Cerita tentang Patung

Cerita tentang Patung

Penulis: Artasya Median P.*

Pada pagi yang masih menyisakan embun di daun-daun yang hijaunya berseri, Kenzie masih membenamkan wajahnya dalam gumpalan bantal yang sedikit tengik itu. Hawa segar masih dapat dirasakan bagi siapa saja yang saat ini keluar rumah, menginjak rerumputan dan menghirup udara segar. Sementara diatas sana, Kenzie belum mau menyapa matahari yang masih saja bersembunyi pada awan-awan kabur yang menutupinya, membuat hari menjadi redup bagi penghuni dunia.

Kenzie, pria berperawakan tua namun sebenarnya masih muda itu lagi-lagi menampakkan wajah lesunya ke matahari yang kini berani memanggang kulitnya. Kenzie bangun. Lalu, dilihatlah matahari yang mulai silau itu.

Kenzie turun dari ranjang yang kakinya setengah diganjal itu. Dengan malas, ia menghampiri sebuah ruangan yang ternyata adalah kamar mandi. Di sebelah ruangan itu, terlihat sosok perempuan tua yang sedang terbaring lemah. Di atas meja di samping ranjang perempuan itu tampak banyak bungkusan plastik berisi obat-obatan. Sesekali perempuan itu batuk, kemudian dengan bertelanjang, Kenzie keluar dari kamar mandi untuk mengambilkan ibunya air minum.

Dengan pakaian yang seadanya, Kenzie melanjutkan niatnya untuk kembali mencari sebuah pekerjaan. Kenzie berjalan keluar rumahnya melewati seorang tua yang sedang mengupas kelapa.

“Dasar tidak berguna!” Suara laki-laki itu menyambut Kenzie yang sedang lewat.

Kenzie terus berjalan tanpa menggubris siapapun yang melihatnya. Karena letih berjalan, beristirahatlah dia disebuah warung kopi kecil yang terletak di pinggir jalan.

(baca juga: Sumpah Pemuda Milenial)

“Lemas sekali kau Kenzi.” Seorang teman menyapanya.

Sapaan itu hanya dibalas senyum masam oleh Kenzie.

“Sedang apa kau disini?” Teman Kenzie itu duduk menemani Kenzie. Melihat kedua orang itu duduk di depan warungnya, Bu Sumi, sang pemilik warung menunjukkan wajah tak suka.

“Aku membutuhkan pekerjaan, Sob.”

“Kau belum bekerja?”

“Semacam itu lah.”

“Apa yang sudah kau usahakan?”

“Selama ini aku coba mencari-cari pekerjaan, namun Tuhan sepertinya tak menakdirkan pekerjaan-pekerjaan itu untukku. Aku tak tahu harus berbuat apa di dunia ini. Hanya kau yang mau mendengarkan aku. Bantulah aku.”

“Hmm. Begini saja. Kemarin aku ditawarkan pekerjaan oleh orang yang senasib dengan kita dari desa seberang. Katanya dia baru saja datang dari kota dan di sana terdapat sebuah museum yang sedang membutuhkan pekerja, sepertinya pekerjaan itu cocok untukmu. Kalau kau mau, aku bisa bantu kau dengan membicarakannya dengan temanku itu.”

***

Singkat cerita, Kenzie benar-benar mendapatkan pekerjaan. Ternyata, teman dari temannya itulah yang memberinya pekerjaan. Katanya, “Kau cukup menjaga patung ini saja, nanti kau akan mendapatkan uang.” Begitu mudah pekerjaan yang diterimanya, meskipun hasil yang didapatnya tidak terlalu banyak, tapi itu cukup buatnya. Yang penting baginya kini adalah akhirnya ia tahu pekerjaannya di dunia ini.

Hari pertama, Kenzie memulai pekerjaannya dengan perasaan senang. Ia memulai pekerjaannya dengan mengitari lingkungan museum tempat patung itu diletakkan. Ia tak sendiri, tampak seorang petugas kebersihan juga bekerja di sekitar area museum itu. Hanya saja, karyawan itu sangat galak dan tak mau diajak bicara oleh Kenzie.

Selama satu minggu bekerja, ia gunakan waktunya untuk mengenal lingkungan museum juga menyapa para karyawan. Ada yang ramah padanya, ada juga yang sangat tak suka kepadanya.

