Oleh: Achmad Faizal*
Pesantren Nuris – Bulan September akan segera berakhir pada pekan depan ini. Peringatan Hari Aksara Internasional telah berlalu. Hari Buku Nasional juga akan kita lewati. Motivasi kebangkitan literasi akan selalu berpacu dalam demam digitalisasi yang barangkali menjadi tantangan atau malah mendukung semangat baca-tulis khalayak di Indonesia.
Jamak kita ketahui, kemajuan IPTEK terkadang mendorong arus pragmatisme atau hedonisme masyarakat semata. Apalagi tidak didukung dengan kemelekkan literasi yang berdampak pada sempitnya pengetahuan dan pengalaman. Seolah gelombang teknologi informasi menjadi debur hantaman yang membahayakan. Bisa jadi, ini hanya akan menenggelamkan akal sehat, bahkan memproduksi manusia pendebat yang hampa.
Mengapa demikian? Ketidaksiapan literasi suatu bangsa yang dianggap dunia ketiga, penduduknya akan mudah diporak-porandakan oleh bacaan nihil atau visualisasi yang menjebak kebuntuan berpikir. Penggiringan opini, penyesatan nalar, akan dengan mudah menular menjadi penyakit akut otak yang kronis.
Dari itu semua, penulis berusaha mengetengahkan kekhawatiran shock effects digitalisasi dengan soal gaya literasi generasi di era milenial. Sebab literasi bukan sekadar tentang membaca lalu memunculkan gagasan, melainkan kejelian menentukan, memahami, mengkritisi, menafsirkan, mengkaji bacaan, hingga memproduksi gagasan. Artinya, saat ini semua orang suka membaca meski hanya status facebook, story Whatsapp, atau arikel “jadi-jadian” lainnya. Yang dimaksud penulis adalah bagaimana kita membaca tingkat tinggi secara komprehensif.
Buku adalah salah satu jawaban, yang bisa menjadi bahan bacaan komprehensif itu (meski harus lebih jeli pula terhadap penulis dan penerbitnya). September selalu menjadi peristiwa berulang yang seolah membangunkan kita soal buku. Buku adalah bacaan yang lebih komplet, kawan berdialog lebih setia, isinya selalu dapat kita kritisi kapan pun. Mengingat soal buku dan aksara, tentu ada tempat yang besar untuk menyimpannya karena keterbatasan kepala. Apa itu, perpustakaan.
Meski digitalisasi merambah dahsyat yang menyebabkan masyarakat lebih ramai mengunjungi ruang maya soal bacaan, tetapi perpustakaan tetaplah tempat terdamai dalam memulihkan ingatan. Kita bisa memindai sejauh mana halaman buku, yang mungkin agak rumit jika melalui layar telepon pintar. Entahlah, apa ini hanya keluhan penulis atau kenyataan berjamaah.
Di tengah hiruk-pikuk berita yang sesak di berbagai media, penulis mengajak pembaca untuk berjalan-jalan melalui penanggalan September yang akan usai. Mendamaikan hati sejenak dari lelah keseharian yang termakan waktu. Penulis mengingatkan bahwa kita punya ruang baca yang tak kan menipu, mampu menampung ribuan saraf manuskrip yang sehat, buku yang kita peringati setahun sekali. Konon, terkenal di dunia. Apalagi jika bukan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.
Seputar Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas) akan kita kenalkan kepada pembaca. Bagi Bookholic atau kecanduan membaca, di sinilah dokter terampuh dalam membunuh saraf yang terjangkit penyakit Alzheimer (penyakit kepikunan).
Perpusnas merupakan lembaga pemerintah nonkementerian yang melaksanakan tugas pemerintahan dalam bidang perpustakaan yang berfungsi sebagai perpustakaan pembina, perpustakaan rujukan, perpustakaan deposit, perpustakaan penelitian, perpustakaan pelestarian, dan pusat jejaring perpustakaan, serta berkedudukan di ibukota negara.perpustakaan nasional berada di Jalan Medan Merdeka Selatan 11,Jakarta dan berada di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden Pada tanggal 14 September 2017, Presiden Joko Widodo meresmikan Perpusnas baru yang merupakan perpustakaan nasional tertinggi di dunia (126,3 meter) dengan 27 lantai, termasuk tiga lantai parkir bawah tanah (basement). Gedung baru Perpustakaan Nasional dibuat dengan anggaran multi tahun 2013–2016 sebesar Rp465,2 miliar.
