Memeluk Hujan

Memeluk Hujan

Penulis: Achmad Faizal*

Duhai awan yang kelabu. Aku ingin melukis Januari di kotaku pada sisimu yang syahdu bersama angin. Tentang hikayat rintik yang bertubi jatuh pada punggung musim. Menerpa akar rimpang di dadaku yang berserak kepasrahan

Setibanya, aku melihat sawahsawah harapan hanyut bersama lumpur ego. Menghempas tanah yang luka bersama longsor yang memendam rumahrumah emosi. Hujan mana yang amarahnya kini tak terkendali. Ceritakan wahai awan yang kelabu

(baca juga: Sajak Kopi Kongsi)

Oh angin, Aku seolah tak lagi mampu menanti tunastunas kembang, sebul daundaun dan dahan muda kehidupan. Hujan yang selama ini kukenal enggan mendekap di hangat tubuhku. Tempatku menaruh kepedihan sepi, mencuci diri pada lumut galau

Tapi aku masih yakin, Kau selalu menyimpan lukisan bianglala yang kutitipkan di sisimu. Maka, biarkan aku memaksa dan terus memelukmu. Mengajakmu intim melepas dosadosa yang berdebu di tubuhku. Meluruhkan waktu yang terbuang karena kesialanku. Aku pasti menunggumu. Sebab, kepada hujan aku mengisi gundah kerontang hati yang dahaga. Dan segala keterpurukan kemarau

Andungbiru–Jember, 16 Januari 2019

*penulis adalah staff pengajar bahasa dan sastra Indonesia di MA Unggulan Nuris

Related Post