Berkumpul untuk melakukan tahlilan merupakan tradisi yang telah diamalkan secara turun menurun oleh mayoritas umat Islam Indonesia. Meskipun format acaranya tidak diajarkan secara langsung oleh Rasulullah, namun kegiatan tersebut dibolehkan karena tidak satupun unsur-unsur yang terdapat di dalamnya bertentangan dengan ajaran Islam, misalnya pembacaan surat Yasin, tahlil, tahmid, tasbih, dan semacamnya. Karena itu, pelaksanaan tahlilan secara esensial merupakan perwujudan dari tuntunan Rasulullah.
Imam al-Syaukani mengatakan bahwa setiap perkumpulan yang di dalamnya dilaksanakan kebaikan, misalnya membaca Alquran, dzikir, dan doa itu adalah perbuatan yang dibenarkan meskipun tidak pernah dilaksanakan pada masa Rasulullah. Begitu pula tidak ada larangan untuk menghadiahkan pahala membaca Alquran atau lainnya kepada orang yang telah meninggal dunia. Bahkan, ada beberapa jenis bacaan yang didasarkan pada hadits shahih seperti hadits “Bacalah surat Yasin kepada orang mati di antara kamu”. Tidak ada bedanya apakah pembacaan surat Yasin tersebut dilakukan bersama-sama di dekat mayit atau di atas kuburnya, dan membaca Alquran secara keseluruhan atau sebagian, baik dilakukan di masjid atau di rumah. (Al-Syaukani, al-Rasa’il al-Salafiyyah, hal 46).
(baca juga: Masalah Hadits Dha’if)
Kesimpulan al-Syaukani ini memang didukung oleh banyak hadits Nabi. Di antaranya adalah:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَا يَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُونَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا حَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ (رواه مسلم، ٤٨٦٨)
“Dari Abi Sa’id al-Khudri, ia berkata, Rasulullah bersabda, “Tidaklah berkumpul suatu kaum sambil berdzikir kepada Allah Swt, kecuali mereka akan dikelilingi malaikat, dan Allah Swt akan memberikan rahmat-Nya kepada mereka, memberikan ketenangan hati dan memujinya di depan makhlukk yang ada di sisi-Nya.” (HR. al-Muslim[4868])
Kaitannya dengan pendapat Imam al-Syafi’i “Dan aku tidak senangg pada “ma’tam” yakni adanya perkumulan, karena hal itu akan mendatangkan kesusahan dan menambah beban.” (Al-Umm, juz 1, hal. 318).
Perkataan Imam al-Syafi’i ini sering dijadikan dasar melarang acara tahlilan, karena dianggap sebagai salah satu bentuk ma’tam yang dilarang tersebut. padahal apa yang dimaksud dengan ma’tam itu tidak sama dengan tahlilan. Ma’tam adalah perkumpulan untuk meratapi mayit yang dapat menambah kesusahan dan kesedihan keluarga ang ditinggalkan. (Al-Munjid,2)
Ma’tam yang tidak disenangi oleh Imam al-Syafi’i adalah perkumpulan untuk meratapi kepergian mayit, yang menerminkan kesedihan mendalam karena ditinggal oleh orang yang dicintai. Seolah-olah tidak terima dengan apa yang telah diputudkan oleh Allah Swt. Dan itu sama sekali tidak terjadi bagi orang yang melakukan tahlilan yang didalamnya terdapat dzikir dan doa untuk orang yang meninggal dunia. Sehingga, lebih cepat jika tahlilan itu disebut sebagai majlis al-dzikir.
Bagi sohibul musibah, tahlilan itu merupakan pelipur lara dan penghapus duka karena ditinggal mati oleh orang yang mereka sayangi, bukan penambah kesusahan dan derita. Sebagai bukti, semakin banyak orang yang tahlil, maka tuan rumah semakin senang. Justru tuan rumah akan kecewa dan tambah bersedih jika yang datang untuk tahlilan sangat sedikit.
(baca juga :Madzhab Imam al-Syafi’i)
Dari sisi sosial, keberadaan tradisi tahlilan mempunyai manfaat yang sangat besar untuk menjalin ukhuwah antar anggota masyarakat. Dalam sebuah penelitian ilmiah yang dilakukan oleh Zainuddin Fananie MA dan Atiqo Sabardila MA dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta didapat kesimpulan bahwa tahlil merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan keagamaan. Di samping itu tahlil juga merupakan salah satu alat mediasi (perantara) yang paling memenuhi syarat yang bisa dipakai sebagai media komunikasi keagamaan dan pemersatu umat serta mendatangkan ketenangan jiwa.
Sumber: KH Muhyiddin Abdusshomad. 2008. Hujjah NU. Surabaya: Khalista.