(baca juga: Zaid bin Tsabit: Seorang Penulis Wahyu)
Sejarah Perpusnas bermula dengan didirikannya Bataviaasch Genootschap pada 24 April 1778. Lembaga ini adalah pelopor Perpusnas dan baru dibubarkan pada tahun 1950. Awalnya, Perpustakaan Nasional RI merupakan salah satu perwujudan dari penerapan dan pengembangan sistem nasional perpustakaan, secara menyeluruh dan terpadu, sejak dicanangkan pendiriannya tanggal 17 Mei 1980 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Daoed Joesoef. Ketika itu kedudukannya masih berada dalam lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan setingkat eselon II di bawah Direktorat Jenderal Kebudayaan, dan badan ini merupakan hasil integrasi dari empat perpustakaan besar di Jakarta.
Keempat perpustakaan tersebut, yang kesemuanya merupakan badan bawahan DitJen Kebudayaan, adalah:
1) Perpustakaan Museum Nasional;
2) perpustakaan sejarah, politik dan sosial (SPS);
3) Perpustakaan wilayah DKI Jakarta;
4) Bidang Bibliografi dan Deposit, Pusat Pembinaan Perpustakaan.
Walau secara resmi Perpustakaan Nasional berdiri pada 17 Mei 1980, namun integrasi keseluruhan secara fisik baru dapat dilakukan pada Januari 1981. Sampai tahun 1987 Perpusnas masih berlokasi di tiga tempat terpisah, yaitu di Jl. Merdeka Barat 12 (Museum Nasional), Jl. Merdeka Selatan 11 (Perpustakaan SPS) dan Jl. Imam Bonjol 1 (Museum Naskah Proklamasi). Sebagai kepala Perpustakaan Nasional adalah ibu Mastini Hardjoprakoso, MLS, mantan kepala Perpustakaan Museum Nasional.
Perpustakaan Nasional RI kini menjadi perpustakaan yang berskala nasional dalam arti yang sesungguhnya, yaitu sebuah lembaga yang tidak hanya melayani anggota suatu perkumpulan ilmu pengetahuan tertentu, tetapi juga melayani anggota masyarakat dari semua lapisan dan golongan. Walau terbuka untuk umum, koleksinya bersifat tertutup dan tidak dipinjamkan untuk dibawa pulang. Layanan itu tidak terbatas hanya pada layanan untuk upaya pengembangan ilmu pengetahuan saja, melainkan pula dalam memenuhi kebutuhan bahan pustaka, khususnya bidang ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan, guna mencerdaskan kehidupan bangsa.
Perpusnas tidak hanya menjadi tempat koleksi buku, tetapi juga memiliki berbagai fasilitas lainnya, seperti ruang teater, layanan audiovisual, area budaya baca, data center, layanan koleksi buku langka, serta menjadi lokasi kantor Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia. Fasilitas per lantai Perpusnas:
Lantai 1: Lobi Utama;
Lantai 2: Ruang Layanan Keanggotaan Perpustakaan dan Ruang Teater
Lantai 3: Zona Promosi Budaya Baca
Lantai 4: Ruang Pameran Koleksi Perpustakaan
Lantai 5: Ruang Pustakawan
Lantai 6: Data Center
Lantai 7: Layanan Anak, Lansia, dan Disabilitas
Lantai 8: Layanan Audiovisual
Lantai 9: Layanan Naskah Nusantara
Lantai 10: Layanan Deposit
Lantai 11: Monograf Tertutup
Lantai 12: Ruang Baca Pemustaka
Lantai 13-14: Layanan Koleksi Buku Langka
Lantai 15: Layanan Referensi
Lantai 16: Layanan Koleksi Foto, Peta, dan Lukisan
Lantai 17-18: Kantor Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
Lantai 19: Layanan Multimedia
Lantai 20: Layanan Koleksi Berkala Mutakjir dan Bidang Ilmu Perpustakaan
Lantai 21-22: Layanan Monograf Terbuka
Lantai 23: Layanan Koleksi Bangsa-bangsa Dunia dan Majalah Terjilid
Lantai 24: Layanan Koleksi Budaya Nusantara, Executive Lounge dan Ruang Penerimaan Tamu Mancanegara.
*Staff Pengajar Bahasa dan Sastra Indonesia di MA Unggulan Nuris