untuk sholat.
(baca juga: Sejarah Adanya Tasbih, sebagai Alat Bantu Berdzikir)
Berbeda dengan sejarah sarung di zaman penjajahan Belanda. Di zaman penjajahan Belanda, kaum santri merupakan masyarakat yang konsisten memakai sarung. Bahkan mereka menggunakannya untuk melawan budaya barat yang dibawa para penjajah. KH. Abdul Wahab Abbdullah, salah satu tokoh penting di Nahdhatul Ulama (NU), selalu konsisten memakai sarung. Bahkan, ketika dia mendapat undangan untuk menghadiri upacara kenegaraan, dia memilih untuk tetap memakai sarung. Kekonsistenannya memakai sarung meruakan symbol perlawanan terhadap budaya baray dan dia ingin menunjukkan harkat dan martabat bangsanya di depan penjajah.
(baca juga: Sejarah Munculnya Sajadah)
Di Indonesia, sarung dapat pula dibuat dari bahan tenun ikat, songket, serta tapis yang berasal dari berbagai daerah berbeda di Indonesia seperti NTT, NTB, Sulawesi, Bali, dan lain-lain. Motif kain sarung ang umum adalah garis-garis yang saling melintang (kotak-kotak) yang memiliki filosofi tertentu. Filosofinya adalah setiap melangkah baik ke kanan maupun ke kiri, atas maupun bawah akan aa konsekuensinya.
Penulis merupakan siswa kelas XI IPA 1 SMA Nuris Jember. Dia aktif sebagai anggota ekstrakurikuler Jurnalistik Website Pesantrennuris.net dan juga MSains Matemaitka.