Hari ketujuh ia bekerja, Kenzie masih melakukan pekerjaannya dengan hati gembira, ia selalu menyapa dan menebar senyum kepada setiap pengunjung yang datang di museum itu. Cukup banyak informasi tentang museum yang Kenzie pelajari. Ada sebuah artefak kuno yang di dalamnya ia membaca riwayat hidup seseorang yang dulunya adalah pedagang India yang dirampok di tengah perjalanan. Pedagang itu ternyata bukan orang sembarangan, tapi ternyata dia memiliki ilmu beladiri sejenis kung fu yang memadai. Akhirnya keempat rampok itu mati di tangan sang pedagang. Tapi malangnya, sang pedagang juga terluka, lalu akhirnya ia mati juga. Lebih malangnya lagi, sebelum sang pedagang itu mati, ia terlanjur mengucapkan kalimat kutukan kepada tanah, tempat ia mati. Pedagang itu mengatakan bahwa tanah itu adalah tanah kutukan yang tak akan pernah mengalami kemajuan di bidang agama.

Kembali ke pekerjaan Kenzie sebagai penjaga patung, rupanya ia tak pernah mengamati dan mempelajari mengenai patung-patung itu. Akhirnya, setelah berkeliling kompleks museum, Kenzie kembali ke area patung. Kenzie mengamati salah satu patung yang berdiri sendirian di depan pintu museum. Patung itu dapat dikatakan sebagai patung teraneh yang Kenzie lihat selama ia bekerja pada Museum ini. Keanehan patung tersebut membuat Kenzie penasaran, tak satupun para karyawan museum yang mau memberi tahunya nama dari patung tersebut. Mereka malah saling berbisik satu sama lain. Semakin penasaranlah Kenzie terhadap patung itu.

(baca juga: Sajak kepada Guru)

Hampir setiap hari Kenzie melakukan pengamatan pada patung itu. Menurutnya patung yang satu ini sangatlah unik. Tidak jarang juga Kenzie membersihkan patung tersebut. Hingga pada suatu hari Kenzie merasakan keanehan pada patung itu.

“Terlalu sering aku melihat kamu dengan wajah menyebalkan seperti itu. Kalau mau menyebalkan jangan di sini. Ini tempatnya orang belajar tentang kehidupan dengan mengetahui masa lalu.”

Tiba-tiba saja suara itu membuyarkan lamunan Kenzie. Ia terperangah mendengar suara itu. Selang beberapa waktu, suara yang tak diketahui asalnya itu kembali terdengar. Kenzie hanya kebingungan mencari asal suara itu.

“Saya patung yang selalu engkau rawat.” Suara itu kembali terdengar.

“Bisakah kau tunjukkan di mana dirimu?”

“Apa yang harus saya tunjukkan?” Patung itu balik bertanya.

Kenzie yang mulai ketakutan, melirik ke sosok patung yang ada di belakangnya.

“Laaaaaaaa!”

Kenzie nyaris terjatuh.

“Kamu bicara?”

“Saya bukan hanya bicara. Tapi saya juga punya banyak cerita.” Patung itu kembali bersuara.

“Kau punya cerita? Apa aku tidak salah dengar, ha?” Celetuk Kenzie yang diselangi tertawa terbahak-bahak.

“Kau tidak percaya ?”

“Coba saja bercerita.”

Maka, berceritalah patung itu kepada Kenzie sepanjang tujuh hari tujuh malam. Kenzie selalu mendengarkan ceritanya dengan seksama, serasa tak mau tertinggal sedikitpun dengan cerita patung itu. Sejenak jika rasa letih datang, Kenzie tidur dibawah pangkuan patung itu.

Hari Demi hari Kenzie bekerja dengan penuh kesenangan, keakrabannya dengan sang patung semakin hari semakin dekat. Patung tak hanya bercerita pada Kenzie, tetapi dia juga mendengarkan keluh kesah Kenzie setiap kali Kenzie bercerita.

Itulah Patung. Patung selalu menjadi penghibur Kenzie di kala sedih, patung selalu menjadi pendengar yang baik, patung selalu menjadi penasehat yang baik untuk Kenzie, dan patung selalu bercerita tentang hal aneh serta lucu yang bisa membuat Kenzie terhibur dan tertawa, hingga tak jadilah Kenzie untuk bermurung kembali.

Dinginnya angin malam tidak mempengaruhi tubuh Kenzie. Terlalu banyak rasa ingin tahu dirinya pada sipatung, Pada saat bekerja dia luangkan waktunya untuk menemui patung.

“Patung, aku ingin menanyakan sesuatu padamu.”

“Apa yang ingin kau tanyakan.”

“Kau belum memberitahuku, rahasia apa yang kamu miliki kenapa kau dapat berbicara selayaknya manusia seperti ini?”

“Mengapa kau sebegitu ingin tahu.”

“Karena aku kini telah menjadi temanmu.”

“Berjanjilah Kenzie kau tak akan memberitahu siapapun tentang diriku yang dapat berbicara ini,”

“Aku berjanji padamu, aku akan menepati janjiku.”

“Aku percaya padamu.”

Dengan penuh keyakinan serta kepercayaan yang besar, berceritalah patung kepada Kenzie mengapa dia bisa berbicara.

***

Kenzie tahu ia tak boleh bercerita pada siapapun tentang patung yang kini menjadi sahabatnya itu. Tapi entah mengapa mulutnya selalu gatal untuk menceritakan rahasia patung itu. Dorongan bercerita itu terus mengganggunya. Untuk melepas beban pikirannya itu, Kenzie sengaja menceritakan kembali pada patung itu sendiri. Tapi bukan terlepas dari beban, si patung malah menambah cerita rahasia mengapa ia bisa bicara.

“Kuperingatkan sekali lagi. Jangan menceritakan rahasia ini kepada siapapun. Hanya kamu dan Tuhan saja yang tahu.” Begitu kata patung kepada Kenzie setelah ia bercerita.

Kenzie semakin kalut pikirannya. Ia lebih sering murung dari sebelumnya. Sebelum ia bertemu dengan patung itu. Perlahan namun pasti, Kenzie mulai menunjukkan perubahan. Kenzie lebih sering menghindari tempat patung itu berada. Ia takut akan mendapatkan cerita baru lagi yang membuatnya semakin tidak tahan untuk menceritakannya kepada orang lain.

Pernah suatu ketika, patung itu memanggilnya dari jauh. Tapi Kenzie justru berlari menjauh. Patung itu terus memanggilnya, hingga pada akhirnya Kenzie mengalah, lalu menghampiri patung itu. Dan benar saja. Patung itu melanjutkan cerita rahasianya. Semakin bingunglah si Kenzie. Ia seperti kepiting yang sedang terpanggang panasnya matahari. Tubuhnya mulai gemetar mendengarkan cerita patung.

“Kamu kenapa? Kenapa gelisah seperti itu?”

“Jangan bilang kalau kau mau membocorkan rahasiaku!”

Kenzie tak menjawabnya.

***

Mendung mulai menutupi langit yang awalnya cerah. Bersamaan dengan lebatnya hujan. Klilat menyambar keheningan. Dengan tatapan kosong, Kenzie berjalan dengan telanjang kaki namun pikirannnya tetap saja tertatur pada patung yang dapat berbicara. Matanya tak berkedip, rasa kebingungan serta ketakutan seketika menjalur dibadannya. Perlahan sebuah senyum mulai terbentuk dari bibirnya sembari menatap patung yang bisa bicara itu. Tak lama kemudian meledaklah Kenzie dengan sebuah nyanyian.

“PATUNG BISA BERBICARA HAHA…

“HUAA.. PATUNG ANEH KATANYA DIA PUNYA RAHASIA

“PATUNG BISA BERBICARA.

DIA PUNYA RAHASIA

RAHASIA MANUSIA DAN TUHANNYA

SIAPA MAU DENGAR MARI BERTANYA

SAYA MAU BERCERITA

INI CERITANYA

…..”

*Konon ada dua orang gila yang sempat berbicara di depan sebuah patung. Entah apa yang mereka bicarakan, yang pasti semenjak itu, orang gila yang katanya berasal dari desa itu tak pernah pergi dari museum. Ia selalu menunggu di bawah patung itu. Bahkan, ia berbicara dengan patung itu. Namun, naas. Suatu hari ketika ia sedang bernyanyi.petir menyambar tubuhnya. Tak hanya itu, patung yang selalu ditungguinya pun tersambar petir juga..

Jember, 19 Pebruari 2019

*Penulis adalah siswa SMK Nuris Jember yang menyukai sastra terutama puisi dan cerpen. Kini duduk di kelas XI TKJ A.

Related Post